Bina Desa

Petani Kecil Menggugat Takdir

[Siaran Solidaritas]

Konflik Agraria masih melanda rakyat desa, rakyat tani, rakyat miskin, rakyat penggarap laki-laki dan perempuan–terus jadi korban dari ekspansi korporasi yang kerap tak bermoral dan anti kemanusiaan. Solidaritas dan empati adalah ruh kebebasan dan keberanian adalah nyawa pergerakan rakyat.

Baru hari-hari yang lalu ibu-ibu di Rembang berjibaku dengan aparat menolak kepentingan korporasi di sekitaran pegungan Kendengan oleh PT Semen Indah, sekarnag di Karawang 1.200 petani kecil yang tergabung dalam Serikat Tani Karawang (Sepetak) yang bersengketa dengan PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP) yang dimiliki PT Agung Podomoro Land Tbk berjibaku untuk hak atas tanah seluas 350 hektare.

Tak bisa ditunda lagi, petani harus menggugat! Kemiskinan dan penderitaan dalam kubangan kemiskinan pedesaan bukanlah takdir, melainkan kondisi politik dan ekonomi yang dibuat oleh sistem yang kapitalistik dan serakah.

Sedumuk batuk senyari bumi, ditohi pecahing dodo lan wutahing ludiro, bagi petani kecil, tanah tak sekedar komoditas, tapi tanah adalah identitas, aktualisasi diri dan hikayat batin petani.

Kami bersolidaritas atas aksi 1.200 petani kecil Serikat Tani Karawang (Sepetak) yang bersengketa dengan PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP) yang dimiliki PT Agung Podomoro Land Tbk terkait lahan seluas 350 hektare.

Bahwa Petani Karawang telah menggarap secara turun-temurun dan mengfungsikan fungsi sosial tanah selama puluhan tahun, juga bahwa mereka membayar pajak bumi, harusnya jadi bukti shahih mereka merupakan pemilik hak atas tanah yang disengketakan sebagaimana acuan Pasal 20 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960.

Oleh karenanya kami menyerukan kepada negara agar menimbang keadilan agraria, membela petani, dan melaksanakan reforma agraria dengan terutama menyelesaikan konflik pertanahan dan meredistribusikan tanah untuk petani kecil dan penggarap sesuai janji politik untuk meredistribusikan 8,15 juta ha lahan kepada rakyat.

Menyerukan agar tak ada aksi kekerasan oleh aparat/negara pada petani kecil sekedar demi kepentingan korporasi.

Meminjam istileh Daniel Webster: “When tillage begins, other arts follow. The farmers therefore, are the founders of civilization.” Petani kecil—adalah budayawan penggagas peradaban dan sejarawan penemu kemajuan—merekalah paling layak dibela.

*

Dalam konteks yang lebih luas, kita mesti melihat ada petani besar, mereka adalah “farmer” yang bergerak dalam usaha pertanian, agri industri, mengedepankan perolehan untung melalui perdagangan dan penguasaan baik tanah mau pun akses modal dan sarana-sarana produksi; di tangan mereka, benih, pupuk, sampai harga kerap dikendalikan—dan ditangan mereka pula monopoli atas “nasib” petani (peasentries) kerap dilangsungkan.

Nasib petani kecil sejak indonesia merdeka tak kunjung membaik. Mereka bergumul dengan lumpur, keringat dan terik untuk memproduksi pangan yang mencukupi kebutuhan nasional bahkan global, namun nasib mereka seakan-akan tak terhubung sama sekali dengan keuntungan usaha tani dan bisnis pertanian pangan oleh korporasi atau bahkan negara.

Di dunia modern dan paling kontemporer di mana pertumbuhan ekonomi indonesia bisa dikatakan tinggi, nasib petani kecil tetap di titik nadir, alang-kepalang jungkirnya; petani kerap malah kurang gizi, anak petani kekurangan nutrisi, istri petani meninggal karena kesahatan yang buruk saat mengandung, rumah mereka jauh dari layak apa lagi mewah, untuk kebutuhan pangan yang sehat saja kadang mereka susah, seperti ayam mati dilumbung.

