Bina Desa

Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Kebijakan Luar Negeri Merespon Pertemuan G20

“Kerjasama Perpajakan dan Reformasi Struktural dalam Perdagangan dan Investasi harus menjadi prioritas Indonesia di G20”

Dua hari ini tepatnya tanggal 4-5 September berlangsung pertemuan Puncak G20 di Hangzhou, Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Presiden Jokowi hadir di pertemuan tersebut.

Pertemuan puncak G20 yang mengangkat tema Pembangunan yang inovatif, menyegarkan, terhubung, dan inklusif berlangsung hampir satu tahun sejak disahkannya Agenda Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di tahun 2015. Agenda yang memiliki lima pilar yaitu People, Planet, Prosperity, Planet, dan Peace tersebut telah disepakati oleh hampir seluruh negara di dunia dan digunakan sebagai arah pembangunan internasional. Sekaligus menjadi komitmen global terkait dengan pembangunan 15 tahun ke depan.

Namun ambisi untuk merubah tatanan dunia menjadi lebih manusiawi dan berkelanjutan mendapatkan tantangan yang tidak mudah. Keringnya pendanaan di dalam negeri, maraknya perpanjian internasional yang berorientasi pada perlindungan investasi tanpa memperhatikan pemenuhan hak-hak masyarakat dan keberlanjutan lingkungan, dan juga praktek-praktek pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif yang banyak dialami oleh negara-negara miskin dan berkembang dapat mengancam pelaksanaan dan pencapaian SDGs. Kehadiran Presiden Jokowi di pertemuan G20 harus digunakan untuk kepentingan negara-negara miskin dan berkembang.

Menurut Siti Khoirun Ni’mah, Program Manager INFID “Pelaksanaan SDGs tidak akan berjalan maksimal tanpa adanya pendanaan yang cukup. Sementara sistem perpajakan saat ini belum berpihak ke negara-negara miskin dan berkembang. Misalnya masih berlakunya pajak korporasi di mana pajak pendapatan dan keuntungan dibayarkan di lokasi perusahaan tersebut didaftarkan, bukan di mana perusahaan tersebut beroperasi dan mendapatkan keuntungan. Banyak perusahaan multi-nasional yang beroperasi di negara-negara berkembang yang tidak terdaftar di negara tersebut. Sehingga perusahaan tidak membayar pajak di negara di mana perusahaan beroperasi. Praktek inilah yang akhirnya menimbulkan celah derasnya aliran uang haram yang berasal dari penghindaran pajak juga aktivitas ilegal lainnya di negara miskin dan berkembang.”

Studi Global Financial Integrity menunjukkan 8 dari 19 negara anggota G20 masuk 15 besar negara dengan aliran uang haram terbesar dalam kurun waktu 2003-2014. China, selaku pemegang kepemimpinan G20 tahun ini menempati urutan pertama, diikuti dengan Russia, Meksiko dan India yang masing-masing berada di peringkat kedua, ketiga, dan keempat. Sementara Indonesia sendiri berada di peringkat ke-10. Negara miskin dan berkembang, termasuk Indonesia mengalami kerugian sebanyak 1,1 triliun dolar AS akibat aliran uang haram di tahun 2013.

G20 telah menyepakati pelaksanaan keterbukaan informasi perpajakan (Automatic Exchange of Information/AEoI) di tahun 2017. Namun belum semua negara akan menjalankannya. Contohnya Panama yang terkenal dengan Panama Papers-nya. Oleh karena itu, Indonesia harus mendesak pemberian sangsi baik ekonomi maupun politik bagi negara yang tidak menjalankannya apalagi negara yang menjadikan dirinya sebagai surga pajak.

Di samping itu, Maryati Abdullah, Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menyerukan “Indonesia juga harus menyuarakan kembali komitmen G20 dalam implementasi transparansi beneficial ownership. Studi ONE di tahun 2014 menunjukkan tidak adanya pengungkapan beneficial ownership yang jelas telah mengakibatkan hilangnya 1 triliun dolar AS per-tahunnya atau sekitar 10 ribu triliun rupiah di negara berkembang sebagai hasil tindak pidana ilegal dari deal lintas negara.”

Reformasi struktural terutama dalam perjanjian perdagangan dan investasi yang mencerminkan keadilan juga harus menjadi prioritas Indonesia. Reformasi struktural terutama dalam perjanjian perdagangan dan investasi yang mencerminkan keadilan harus menjadi prioritas Indonesia. Tentunya, reformasi structural di dalam perdagangan dan investasi ini bukan dalam konteks melemahkan strategi peningkatan daya saing Indonesia yang telah diterapkan oleh Pemerintah Indonesia.

Menurut Suliadi, Advokasi Manager Indonesia for Global Justice (IGJ), disebutkan bahwa strategi peningkatan daya saing Indonesia yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia sudah sangat tepat, seperti penerapan aturan kewajiban hilirisasi produk industry, kewajiban penggunaan produk local melalui TKDN, dan pembatasan impor bahan baku.

“Kebijakan ini tentunya telah sejalan dengan semangat memperkuat pembangunan daya saing industry nasional menghadapi era keterbukaan. Sehingga, arah reformasi structural Perjanjian Perdagangan dan Investasi jangan sampai menjadi ancaman bagi strategi peningkatan daya saing nasional. Hal ini terlebih mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS) yang berdampak terhadap menyempitnya ruang kebijakan pemerintah telah banyak diterapkan dalam Perjanjian perdagangan dan investasi,” tegas Suliadi.

Terakhir, target pertumbuhan global sebesar 2% dalam lima tahun yang menjadi target G20 haruslah menempatkan pembangunan manusia, kesetaraan gender, dan keberlanjutan lingkungan sebagai prioritas. Tidak ada gunanya pertumbuhan yang tinggi jika hanya dinikmati oleh segelintir orang. Sejumlah penelitian telah menunjukkan, dalam sepuluh tahun terakhir, ketimpangan baik di dalam negeri maupun ketimpangan antar negara semakin melebar. Itu menunjukkan pertumbuhan semata tidak akan menjawab masalah pembangunan.

Jakarta, 5 September 2016
Forum Masyarakat Sipil Indonesia untuk Kebijakan Luar Negeri (Indonesia Civil Society Forum on Foreign Policy/ICFP): INFID, IGJ, WALHI, PWYP, WVI, Migrant CARE, ASPPUK, Koalisi Perempuan Indonesia, Bina Desa, KPA, TII, YAPPIKA, IHCS.

Kontak Person:
1. Siti Khoirun Ni’mah, nikmah@infid.org (08588 1305 213)
2. Maryati Abdullah, maryati.mrt@gmail.com (08212 523 8247)
3. Rachmi Hertanti, rachmi.hertanti@gmail.com (0813 8022 1414)

Scroll to Top