Bina Desa

Sekilas pandang “Pendidikan Musyawarah”

IMG-20130908-00115

Musyawarah adalah nilai manusiawi asli luhur dan khas bangsa Indonesia. Musyawarah adalah budaya dan tradisi pembaharuan. Sejak perumusan awalnya pada periode pertama (1986-1996) Komisi Pendidikan Musyawarah Yayasan Bina Desa beranggotakan di antaranya: Pater J. Distra SJ (Ketua), Gedong Bagoes Oke, KH. Abdul Rachman Wahid/Gus Dur dan Prof. DR. Sajogyo (Guru Besar Sosiologi IPB/Pendiri SAINS)

BINADESA.CO—Jakarta. Musyawarah rakyat adalah lambang pemersatu rakyat untuk selalu saling percaya dan berprasangka baik terhadap sesama. Di dalamnya terdapat nilai-nilai kebersamaan, kesetaraan, kesamaan (egaliter) dan penghargaan terhadap harkat, martabat dan derajat manusia. Nilai-nilai itulah yang menjadi inspirasi musyawarah rakyat. Karena itu, dalam musyawarah rakyat, menyadari bahwa setiap individu adalah bagian dari orang lain menjadi penting bagi setiap orang. Sehingga perbedaan pendapat menjadi indah dan pertanda kemajuan. Dengan adanya perbedaan, setiap orang akan semakin berusaha meramu dan mencari ikatan pemenuhan yang dapat secara bersama dan rukun terterima serta dilaksanakan bersama oleh anggota komunitas.

“Berdialog bersama demi pengembangan manusiawi secara khas Indonesia adalah musyawarah rakyat yang mengandung nilai-nilai manusiawi asli luhur dan khas bangsa Indonesia. Musyawarah adalah budaya dan tradisi pembaharuan.”

Musyawarah merupakan warisan yang telah mengakar secara sosial-budaya dalam komunitas bangsa-bangsa di Indonesia. Tidak aneh jika kemudian para pendiri bangsa ini menyatakan dan meyakini, saripati dari demokrasi dan ideologi Indonesia adalah musyawarah. Lintasan panjang sejarah komunitas bangsa ini telah membuktikan bahwa musyawarah rakyat adalah kekuatan yang hebat sebagai bahasa kehidupan rakyat (dialog of life). Hal ini terlihat pada para pendiri bangsa yang berasal dari berbagai suku, bangsa, agama, dengan berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan aliran politik. Seperti Tan Malaka, Soekarno, M. Hatta, Sutan Syahrir, Muhammad Yamin, Soepomo, Ki Hajar Dewantara, Kartini, Dewi Sartika, dan lain-lain. Karena meyakini falsafah musyawarah, mereka mampu mempertautkan hati dan bersatu padu dalam semangat dan cita-cita memperjuangkan pemerdekaan bangsa-bangsa di kawasan Nusantara.

Para pendiri bangsa jelas tidak menggali dan menemukan konsep musyawarah dari buku-buku teori. Secara kritis mereka merefleksi sistem penjajahan dan imperialisme dunia dengan realitas sosial, budaya, ekonomi dan politik bangsanya. Mereka juga menyadari, musyawarah adalah sumber kekuatan dalam mencerahkan dan memperjuangkan kemerdekaan kehidupan bangsa, karena musyawarah mengajarkan kesadaran kritis, kebersamaan dan keadilan. Dengan alasan itu, para pendiri bangsa bersepakat bahwa musyawarah wajib menjadi falsafah bangsa. Dalam pandangan dan pemahaman mereka, musyawarah sebagai warisan luhur bangsa Indonesia sangat mendasar untuk terus dikembangkan sebagai pondasi pembangunan negara bangsa-bangsa ini.

