Semangat Pertanian Alami Komunitas Desa Dampingan Yayasan Bina Desa Sadajiwa
Lebih dari sekedar rutinitas dan ritualitas, pelatihan dan refleksi pertanian alami yang sudah dilakukan berkala oleh Bina Desa, merupakan sikap perlawanan yang nyata terhadap sistem kapitalisasi pertanian di pedesaaan, agar petani bisa berdaulat atas input produksi, distribusi dan konsumsi pangan dan pertaniannya.
(Kudus, Bina Desa) 30 – 31 Maret 2010, tiga puluh sembilan peserta (12 perempuan dan 27 laki-laki) dari 9 desa yang tersebar di 9 kabupaten 3 provinsi yang tediri dari kader/petani pelatih, CO dari wilayah yang sudah mempraktikkan pertanian alami serta FO dan sekretariat Bina Desa, bertemu di Dukuh Nogosari Desa Menawan Kecamatan Gebog Kabupaten Kudus Jawa Tengah menggelar acara “Refleksi Petani Pelatih Alami”. Kegiatan ini merupakan kerjasama Bina Desa dengan Paguyuban Sidojoyo.
Kegiatan Refleksi Petani Pelatih sudah menjadi bagian penting dalam proses Bina Desa bersama komunitas. Refleksi artinya belajar mengidentifikasi dan menganalisa ulang hasil-hasil aksi yang sudah dilaksanakan dalam hal-hal yang berkaitan dengan berbagai persoalan dalam hal ini Natural Farming. Melalui proses refleksi ini, aksi-aksi akan dapat diperluas, diperdalam dan diperjelas melalui analisa sosial yang menggunakan metode dialog dengan peserta. Menurut Lily Batara selaku koordinator bidang Sustanible Agricultural (pertenian berkelanjutan)kantor Bina Desa, agenda pertanian alami merupakan gerakan nyata untuk menjawab pemiskinan struktural yang di alami petani dan masyarakat desa pada umumnya akibat absennya kebijakan pertanian yang berpihak kepada rakyat, sesuatu yang diakibatkan oleh ketergantungan negara atas sistem kapitalisme.
“Gerakan pertanian alami merupakan bentuk kegiatan nyata perlawanan terhadap sistem kapitalisasi pertanian di pedesaaan, agar petani bisa berdaulat atas input produksi, distribusi dan konsumsi pangan dan pertaniannya.” Terang Lily Batara yang ditemu usai acara.
Masih menurut Lily yang juga bertindak sebagai penanggungjawab kegiatan ini, kesadaran manusia di muka bumi akan rusaknya sumber penghidupannya semakin tinggi. Bahwa ketergantungan manusia dan lingkungan ekologinya, semakin menguatkan bahwa jika salah satunya rusak, maka akan mengganggu kehidupan yang lain. Kesadaran inilah yang menuntun berbagai pihak untuk terus mencari cara-cara berkehidupan yang lebih arif agar terjadi proses saling memberi dan menerima diantara sesama makhluk hidup dan ekosistem lingkungan. Tujuannya untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas baik bagi lingkungan alam maupun manusia. “Pertanian alami (Natural Farming) diyakini menjadi salah satu pilihan akan kesadaran dan keadaan hidup dan alam kehidupan yang lebih baik.”
Namun demikian pertanian alami bukanlah tanpa tantangan yang rumit. Dalam tataran praktek, pertanian alami tidak akan semudah seperti hal baik yang diharapkan dan dihasilkan. Ditengah sudah terbiasanya masyarakat dengan pertanian konvensional akibat praktek revolusi hijau era Orde Baru, menyebabkan pertanian alami dianggap sebagai hal aneh dan diluar kebiasaan, konsekwensinya mempraktekan pertanian alami menuntut juga kesadaran cara berpikir kaum petani.
“Melakukan sesuatu diluar kebiasaan, tentunya membutuhkan dialog dengan diri sendiri dan keluarga. Sesuatu hal yang manusiawi jika melakukan hal-hal diluar kebiasaan dan hasilnya belum diketahui, maka ketakutan akan gagal panen, hasilnya nanti bagaimana, apakah menguntungkan atau tidak, dan lain sebagainya tentunya menjadi pertimbangan bagi petani yang akan memulai cara bertani alami.” Terang lily lagi.
