Bulan Desember 2007 tanggal 6, merupakan tonggak sejarah berdirinya organisasi Serikat Nelayan Indonesia (SNI). Deklarasi pendirian SNI tersebut dilakukan di Denpasar Bali, ketikan itu berkumpul berbagai kelompok nelayan dan individu-individu nelayan yang berasal dari berbagai daerah. sebut saja misalnya Pilar Perjuangan Nelayan Labuhan Batu, Bina Nelayan Belawan, Medan, Ipanjar Langkat Sumatera Utara, SNT Indramayu, Cirebon, Jawa Barat dan SNT Jawa Timur, serta TEPUS57 Sulawesi Barat.
Pertemuan Bali merupakan musyawarah nasional nelayan tradisional Indonesia yang pertama, yang didahului oleh proses panjang konsolidasi tingkat desa-kabupaten dan propinsi di Sumatera Utara, Pantura Jawa, Sulawesi dan lainnya. Pertemuan ini mengeluarkan beberapa keputusan: (1) Pembentukan Komite Persiapan Serikat Nelayan Indonesia yang terdiri dari Presidium sementara dan eksekutif nasional, (2) Ikrar Persatuan Nelayan Tradisional Indonesia, (3) Garis-garis Besar Acuan organisasi (GBAO), serta (4) Program dan Jadwal kerja menuju kongres I Serikat Nelayan Indonesia. Dibalik naik turunnya organisasi SNI, ada seorang Sekretaris Jenderalnya yang bernama Budi Laksana, pria kelahiran 26 Desember 1978. Dengan latar belakang seorang anak nelayan dari Cirebon yang kemudian saat ini tinggal di Indramayu, sangat gigih memperjuangkan nasib kaum nelayan
Budi menuturkan bahwa pembentukan SNI dilatarbelakangi oleh keprihatinan para nelayan terhadap situasi kemiskinan yang mereka hadapi dan tidak adanya keberpihakan Negara terhadap nelayan, terutama nelayan tradisional. Tidak ada tindakan nyata dari pemerintah untuk melindungi nelayan tradisional dalam persaingannya terhadap pemakaian teknologi penangkapan ikan dalam skala besar dengan menggunakan trawl. Pemerintah juga tidak menjamin ketersediaan pasar ikan yang menguntungkan nelayan dan mengatur berlangsungnya perdagangan ikan yang fair, minimnya proteksi harga dari permainan tengkulak dan monopoli pemilik modal besar. Bahkan, pemerintah juga tidak memproteksi area tangkap nelayan tradisional, malah justu mempersempit area dengan memberlakukan marine protected area (MPA)/Area yang dinyatakan tertutup bagi usaha perikanan tardisional untuk kepentingan eksplorasi pertambangan, wisata laut dan area latihan militer. Kebijakan ini telah mengundang beroperasinya TNC/MNC di wilayah pesisir dan perairan Indonesia.
Berkembangnya aktivitas usaha ekonomi skala besar berbasiskan sumberdaya ekonomi wilayah pesisir belum tentu menjamin penggunaan tenaga kerja lokal karena keterbatasan tingkat pendidikan dan kualitas SDM nelayan yang 90 % tidak lulus SD, apalagi jika wilayah perairan pesisir sudah dikontrol oleh swasta dengan adanya Hak Pengelolaan Perairan Pesisir (HP3), maka ”omong kosong” pemerintah bisa mengontrolnya karena sudah menjadi hak privat (privatisasi).
Secara Organisasi SNI berkembang pesat. Anggota SNI berada di wilayah pesisir Sumatera Utara yang terdiri dari Kotamadya Belawan Medan, Kotamadya Tanjung Balai, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Asahan, Kabupaten Batu Bara, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Labuhan Batu Utara, dan Kabupaten Langkat.
Di Pantai Utara Jawa, tersebar di tiga provinsi antara lain, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di provinsi Jawa Barat ada di Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Garut, dan Kabupaten Tasikmalaya.
Di Jawa tengah tersebar di dua Kabupaten dan Kotamadya. Seperti Kabupaten Tegal dan Pekalongan. Sedangkan untuk Jawa Timur berada di Kotamadya Surabaya, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Banyuwangi, dan Kepulauan Madura seperti Kabupaten Sumenep, Kabupaten Bangkalan, dan Kabupaten Pamakasan.
Keanggotaan organisasi Serikat Nelayan Indonesia (SNI) adalah terbuka bagi semua kelompok nelayan yang memiliki pandangan yang sama terhadap visi dan misi SNI.
