Bina Desa

Chairun Nisa: Dari Sastra Iggris, Guru SD, sampai ke Pasru Jambe

“Bersama kaumnya ia terus menerus belajar, mencerahkan sesama dan dirinya sendiri; bekerja bersama rakyat dan istiqomah membangun kaumnya; perempuan.”

Bahasa bijak sering menyebut bahwa hidup itu sebuah pilihan, kita yang memilih kehidupan dan kehidupan yang memilih kita; masing-masing akan saling memilih untuk mencapai kebebasannya sebagai manusia. Uangkapan bijak itu rasanya tepat untuk perempuan ini, Khairun Nisa. Perempuan kelahiran Malang yang sejak 2005 bergabung menjadi CO (community organizer) Bina Desa untuk wilayah Jawa Timur.

Perempuan berdarah Malang ini menyelesaikan kuliahnya di jurusan Sastra Inggris. Ia sempat mengajarkan bahasa inggris di sekolah dasar (SD) di tempat keliharannya, sebelum akhirnya pada 2004 ia memilih meninggalkan kampung halamannya di Malang untuk tinggal di rumah kontrakan di Pasrujambe, Jember, sebagai pendamping komunitas khususnya kaum perempuan petani. Setiap tiga bulan sekali ia baru menjenguk rumah dan orangtuanya di Malang.

Perempuan yang juga memiliki kecerdasan membuat pementasan Drama Teater ini mengaku pada awalnya ia pun tidak percaya diri dan kesusahan dalam menjalani aktifitasnya sebagai CO, “awalnya ya susah karena aku tidak punya pengalaman, cuma punya ketertarikan saja. aku belajar dari teman-teman yang lain. Tapi mengorganisir itu belajar terus menerus…”

Sampai akhirnya ia melihat bagaimana perempuan memang mengalami banyak ketidakadilan baik secara budaya, ekonomi dan sosial dari tingkat keluarga sampai Negara. Dan kenyataan itu menguatkan segenap dirinya, pilihannya untuk mendampingi kelompok perempuan.

“Dulu aku tidak yakin kalau perempuan memiliki persoalan lebih berat dibanding laki-laki; menurutku waktu itu semua rakyat ya sama penderitaannya; sama-sama tetindas, tapi kemudian ssetelah banyak  ngobrol dengan ibu-ibu aku mulai paham, mengapa penting menguatkan perempuan.” Cerita Nisa. “aku lalu melihat bahwa pada perempuan beban yang diakibatkan ketertindasan itu lebih berat lagi. karena ketertindasannya berlapis-lapis; tidak hanya ditindas negara atau oleh sistem yang kapitalistik, tapi lebih dari itu, dalam keluarga ia juga tertindas, bisa oleh orang tua, bisa juga oleh suami. ini kemudian berdampak, banyak pada diri mereka yang kemudian memilih diam dan menurut untuk menjadi aman; dan kediaman ini dibawa ke mana-mana.” Ujar Nisa.

Ketika ditanyakan dalam konteks bagaimana ketertindasan pada kelompok perempuan itu menjadi lebih intens, nisa mencotohkan seperti misalnya dalam pekerjaan antara laki-laki dan perempuan? Ia menjawab, “Sebagian besar perempuan itu tidak hanya melakukan pekerjaan reproduktif, tapi juga banyak melakukan pekerjaan produktif. Sementara seringkali pekerjaan reproduktif mereka tidak pernah dihitung, dianggap bukan pekerjaan penting, meski kalau misalnya mereka berhenti tidak memasak maka laki-laki pun tidak akan produktif. pekerjaan produktifnya biasanya juga dianggap sebagai membantu saja, padahal dalam fakta sehari-hari, entah itu perempuan petani di ladang, hutan atau di pesisir, mereka itu adalah penjaga pangan sumber produktifitas.” Terang Nisa.  “Pekerjaan laki-laki dihargai secara berlebih, umumnya perempuan mengerjakan pekerjaan kecil-kecil namun jenisnya banyak; sedang laki-laki melakukan pekerjaan yang lebih berat dan hasilnya besar. Kemudian itu dijadikan pembenar bahwa laki-laki mengerjakan pekerjaan lebih besar dan lebih banyak hasilnya; wacana itu sering dijadikan apologi tidak pantas lagi menyuruh laki-laki bekerja di rumah, seperti cuci piring atau mengasuh anak. Ini kan aneh dan tidak adil bagi kelompok perempuan…” ujarnya lebih jauh.

“lalu bagaimana kemungkinan kondisi ketidak adilan pada perempuan ini bisa digeser sampai pada titik yang lebih berkeadilan, rasional dan demokratis secara structural dan cultural?”

Dari obrolan yang karena jarak akhirnya hanya dilakukan lewat chat di jejaring sosial Yahoo ini, Nisa mengatakan bahwa organisasi perempuan sangat lah penting keberadaanya, dan mengorganisir kaum perempuan dengan pendidikan yang mencerah-bebaskan harus terus dilakukan, dengan rasa hormat dan istiqomah. “melalui organisasi perempuan bisa belajar mengenali persoalan-persoalan yang mereka alami, belajar mengungkapkan pendapatnya ditengah budaya bisu yang sudah kadung jadi ironis; belajar tentang bagaimana kondisi yang lebih baik bisa diciptakan, harapan mesti terus disemaikan…”  Kata Nisa. “tapi itu belum cukup; dan benar-benar kerja berat yang menuntut keihlasan” imbuhnya.

