[dropcap]J[/dropcap]akarta, 27 Oktober 2015. Pemerintah Republik Indonesia telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan pada tanggal 17 Oktober 2014, yang berarti beberapa hari menjelang berakhirnya masa jabatan anggota DPR Periode 2009-2014 lalu.
UU ini lahir tidak terlepas dari kemenangan petani dalam Judisial Review di mahkamah konstitusi tahun 2011. Petani tersebut menjadi korban pasal 21 UU Perkebunan no 18 tahun 2004. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 55/PUU-VIII/20102011 membatalkan Pasal 21 dan Pasal 47 tersebut karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Harapan petani dan masyarakat diharapkan UU NO 39 tahun 2014 tersebut memiliki semangat yang baru yang berjiwa semangat UUD 1945. Namun dari beberapa pasal yang di atur dalam UU Perkebunan No 39 ini dinilai inkonsttutional dan berpotensi terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia khususnya bagi petani dan masyarakat adat serta berpotensi terjadinya kekuasaan koorporasi dalam usaha perkebunan. Sehingga tidak ada alasan bagi Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sawit Watch (SW), Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Sekretariat Bina Desa, Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia (API), Farmer Initiatives for Ecological Livelihood and Democracy (Field), untuk tidak mengajukan judicial review UU Perkebunan ini.
Harapannya adalah agar transformasi di sektor perkebunan kelapa sawit dapat berjalan lebih berkeadilan, mewujudkan kemandirian dan keberpihakan kepada petani dan sesuai dengan semangat UUD 45.
Terdapat Beberapa pasal yg dinilai inkonstitusional, antara lain:
Adanya penghilangan hak-hak masyarakat adat atas penguasaan tanah atau diskriminasi terhadap pranata hukum masyarakat adat. Dimana pelaksanaan musyawarah dengan Masyarakat Adat tidak seharusnya diatur dalam peraturan perundangan, karena hukum masyarakat adat telah mengaturnya di dalam hukum mereka sendiri. Penggunaan frasa ketentuan peraturan perundangan yang diatur pada Pasal 12 Ayat (2) UU Perkebunan, jelas merujuk pada legislasi dan regulasi, bukan hukum Masyarakat Adat yang seharusnya negara memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat berserta hukum adat mereka;
Merupakan pelanggaran terhadap konstitusi, dimana penetapan masyarakat adat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur pada Pasal 13 UU Perkebunan. Hal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebelumnya. Keberadaan Masyarakat Adat tidak melalui penetapan oleh negara atau Pemerintah/Pemda, dan peraturan perundangan tidak seharusnya menetapkan Masyarakat Adat tetapi memberi pengakuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat.
Beberapa pelanggaran konstitusi terkait hak petani dalam budidaya pemulian tanaman dimana, adanya pelanggaran/bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945, yaitu: tidak diakomodirnya perorangan petani kecil dalam pemuliaan tanaman perkebunan melalui serta pemberlakuan mekanisme perizinan, perlakuan yang diskriminatif terhadap hak petani dengan tidak memberikan hak kepada perorangan petani kecil untuk melakukan pemuliaan tanaman dalam rangka untuk memperoleh varietas atau benih unggul, serta adanya upaya menghalangi peredaran bagi hasil pemuliaan yang dilakukan perorangan petani kecil. Beberapa potensi pelanggaran tersebut dalam Pasal 27 Ayat (3), Pasal 29 dan Pasal 30 Ayat (1). Ketentuan pada beberapa pasal tersebut berpotensi bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945.
Undang-Undang Pekebunan ini tidak memberikan jaminan kepastian hukum terkait legalitas perusahan dalam menjalankan usaha perkebunan. Hal ini akan menimbulkan celah multi tafsir hingga diinterpretasikan berbeda karena adanya kontradiksi beberapa Pasal dalam UU tersebut. Dimana ketentuan Pasal 42 UU Perkebunan pada intinya mengatur bahwa Perusahan perkebunan dapat mulai melakukan usaha perkebunan dan/atau usaha pengolahan hasil perkebunan, dengan alas hak atas tanah/HGU atau hanya dengan sekedar memperoleh Izin Usaha Perkebunan. Hal tersebut berbeda substansi pengaturannya dengan ketentuan Pasal 16 UU Perkebunan yang pada intinya legalitas perusahan untuk melakukan usaha perkebunan adalah setelah mendapatkan hak atas tanah atau HGU. Seharusnya usaha perkebunan baru bisa dilaksanakan setelah perusahaan memiliki Izin Usaha Perkebunan dan Hak Guna Usaha, bukan hanya salah satu dari keduanya. Dalam praktiknya, dengan berlakunya ketentuan ini akan memberikan peluang dimana perusahan merasa tidak perlu mendapatkan hak atas tanah/HGU dalam menjalankan usahanya di sector perkebunan serta persoalan lain dimana pemerintah sulit dan lalai dalam mengawasi perusahaan yang secara sengaja melakukan pembakaran hutan, karena merasa bebas dari ancaman pencabutan/ pembatalan hak atas tanah, serta adanya kecendrungan untuk mengantisipasi kerugian akibat dikenakan pajak untuk negara. Oleh karenanya, Perusahaan yang menjalankan usaha perkebunan dan/atau usaha pengolahan hasil perkebunan yang hanya memiliki izin usaha perkebunan (IUP) tanpa memiliki hak atas tanah, potensial menimbulkan konflik pertanahan dan kerugian negara, serta tidak ada jaminan keamanan investasi, Maka dengan berlakunya Pasal 42 tersebut, telah menimbulkan ketidakpastian hukum hak atas tanah dan berpotensi menimbulkan kerugian negara sehingga Sebesar besar Kemakmuran Rakyat tidak bisa terwujud, oleh karena itu bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Atas dasar itu Koalisi mendaftarkan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi (MK) tadi jam 11.09 WIB hari Selasa, 27 Oktober 2015.
Demikian
Achmad Yakub
Pegiat di Sekretariat Bina Desa
(0817-712-347)