Senada dengan lily, Uni Fitri yang merupakan peserta dari Padang mengungkapkan kisahnya, “ladang kami pernah di racuni gara-gara menanam padi organik.” Kisahnya. “Mereka cemburu karena diladang hanya lading kami yang mau menanam padi organik. Tapi kami bertahan dengan kepercayaan dan demi kehidupan keluarga yang lebih baik dan lebih sehat sampai kini hasil padi kami mulai terlihat hasilnya seiring membaiknya kondisi tanah pasca penggunaan pestisida dan pupuk kimia selama bertahun-tanun.”
Paradoks Kebijakan
Dalam diskusi pada season refleksi tersebut juga terungakap bagaimana tantangan bagi pertanian alami tidak berhenti sebatas dari diri, keluarga dan lingkungan namun juga dari pemerintah.
Pemerintah memang mentargetkan GO Organik pada tahun 2014. Untuk mewujudkannya sejak tahun 2008, subsidi pupuk organic telah masuk dalam anggaran Negara. Anggaran subsidi pupuk organicpun semakin tahun semakin meningat. Untuk tahun 2010 sebesar RP 11,86 triliun, ada peningkatan sekitar 11,75 juta ton subsidi pupuk organic dari tahun lalu. Namun kebijakan ini sebelah mata dan paradoks mengingat subsidi pupuk organic sejak tahun 2008 alokasinya diberikan melalui BUMN kepada perusahaan pupuk yang selama ini juga memproduksi input pertanian kimia yaitu PT Pusri, PT Pertani, PT Sang Hyang Seri dan PT Petroganik. “Walaupun pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mendukung pertanian organic, namun orientasinya tetap untuk kepentingan pasar. Petani tetap menjadi produsen dari perusahaan agroindustri.” Tegas Lily Batara.
Disamping itu, berdasarkan hasil dialog dalam sesi presentasi CO (Community Organizer) yang difasilitasi Maksum dan Nining, ditemukan hambatan-hambatan lain seperti misalnya dengan petani yang tidak memiliki lahan sendiri (buruh tani), bagaimana buruh tani mau mempraktekan pertanian alami dilahan yang bukan miliknya sendiri. Disamping itu juga kendala penurunan hasil panen karena faktor-faktor alam, dukungan keluarga, masalah sosialisasi dan pendidikan mempraktikan pertanian alami seperti membuat mikroba dan nutrisi, adalah hambatan internal yang banyak ditemuai. “Kesan proses pembuatan NF (natural farming)terlalu rumit dan tidak praktis, tidak tersedia salah satu bahan NF, kapok gagal panen, tidak tahu NF akibat minimnya sosialisasi, kebiasaan kimia lebih praktis, dan belum ada jaringan produsen ke konsumen adalah gejala hambatan pertanian alami sekarang ini.” Ujar Nining dalam sesi diskusi kelompok.
Maksum, pelaku pertanian alami dari Prendengan, Banjarnegara, juga menyatakan hal senada, “Bagi petani alami yang belum mempunyai jaringan pasar organik, produk organicnya akan dihargai sama dengan produk konvensional. Bagi yang sudah mempunyai jaringan pasar organic, merekapun tidak bisa langsung ke konsumen. Ada rantai pasar produk organic yang menjadi perantara ke konsumen organic. Dari kedua cara pemasaran produk organic ini, keuntungan terbesar tetap diperoleh oleh distributor produk organic.” Tuturnya.
Sementara itu menurut Romo Wartoyo, yang hadir dalam acara refleksi itu sebagai narasumber, dalam pertanian organik petani harus mampu menggunakan sumberdaya lokal yang dibuang untuk kemudian didaur ulang dan digunakan lagi. Demikian adalah potret dari kreatifitas dan kemandirian petani.
“Petani organik harus bisa mandiri, menggunakan lahan, bahan, waktu dan tenaga secara tepat, termasuk bahan yang sudah dibuang dalam bentuk sampah bisa digunakan kembali, tidak ada bahan yang terbuang jadi sampah untuk petani organik.” Pesan Romo Wartoyo.
[pubin/XXII/bindes/2010/sabiq]