Menjadi CO bagi kelompok perempuan yang secara budaya sudah kadung ditindih budaya diam dan hegemoni patriarhi nyatanya memang bukan pekerjaan yang ringan. Meski perempuan pedesaan mulai memahami permaslahan ketidakadilan yang melingkupi mereka, tapi mereka tetap belum bisa merubah kondisi. “Contoh yang paling kelihatan saja, di rapat desa misalnya, perempuan mulai bisa mendesakkan untuk datang dan hadir juga menyampaikan pendapatnya, tapi tetap belum bisa mendesakkan agar kepentingannya diakomodir.” Terangnya.

…tapi kerja belum apa-apa untuk menghitung,

Sekarang kelompok perempuan yang ia damping dari yang awalnya tidak ada apa-apa, larut dalam budaya diam dan pasifitas, kini menjelma perlahan-lahan menjadi berdaya dan mau terus maju mandiri.

Sekali ini Nisa memberi saya kesempatan mendengar dan belajar dari sekelumit cerita pengorganisasian kelompok perempuan yang ia lakukan bersama Bina Desa.

Menurutnya, awalnya pengorganisasian di Pasru Jambe, Jember dimulai dari diskusi dengan beberapa perempuan di dusun tawon songo mengenai permasalahan-permasalah mereka, yang kemudian membentuk kelompok bernama “Lumbung Perempuan”, itu akhir tahun 2004 bersama Bina Desa. Lalu setelah itu tahun 2006 ada diskusi yang dilakukan kelompok ini bersama perempuan-perempuan dari dusun lain, yang kemudian disepakati ada forum untuk bertemu; namanya “Forum Komunikasi Kader Perempuan”, dari diskusi dan pendidikan yang berulang dilakukan akhirnya banyak kader-kader yang tergabung, di situ mulai mengajak teman-teman di dusunnya berorganisasi; mbak Sani di dusun Suco membentuk kelompok “Srikandi”; di Plambang mbak Usrek membentuk kelompok Arimbi; di Pasrepan ada kelompok Kartini, yang diawali oleh mbak Wiwit; kegiatan awalnya simpan pinjam, untuk menarik agar banyak yang mau bergabung; setelahnya banyak dilakukan diskusi di dalam pertemuan kelompok, untuk mulai membuka kesadaran anggota agar mereka mulai paham persoalan yang mereka hadapi, dan berpikir bagaimana cara berubah. Lalu ada kegiatan ekonomi, melakukan usaha bersama, seperti membuat jamu, kripik, dan kopi bubuk yang dilakukan untuk meningkatkan nilai hasil panen; ada juga toko yang dikelola Srikandi, yang modalnya berasal dari tabungan anggota. Srikandi juga mulai mengajak bapak-bapak terlibat dalam kegiatannya, sehingga diharapkan ada dukungan dari bapak-bapak.

“Sekarang sudah mulai muncul kader-kader penggerak dari kelompok; mereka tidak hanya mengurusi kelompoknya sendiri, tetapi juga mulai melakukan pengorganisiran di dusun dan desa lain.” Kata Nisa.

Bagi saya apa yang sudah dilakukan Nisa bersama perkembangannya tentu saja bukan hal yang mudah dan sederhana atau bisa dilakukan banyak orang.

Saya mengagumi, tapi demikian Nisa memang perempuan CO yang berjiwa besar dan tak mudah takjub dengan kemilau keberhasilan pun. Kepada saya ia masih menuturkan refleksinya yang mendalam. ”pencapaian-pencapaian kecil itu memang pantas disyukuri, tapi belum apa-apa; yang sekarang terjadi itu, kita ini ada di banyak tempat, tapi tidak juga menjelma satu kekuatan yang nampak, rasanya seperti sendiri-sendiri, disibukkan dengan kerja-kerja di tempat masing-masing, dan sempatkah berpikir bahwa sebenarnya kita mau mewujudkan sebuah cita-cita besar?” papar Nisa.”Kadang aku juga merasa bahwa terlalu sering berpuas diri atas hal-hal kecil, lalu lupa bahwa itu hanya tujuan antara saja; seperti senang sudah punya toko, bisa ngumpulkan modal sendiri, punya usaha bersama, tapi jadi lupa kalau  sebenarnya cita-citanya itu membangun kemandirian, membangun ekonomi kerakyatan.” Imbuh Nisa. ***

Ditengah pergulatannya dengan realitas ketidakadilan perempuan khususnya di pedesaan, Nisa biasa menghabiskan waktunya untuk membaca untuk mengatasi waktu dan rasa rindu jauh dari kampung halamanya. “Aku masih suka baca novel, kadang menulis pendek-pendek tentang peristiwa-peristiwa yang kualami, dan tentu saja, menggambar. yang jelas aku ingin pulang ke desa, dan bertani di sana.” Katanya.

Saya lalu sedikit pensaran dan segera saya tak ingin menunda menanyakan buku-buku apa saja yang ia sukai untuk dibacanya ditengah kesibukan dan intensitas pikiran dan batinnya dalam mendampingi komunitasnya, dan hebat, simak saja sendiri jawabannya. “Aku seneng membaca buku Steinbeck, seneng novel Jepang, komik juga kubaca, Umberto Eco juga suka, Orhan Pamuk, sampai Gabriel Marquez, aku juga baca sih Mintardja–Api di Bukit Menoreh, dan Pram tentu saja…” hmmm…”kapan kau belikan aku buku?” tanyanya kemudian, “satu kesempatan pasti, untuk perempuan yang istoqomah membangun kaumnya” ujarku dalam hati.***

 

Scroll to Top