Usut Tuntas, Tangkap dan Adili Perampasan Tanah Petani di Karawang
[Pernyataan Sikap ALIANSI SEPETAK BERSAMA]
Jakarta (30/06/2014): Perampasan tanah oleh korporasi yaitu PT. Sumber Air Mas Pratama (SAMP) yang sahamnya telah diakuisisi oleh PT. Agung Podomoro Land terhadap tanah petani di Tiga Desa, yaitu Wanakerta, Wanasari dan Margamulya, Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang melahirkan konflik agraria serta kesengsaraan bagi petani yang tergabung dalam Serikat Petani Karawang (SEPETAK).
Proses perampasan tanah yang berkedok eksekusi lahan oleh Pengadilan Negeri (PN) Karawang yang dikawal oleh 7.000 aparat kepolisian dengan persenjataan lengkap diwarnai aksi kekerasan oleh aparat serta intimidasi terhadap para petani hingga hari ini. Pada saat itu 9 petani dan 4 buruh yang melakukan aksi menolak eksekusi ditangkap, 10 buruh, 5 petani dan 1 mahasiswa luka-luka, 1 petani diantaranya luka tembak serta puluhan lainnya luka-luka. Warga luka karena tembakan water cannon, gas air mata dan peluru karet. Selain itu pengrusakan terhadap rumah-rumah, tanaman dan pohon para petani semakin menjadi-jadi. Sedikitnya 5 rumah sudah dirusak meskipun pihak perampas tanah yaitu PT.SAMP/PT Agung Podomoro Land tidak memiliki alas hak apapun di atas tanah rakyat.
Terdapat cacat prosedur eksekusi pada selasa, 24 Juni lalu, yaitu tim juru sita tidak bisa menunjukan batas-batas areal yang akan dieksekusi. Proses Eksekusi ini sangat cacat karena objek yang dieksekusi tidak jelas dan tidak sesuai dengan amar putusan, masih ada putusan yang tumpang tindih dan masih berjalan perkara di Pengadilan. Dalam hal penunjukan batas, orang yang ditunjuk bukan orang yang berkompeten yaitu bukan pemohon eksekusi atau orang yang dikuasakan untuk menunjuk batas-batas. Tindakan eksekusi yang cacat prosedur juga dilindungi oleh aparat kepolisian dengan tindakan kekerasan terhadap warga yang mempertanyakan mengenai eksekusi yang cacat prosedur. Eksekusi yang cenderung dipaksakan memunculkan dugaan aparat kepolisian “main mata” dengan perusahaan.
Kini pasca perampasan tanah secara brutal menyebabkan, 420 KK petani atau sekitar 1.200 jiwa di atas areal yang dirampas yaitu 350 Ha terancam hidupnya, terancam keadilan, kehidupan ekonomi, sosial dan politiknya. Di lahan seluas 350 Ha adalah desa definitif yang mempunyai perangkat desa, Fasilitas Umum, Fasilitas Sosial dan ada masyarakat sebanyak kurang-lebih 420 KK yang dominan bekerja sebagai petani. Di atas lahan tersebut secara nyata ada lahan pertanian produktif berupa padi persawahan, palawija, buah-buahan dan kayu keras milik para petani. Warga juga memiliki alas hak berupa Girik/IPEDA, Sertifikat tanah dan bangunan serta bukti pembayaran pajak berupa SPPT.
Selama konflik berlangsung, hingga saat ini tak satupun bukti kepemilikan atas tanah tersebut dimiliki oleh PT. SAMP. Justru yang selalu disucikan oleh PT. SAMP dihadapan pengadilan adalah bukti berupa Surat Pelepasan Hak dan Peta global yang dikeluarkan BPN Kanwil Jawa Barat. Dan kedua bukti alas hak itu telah terbukti palsu. Bahkan kedua bukti tersebut telah lama bergulir ke kepolisian namun hingga detik ini kejahatan tersebut yang telah menetapkan direktur PT. SAMP Irawan Cahyadi sebagai tersangka tidak pernah diungkap alih-alih mengubah putusan pengadilan dalam memenangkan PT. SAMP pada perkara tersebut. Apalagi, PT SAMP tidak akan mampu menunjukan bukti pembayaran pajak karena tidak mempunyai alas hak.
Ketua PN Karawang sebelum-sebelumnya menyatakan putusan PK Nomor 160 PK/PDT/2011 yang memenangkan PT. SAMP tidak bisa ditindak lanjuti dengan eksekusi. Ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain, adanya tumpang tindih putusan di atas tanah berperkara tersebut, tidak memiliki batas tanah serta terdapat tanah yang bersertifikat di atas tanah yang diklaim PT. SAMP. Namun saat PN Karawang dipimpin oleh Marsudin Nainggolan, dua pekan dia menjabat sudah mengeluarkan surat anmaning/teguran terhadap pihak yang kalah. Atau lebih tegasnya peringatan kepada pihak yang kalah bahwa akan segera dilaksanakan eksekusi dan para petani yang dikalahkan dalam peradilan hitam agar secara suka rela segera meninggalkan tanah kelahirannya dengan uang kerohiman sebesar Rp. 4000/meter. Marsudin Nainggolan berdalih bahwa dia hanya bertugas menjalankan putusan bukan pada kapasitas mengkaji putusan. Sebagaimana halnya di Pengadilan Negeri Karawang, Kapolres sebelum-sebelumnya tidak membenarkan eksekusi dilakukan. Namun pada saat yang hampir bersamaan beberapa pekan saja AKBP Daddi Hartadi memimpin Kepolisian Resort Karawang, eksekusi dilangsungkan.
