Bina Desa

Yang Mengakar Yang Menjalar (Kisah-kisah Pengorganisasian Aktivis Sekolah Involvement)

Judul Buku :

Yang Mengakar Yang Menjalar (Kisah-kisah Pengorganisasian Aktivis Sekolah Involvement)

Penulis : Sholichul Hadi, Achmad Yakub, dkk

Penerbit dan tahun : INSISTPress, 2005

Tebal : 15x21cm; xiii + 220 halaman

Peresensi ; Gina Nurohmah

 

Membaca buku setebal 220 halaman adalah tantangan, akibat kebiasaan membaca yang beralih pada genggaman 4,5 inch. Namun warnanya yang usang dan baunya yang sudah sangat melekat membuat saya tertegun sejenak untuk memahami isi buku yang berjudul “Yang Mengakar Yang Menjalar” karya Hadi, Sholichul, Achmad Yakub, dkk.

Buku yang menjadi tanda perjalanan perjuangan para penulis ini sangatlah informatif sekaligus provokatif, satu sisi membuka jendela pengetahuan tentang daerah yang mungkin namanya saja belum pernah terdengar dan satu sisi lain mengisahkan perjalanan perjuangan. Kata demi kata hingga halaman per halaman membuat saya sedikit menghela nafas, bahwa perjalanan perjuangan memang seharusnya dituliskan. Selaras dengan penyampaian Em. Ali mengutip Pramoedya Ananta Toer bahwa “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.

Buku ini memfokuskan pada kisah-kisah pengorganisasian, kisah-kisah perjuangan yang tidak akan ditemukan di etalase-etalase swalayan yang rapi membungkus persoalan rakyat. Sebuah buku yang mencoba mendokumentasikan pengalaman para penulis yang melakukan pengorganisasian dan advokasi langsung di berbagai daerah pelosok Indonesia dari mulai Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa.

Setiap penulis menuliskan kisahnya yang menggambarkan persoalan daerah dan perjalanan perjuangan, salah satunya penulis Achmad Yakub yang berkelana ke sudut Sumatera Ogan Komering Ilir berisi rumah-rumah rakit, hamparan lebak lebuk dan secara detail menggambarkan kondisi masyarakat di Pedamaran dan Tanjung Sari. Wilayah Pedamaran yang masyarakatnya tani-nelayan telah berubah karena lahirnya UU No 5 Tahun 1979 yang mengakibatkan hilangnya peran marga sebagai infrastruktur pemerintah wilayah pedesaan Sumatera Selatan serta dengan adanya lelang lebak lebung terjadi perubahan kepemilikan yang berkuasa penuh atas sasaran kerja atau yang lebih familiar di daerah itu disebut pengemin.

Perjalanan pengorganisian dan advokasi dituangkan dengan sangat terperinci, hingga jika ada hitungan matematispun dituangkan agar sama rata memahami duduk persoalan dan memahami alur perjuangan para penulis. Bentuk-bentuk perlawanan aksi demonstrasi, pendudukan, aksi protes, pengiriman delegasi, dan lainnya hingga sekelumit pilu dalam melakukannya di lapanganpun dapat kita ikuti alurnya dengan teman secangkir kopi.

Kopi itu pahit tetapi membaca buku ini menjadikan itu tidaklah sepadan dengan membaca realita, kondisi yang carut marut yang ada di negeri ini. Beruntunglah, para penulis telah mendokumentasikannya dalam sebuah catatan. Selain menjadi kaum muda yang progresif sibuk dalam ranah politik kerakyatannya, juga membagi waktu menuliskan pengalaman, ide dan realita lapangan yang selama ini dibungkam oleh berbagai pihak. Menuangkan tetes pikir bukan hanya saja memperjelas situasi di lapangan, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan yang akan memperpanjang perjuangan serta sebagai bentuk sejarah dan sikap politik. Sebab perjuangan pengorganisasian dan advokasi di lapangan tanpa penulisan adalah cela, perjuangan tanpa dokumentasi catatan adalah resah, karena menulis sama dengan memperpanjang perjuangan.

Sehemat saya, buku ini patut untuk dibaca bagi kawan-kawan pergerakan dan sebagai bentuk inspiratif bagi kaum muda untuk bergerak mengorganisir masyarakat serta menuliskan perjuangan baik pengorganisasian ataupun advokasinya dalam bagian dari politik, sejarah, dan perlawanan dalam hegemoni yang semakin merajalela.#

Scroll to Top