“Musyawarah adalah cara untuk memberi dan menerima, memperbaiki pandangan hidup, memperluas wawasan, mencapai tujuan, memperoleh dan memberi informasi baru yang menyangkut kehidupan sekarang dan masa depan, yang menghendaki masing-masing pihak menyadari dan terlibat di dalam manajemen dan alokasi sumber-sumber produktif di lingkungannya (Djoko Aminoto, 2001: 12-13)”

Musyawarah bukanlah suatu budaya yang statis, namun bersifat dinamis. Artinya, musyawarah berubah dan berkembang, karena pada dasarnya suatu budaya seperti musyawarah, tumbuh dari pengalaman hidup anggota komunitas sebagai subyek atau pelaku utama. Dan karena pengalaman komunitas-komunitas tersebut berbeda, beraneka ragam dan berkembang, maka gagasan musyawarah sebagai budaya dalam dirinya juga mengandung dinamika yang sangat besar dan hebat.

Namun kebudayaan musyawarah itu hari demi hari kian terkikis dari keberlangsungan kehidupan di komunitas puak, suku, dan bangsa Indonesia. Tugas bagi kita semua adalah bersama-sama mempertahankan dan menyelamatkan, serta mencerahkan dan memperbaharui budaya musyawarah rakyat.

Salah satu sarana berdemokrasi adalah bermusyawarah. Dengan kata lain, demokrasi dapat kita mulai dengan musyawarah. Pendidikan Musyawarah (dikmus) lahir karena adanya kebutuhan untuk melakukan pendampingan kepada kaum marjinal, yaitu proses transformasi kaum marjinal yang berlangsung dari dalam dan oleh kaum marjinal itu sendiri ke arah kehidupan yang demokratis. Pendampingan masyarakat marjinal tersebut dilakukan melalui proses pendidikan, dalam arti belajar bersama, dengan mengguna­kan metode yang partisipatif. Sehingga jelas, pendidikan ini dibangun berdasarkan nilai-nilai yang berakar dalam masyarakat sendiri, yaitu musyawarah.

“Pendidikan musyawarah sebenarnya berangkat dari pengalaman pendampingan di pedesaan, khususnya dari proses dialog atau musyawarah di desa, yang diperkaya dengan  masukan dari beberapa model pendidikan seperti metode Paulo Fraire. Pada awalnya kita mungkin menganggap masyarakat desa biasa bicara apa adanya, namun kenyataannya tidak. Orang desa akan jujur kalau ada orang baru yang dianggap sebagai bagian dari mereka. Jadi meski sudah bertahun-tahun bersama mereka, kalau seseorang tidak dianggap sebagai bagian dari orang desa, mereka tidak akan terbuka. Berangkat dari refleksi inilah kemudian lahir konsep untuk melakukan musyawarah sebagai media pendidikan (Sekretariat Bina Desa, 2003)”

Berdasarkan pengalaman melakukan pendampingan kaum marjinal tersebut, maka metode pendidikan yang partisipatif ternyata telah ada dalam kehidupan masya­rakat kita, yaitu musyawarah. Musyawarah (dialogue of life) dan karya bersama (gotong-royong) ini mengandung nilai‑nilai manusiawi yang sebenarnya sudah ada dan berakar pada masyarakat kita sendiri, terutama di pedesaan.

Model pendidikan musyawarah dibangun berdasarkan pengalaman mendampingi kaum marjinal, dan belajar dari pengetahuan yang dibangun dari pengalaman bekerja bersama kaum marjinal. Dilihat dari kebutuhan kaum marjinal, pendidikan musyawarah sebenarnya merupakan sebuah model pendidikan alternatif; sementara dilihat dari segi metodenya, pendidikan ini merupakan sebuah model pendidikan partisipatif, karena musyawarah, dialog rakyat atau dialog kehidupan (dialogue of life) merupakan ruh (nyawa) dari seluruh proses belajar bersama. Sedang dilihat dari tujuan untuk melakukan proses penyada­ran bersama, pada hakikatnya pendidikan musyawarah merupakan pendidikan demokrasi, pen­didikan pembangunan yang transformatif, dan pendidikan politik rakyat. Dan apabila dilihat dari kondisi kaum marjinal yang serba keku­rangan dan terbatas, serta posisinya yang terbelenggu, maka pendidikan musyawarah sesungguhnya merupakan pendidikan yang membebaskan.