Tidak cukup dengan peradilan hitam. Sepanjang berlangsungnya konflik, PT. SAMP tak henti-hentinya melakukan tindakan kriminalisasi terhadap para petani dengan tuduhan menyerobot tanah. Namun tak satupun terbukti bersalah sebagaimana yang dituduhkan. Yang terakhir korban kriminalisasi ialah Ratna Ningrum (mantan Kades Margamulya) yang dituduh melakukan pemalsuan salinan surat C desa. Padahal tuduhan itu sama sekali tidak terbukti. Justru rekayasa hitam kembali dilakukan oleh kejaksaan dalam surat tuntutan. Anehnya lagi pengadilan tetap memvonis Ratna Ningrum bersalah dengan kurungan 6 bulan penjara. Disamping peradilan hitam dan kriminalisasi yang sering dilakukan oleh PT. SAMP¸ kekerasan pun tak jarang menimpa para petani. Yang sulit diterima akal sehat, kekerasan dilakukan oleh preman bayaran yang didukung oleh aparat.
Kini setelah perampasan tanah yang brutal itu, isolasi terus dilakukan aparat Brimob beserta ratusan preman di areal konflik agraria. Pemutusan aliran listrik dan ancaman akan intimidasi dan kekerasan semakin meyakinkan kita bahwa jaminan hak-hak petani makin diingkari, terlebih hari-hari ini adalah bulan Ramadhan dan menjelang Pilpres. Ancaman terampasnya kemerdekaan karena pengambil-alihan tanah secara paksa dan brutal yang dikawal oleh aparat keamanan adalah cerminan gagalnya tujuan negara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Kejahatan perampasan tanah hingga konflik agraria secara nyata mengingkari falsafah Dasar Negara, Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960 sebagai landasan hukum untuk melindungi kedaulatan kaum tani atas akses tanah sebagai alat produksi bagi kehidupannya, dan atas peradilan hitam sebagai media untuk merampas tanah petani, kemudian dengan bukti adanya pelanggaran hukum dan HAM Berat berupa kejahatan kemanusian (Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM), Perlakuan yang kejam ( Pasal 33 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 7 Undang-Undang Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, Pasal 21 ayat 1 Peraturan Kapolri Nomor 9 tahun 2008 tentang Tata cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, Pasal 18 ayat 2 huruf d,e dan f Peraturan Kapolri Nomor 8 tentang 2010 tentang Tata Cara Lintas ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru-Hara. Atas Dasar itu, SEPETAK bersama elemen organisasi rakyat yang mendukung perjuangan ini dan tergabung dalam ALIANSI SEPETAK BERSAMA menyatakan sikap:
1. Usut tuntas, tangkap dan adili kasus perampasan tanah petani karawang yang mengakibatkan hilangnya sumber penghidupan para petani Karawang
2. Tarik Aparat Kepolisian serta Preman-preman bayaran yang mengintimidasi, merusak, dan melakukan isolasi di areal konflik agraria Karawang sebagai bentuk perlindungan negara kepada rakyat.
3. Mengecam dan mendesak pencopotan Kapolres Krawang, Kapolda Jabar dan Ketua Pengadilan Negeri Karawang karena bertindak sewenang-wenang dalam konflik agraria, mengingkari rasa keadilan rakyat dan mengkhianati nilai-nilai kemanusiaan.
4. Mendesak Mabes Polri, Kompolnas dan Komnas HAM bertindak cepat dengan menginvestigasi konflik agraria Karawang
5. Mendesak penyelesaian konflik-konflik agraria yang terjadi di negeri ini secara tuntas dan menyeluruh dalam kerangka pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia.
Demikian Pernyataan Sikap ini dibuat untuk menjadi perhatian semua pihak.
ALIANSI SEPETAK BERSAMA
[Serikat Petani Karawang (SEPETAK), Konsorium Pembaruan Agraria (KPA), BINA DESA, PBHI Jakarta, Serikat Tani Tebo (STT), AGRA, FPBI (Federasi Perjuangan Buruh Indonesia), KONTRAS, YLBHI, LBH Street Lawyer, GMNI, ELSAM, IHCS, Tuk Indonesia, WALHI, LBH SL, LPM Media Publica, SM-UKI, KBM-UNPAM, FORMASI IISIP, FPPI, GPPI, BEMU UNSIKA]
Cp: Hilal Tamami 081284550130 (SEPETAK), Suprayitno 081310338980 (KPA)