Kriteria keanggotaan Serikat Nelayan Indonesia adalah sebagai berikut : Nelayan subsisten; Petani keramba; Masyarakat adat yang mata pencariannya di laut; Nelayan tradisional; Pemilik operator/tekong boat bermesin sederhana dengan alat tangkap yang ramah lingkungan; Para pekerja lepas di industri perikanan; dan Semua orang yang hidup dipesisir atau bergantung pada hasil tangkapan kelautan, termasuk perempuan pesisir serta keluarga nelayan lainnya.
Adapun struktur kepengurusan SNI terdiri dari Pengurus Pusat atau Nasional, Pengurus Wilayah yang berkedudukan di tingkat provinsi, Pengurus Cabang berkedudukan di tingkat kabupaten, Pengurus Ranting untuk tingkat kecamatan, dan Pengurus Basis untuk tingkat desa.
Dalam persyaratannya terbentuknya pengurus pusat nasional SNI sekurang-kurangnya ada tiga wilayah organisasi SNI, untuk tingkat provinsi ada sekurang-kurangnya ada tiga kabupaten yang yang terbentuk, dan untuk tingkat kabupaten ada sekurang-kurangnya tiga kecamatan serta untuk basis ditingkat desa ada sekurang-kurangnya 35 anggota untuk menjadi basis SNI.
Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan
Saat ini secara nasional, isu tentang nelayan mencuat terutama sejak Kementrian Kelautan dan Perikanan dipimpin oleh Susi Pidjiastuti. Namun tetap saja menyimpan persoalan yang pelik.
Menurut Budi Laksana, Lahirnya Undang-Undang No.7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam membawa angin segar terhadap persoalan nelayan khususnya nelayan kecil. Dalam UU tersebut perlindungan yang dimaksud adalah sebagai upaya untuk membantu nelayan dalam menghadapi permasalahan kesulitan melakukan usaha perikanan. Sedangkan dalam konteks pemberdayaan adalah sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan nelayan untuk melaksanakan usaha perikanan yang lebih baik. Termasuk didalamnya penghapusan praktek ekonomi biaya tinggi yaitu membebaskan biaya penerbitan perizinan yang terkait dengan penangkapan ikan bagi nelayan kecil serta membebaskan pungutan usaha perikanan baik berupa pajak maupun retribusi bagi nelayan kecil. Sedangkan yang dimaksud disini sebagai nelayan kecil adalah nelayan dengan perahu tidak lebih dari 10 GT.
Namun masalah ini terjadi disaat para nelayan mengurus surat kepemilikan perahu yang disebut dengan pas. Pas ada yang disebut dengan pas kecil bagi perahu dengan ukuran dibawah 10 GT (UU No.7/2016 disebut Nelayan Kecil) yang dalam ketentuannya adalah gratis, dan pas besar untuk nelayan diatas 30 GT. Dalam kepengurusan pas kecil, dalam banyak kasus yang dialami oleh nelayan saat mengurus surat bukti kepemilikan perahu adalah dengan kesimpangsiuran biaya mulai dari Kepala Desa, Dinas Kelautan dan Perikanan, hingga Dinas Perhubungan. Dengan ketidaktahuan informasi banyak nelayan kecil, mulai dari Kabupaten Cirebon, Kabupaten Tegal hingga Kabupaten Situbondo yang membayar dengan angka bervariasi dari 100 ribu hingga 1 juta rupiah. Disamping itu nelayan dengan kepemilikan perahu diatas 5 GT walau tidak lebih dari 10 GT, perlakuannya hampir sama dengan kepengurusan nelayan pemilik perahu diatas 30 GT. Dengan persayaratan mulai dari SIUP, SIPI dan kepemilikan NPWP. Walau nelayan dibawah 10 GT yang mengluarkan di Pemerintahan Propinsi sedangkan diatas 30 GT adalah Pemerintah Pusat. Ketidaktahuan informasi bagi para nelayan dan ketidaksiapan pemerintah daerah membuat nelayan kecil lemah dalam melakukan nilai tawar terhadap pemerintah.
Dalam UU baik UU Perikanan No.45 Tahun 2009 dan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam No7 Tahun 2016. Bahwa keistimewaan nelayan kecil telah diatur mulai dari bebas menangkap ikan diwilayah NKRI atau praktek menghapuskan biaya tinggi. Hanya aturan main dan tumpah tindih kewenangan masih terjadi dilapangan yang akan mengakibatkan lemahnya fungsi pelaksanaan maupun pengawasan dibawahnya. Dalam kasus nelayan ini ada 2 Kementerian yang terlibat didalamnya yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Perhubungan.