“Pendidikan Musyawarah merupakan proses yang tidak pernah selesai. Dikmus merupakan proses penemuan masalah, pemecahan masalah, aksi dan refleksi, yang berjalan secara terus-menerus. Materi Dikmus ditentukan sendiri oleh masyarakat, mulai dari penilaian kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan refleksinya. Dikmus mempunyai peran yang sangat penting dalam proses demokratisasi di tingkat kaum marjinal, menimbulkan rasa aman, peneguhan, bebas dari perasaan tertekan, sikap lebih terbuka, berani menyatakan pendapat, serta memahami realitas diri dan lingkungannya (Sekretariat Bina Desa, 2005)”

Misi utama pendidikan musyawarah adalah penguatan komunitas kaum/rakyat marjinal, yang meliputi: penguatan kesadaran trans­formatif, penguatan organisasi, penguatan jaringan kerjasama, penguatan ekonomi dan penguatan advokasi. Misi tersebut satu sama lain saling terkait dan saling berhubungan. Sehingga upaya apapun yang dilakukan untuk penguatan rakyat, senantiasa harus berakar dari nilai‑nilai kemanusiaan dan nilai-nilai dari dalam rakyat sendiri, yaitu musyawarah dan karya bersama (gotong-royong).

Panduan Pendidikan Musyawarah yang sedang Anda baca ini merupakan pegangan untuk para pendamping masyarakat (community organizers/CO). Sebagai panduan, buku ini terus-menerus mengalami penyempurnaan sejak masa awal dikembangkannya dikmus. Penyempurnaan tersebut melalui pengkayaan dari pengalaman praktik dikmus di lapangan, masukan‑masukan dari mitra, bahan‑bahan bacaan, dan pengalaman berbagai lembaga sebagai pembanding.

Materi dasar buku pegangan ini berbasis pengalaman kongkrit Bina Desa yang dikaji dan didokumentasikan oleh komisi di dalam Bina Desa yang disebut Komisi Pelancar Musyawarah yang didirikan pada 1986. Proses pengkajian dan pengumpulan lesson learned komisi tersebut berlangsung tidak kurang dari 15 tahun. Sehingga tercatat ada empat periode masa kerja komisi dalam mengkaji dan mencermati kegiatan Pendidikan Musyawarah yang dilakukan Bina Desa.

Pada periode pertama (1986-1996) Komisi Pendidikan Musyawarah beranggotakan Pater J. Distra SJ (Ketua), Gedong Bagoes Oke, KH. Abdul Rachman Wahid, Prof. DR. Sajogyo, Ir. Sutrisno KH, Yuni Suwarto (sekertaris).

Pada periode kedua (1990-1996) komisi beranggotakan Ir. Sutrisno KH (Ketua),  Pater J. Distra SJ, Gedong Bagoes Oke, KH. Abdul Rachman Wahid, Prof. DR. Sajogyo, Yuni Suwarto (sekertaris), Kartjono, Hironimus Pramoedja, Eko SB Haryanto.

Periode ketiga (1997-2000) komposisi komisi terdiri atas Ir. Sutrisno KH (Ketua), Pater J. Distra SJ, Gedong Bagoes Oke, Prof. DR. Sajogyo, Yuni Suwarto, Kartjono, Eko SB Haryanto dan Achmad Wazir Wicaksono (Sekretaris).

Pada Periode keempat (2001-2005) Komisi Pendidikan Musyawarah Bina Desa terdiri atas R. Soetjipto (koordinator), Maskur Mashud, A. Gafar Rahman, dengan John Erryson sebagai sekretarisnya.

Agar metode pendidikan musyawarah dapat memberi sumbangan kepada gerakan sosial, Bina Desa menyebarluaskannya ke kalangan yang lebih luas dengan cara menyusun Panduan Pendidikan Musyawarah yang dapat digunakan secara praktis oleh para pendamping masyarakat atau community organizer (CO). (SC*)

Scroll to Top