Lihat saja keadaanya sekarang, data Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat, 56 persen aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya oleh 0,2 persen penduduk Indonesia. Sementara Sensus Pertanian 2013 menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga tani hanya menguasai lahan rata-rata 0,89 hektar (ha). Sebanyak 14,25 juta rumah tangga tani lainnya hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 ha per keluarga. Padahal, skala ekonominya minimal 2 ha. Jumlah petani pun terus menurun (bukan lantaran sejahtera seperti diperkirakan negara, tapi sebaliknya, sebab tak ada tanah untuk digarap, tak ada biaya untuk menanam)

Tak heran rasio gini tanah secara nasional mencapai 0,72. Artinya terjadi ketimpangan sangat besar dalam penguasaan lahan. Ketimpangan itu bahkan sudah lebih buruk daripada ketimpangan pendapatan yang rasio gininya 0,41 (Indeks gini dihitung dari nol hingga satu. Makin mendekati satu, makin timpang).

Padahal terdapat tanah terlantar mencapai 7,3 juta ha; 1,935 juta ha tanah HGU ditelantarkan. Belum lagi “Tanah Negara” terutama di bawah peta kuasa Kementrian Kehutanan? Pemerintah sendiri semasa SBY-Boediono pernah menjanjikan redistribusi 8,15 juta ha lahan kepada rakyat. Namun, sampai sekarang, janji itu tinggal janji. Yang terjadi justru liberalisasi super-kapitalisme melalui terbitnya berbagai UU, Peraturan Presiden dan Peraturan Mentri di sektor agraria yang cenderung memanjakan korporasi ketimbang petani.

Konflik tak terhindarkan,  data KPA (Konsorsium Pembaharuan Agraria) menyebutkan ada 7.491 kasus konflik agraria dengan 2.399.314,49 ha lahan sengketa; melibatkan lebih dari 731.342 keluarga sebagai korban.

Ketimpangan struktur agraria juga mau tak mau membuat kita harus melek pada 6,5 juta TKI yang bekerja di 142 negara asing. Perempuan-perempuan desa dari keluarga petani itu terpaksa bekerja di ruang yang rentan sambil setiap saatnya menanggung resiko dalam bahaya.

Ketiadaan perempuan di pedesaan karena telah bekerja di luar negeri satu sisi menjadi faktor tersendiri dari sebab adanya 21 juta orang indonesia yang terancam lapar absolut dengan 28,55 juta orang di antaranya adalah penduduk miskin.

Gambaran kemiskinan petani memang bukan isapan jempol. Angka BPS menunjukkan, dari 28,55 juta penduduk miskin, 62,76 persen tinggal di pedesaan yang sebagian besar bergantung pada pekerjaan di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani.

*

Kesalahan desain ekonomi terkait pedesaan dan khususnya sektor agraria bisa berakibat sangat fatal dengan acuan hutang tinggalan pemerintah sekarang yang tinggi; ketimpangan rasio gini dan juga tanah.

Oleh karenanya masih sangat relevan mengukur dan menilai desain ekonomi 2 capres sekarang dengan framing neoliberal-kapitalis, atau populisme monodualis terkait pembangunan pedesaan dan keadilan penguasaan sumber daya agraria sebagaimana dicita-citakan pendiri bangsa ini melalui konstitusi dasar UUD 1945.

Sekarang waktunya, bahwa apa yang dimiliki indonesia takkan mencukupi satu orang yang serakah. Petani harus menggugat takdir sejarahnya sendiri. Membangun konsolidasi kesadaran dan gerakan agar pengabaian negara atas nasib dan kondisi kemanusiaan mereka tak terus-terusan.

Di dunia modern, petani mesti berbuat demi generasi yang berikutnya. Petani sampai kapan pun, adalah penjaga paling shahih dari kemandirian, kedaulatan sekaligus kearifan yang selalu akan menyelamatkan bangsa ini dari dekadensi.

Tak bisa ditunda lagi, petani harus menggugat! Kemiskinan dan penderitaan dalam kubangan kemiskinan pedesaan bukanlah takdir, melainkan kondisi politik dan ekonomi yang dibuat oleh sistem yang kapitalistik dan serakah. Sedumut bathuk senyari bumi, ditohing wutahing ludiro; bagi petani kecil, tanah tak sekedar komoditas, tapi tanah adalah identitas, aktualisasi diri dan hikayat batin petani.

Kita tidak boleh abai dengan masalah agraria jika kita menghendaki reformasi yang sesungguhnya. Demokrasi tanpa keadilan agraria niscaya akan menjadi demokrasi yang rapuh dan rentan terjerembab dalam kubangan konflik, kemiskinan dan rakyat kecil sebagai korban utama. Keadilan agraria adalah kondisi kemanusian yang dibutuhkan untuk kematangan demokratisasi yang kita perlukan untuk membangun bangsa dan kedaulatan indonesia. (*)

Salam Solidaritas, hidup petani kecil !!

Jakarta 25 Juni 2014

Ttd

Sekertariat Bina Desa

Scroll to Top