Ujian bagi Kebijakan Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan
Persoalan lainnya muncul disaat nelayan kecil dalam menjalankan pekerjaan ditengah laut adalah persoalan keamanan dimana nelayan selalu dirompak yang mengambil hasil tangkapan para nelayan khususnya nelayan rajungan diperairan Sumatera bahkan tidak segan-segan membunuhnya.
Dari data Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Kabupaten Cirebon (Agustus 2016) sudah ada 250 perahu menjadi korban, mulai dari daerah Kabupaten Karawang, Kabupaten Subang, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon. Dengan rincian rata-rata perperahu adalah 6 kintal dengan jumlah 250 perahu adalah 1500 ton dalam 3 bulan terakhir, dengan kerugian dan penjarahan selama sebulan ditaksir adalah 60 ton dengan jumlah kerugian sekitar 6 milyar dalam sebulan. Laporan yang sudah dilakukan oleh para nelayan di Polisi Daerah (POLDA) Lampung hanya catatan kertas yang tidak ada tindaklanjutnya. Bahkan nelayan dengan terpaksa harus membayar upeti agar nelayan aman. Bahkan pihak Polairud disaat nelayan mengadu menawarkan agar aman nelayan harus menjual kepada oknum tersebut dengan harga 12 ribu dari harga yang nelayan bias jual adalah 37 ribu agar tidak diganggu Tetapi kenyatatannya para nelayan justru menjadi sapi perahan beberapa oknum mulai dari Polisi Air, dan kemenhub dari beberapa laporan nelayan.
Hal ini tentu sangat bertolak belakang, dengan poros maritim Jokowi-JK dan Keberanian menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastusi saat berani menindak kapal asing tetapi tidak berani menindak para perompak yang dialami oleh para nelayan kecil. Undang-Undang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam No.6 Tahun 2016 tentang Perlindungan danPembedayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam justru tidak bisa menjadi pegangan Pemerintah Kementerian Kelautan dan Perikanan, Mabes Polri, dan Badan Keamanan Laut dalam melakukan tindakan terhadap para perompak di perairan Indonesia khususnya diperairan Sumatera diantaranya Pelabuhan Maringgai, Kuala Penet, Kuala Siputih, Sungai Burung, Perairan Mesuji (perbatasan Lampung-Palembang), Perairan Sibur, Perairan Sumur, Perairan Sungai Pasir bahkan sejak pertengahan tahun 2016 sudah sampai Jawa bagian Barat.
Dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam pada pasal 3 dari point A sampai F adalah (a) menyediakan prasarana yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha (b) memberikan kepastian usaha yang berkelanjutan (c) meningkatkan kemampuan kapasitas dan kelembagaan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam serta penguatan kelembagaan dalam menjalankan usaha yang mandiri, produktif, maju, modern, dan berkelanjutan serta mengembangkan prinsip kelestarian lingkungan, (d) menumbuhkembangkan sistem dan kelembagaan pembiayaan dan melayani kepentingan usaha, (e) melindungi dari resisiko bencana alam dan perubahan iklim dan (f) memberikan perlindungan hukum keamanan di laut.
Jelas dalam huruf (f) memberikan perlindungan hukum dilaut, termasuk Undang-Undang Perikanan Nomor 45 Tahun 2009 (perubahan atas UU No.31 Tahun 2004) pasal 69 (1) kapal perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum dibidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Sehingga Negara punya tanggung jawab dalam menempatkan pengawasan terhadap aktivitas diseluruh perairan Indonesia. Termasuk Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 178 Tahun 2014 tentang Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Dari kenyataan-kenyataan tersebut yang Nampak di permukaan, sebenarnya banyak persoalan sekaligus praktek-praktek sukses oleh Nelayan Indonesia, cerita Budi. Seperti pembuatan pupuk alami dari cangkang rajungan, menggeliatnya industri pengolahan dan pemenfaatan limbah dari proses-proses produksi nelayan.
Terakhir Budi menuturkan dengan raut wajah penuh harap, secara kebijakan harus menjadi langkah nyata secara konsisten dan dirasakan langsung oleh nelayan, semenjak dari keluar rumah untuk melaut, ditengah laut dan kepastian secara ekonomi bagi kami, terutamanya bagi perempuan nelayan. (###)