DEKLARASI PETANI PEKEBUN RAKYAT INDONESIA
Konferensi Nasional Perkebunan Rakyat Indonesia
“Memperkuat Perkebunan Rakyat Menuju Perkebunan Lestari dan Berkeadilan Sosial”
Jakarta, 26-27 April 2017
Kami petani pekebun dan pembela hak petani pada tanggal 26-27 April 2017 telah melakukan Konferensi Nasional Perkebunan Rakyat Indonesia. Konferensi ini diprakarsai oleh Serikat Petani Kelapa Sawit, Serikat Petani Indonesia, Aliansi Petani Indonesia, Sawit Wacth, IHCS, Bina Desa, dan FIELD.
Konferensi Perkebunan dihadiri para petani pekebun Kelapa Sawit, Kelapa, Kopi, Kakao, Karet, Cengkeh, pinang, Rempah-rempah lainnya dan petani tanaman pangan dari seluruh penjuru Tanah Air.
Sebagai upaya mendorong reforma agraria perkebunan dan pembelaan hak-hak petani dengan ini kami menyusun peta jalan penguatan perkebunan rakyat, yaitu : (hanya ringkasan singkat untuk lengkapnya bisa di klik tautan berikut ini DEKLARASI KONFERENSI NASIONAL PERKEBUNAN RAKYAT INDONESIA )
Perkebunan saat ini, merupakan kelanjutan dari cara produksi kolonial yang ditandai dengan perkebunan skala besar yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan swasta yang padat modal dan perkebunan rakyat yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari itupun terkadang kurang yang ditandai dengan sempitnya tanah, kurangnya modal, lemahnya akses terhadap pasar karena sudah dimonopoli oleh perusahaan perusahaan besar dari hulu hingga hilir;
Struktur agraria dan hubungan agraria yang ditimbulkan oleh usaha perkebunan saat ini adalah, pertama, ketimpangan pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah. Di satu sisi sedikit perusahaan perkebunan menguasai banyak tanah, sedangkan banyak petani menguasai sedikit tanah, bahkan tidak punya tanah; kedua, konflik agraria di perkebunan yang meliputi konflik pertanahan akibat perampasan tanah petani, konflik akibat dampak buruk dari kemitraan atau pola kerja sama usaha perkebunan yang tidak adil dan tidak transparan, dan konflik akibat penetapan harga, khususnya harga Tandan Buah Segar Kelapa Sawit, Karet dan Kakao; ketiga, korupsi dan kolusi dalan pemberian konsensi usaha perkebunan; keempat. kerusakan lingkungan hidup akibat monokultur skala luas, limbah, dan hilangnya tanaman pangan; kelima, konflik akibat monopoli rantai distribusi.
Situasi perkebunan seperti di atas hanya bisa diselesaikan dengan reforma agraria, yang meliputi : pertama, pembatasan luas lahan perkebunan perusahaan dan redistribusi tanah untuk petani pekebun melalui kebijakan landreform, dan penertiban perizinan usaha perkebunan serta perusahaan perkebunan yang tidak memiliki hak atas tanah (Hak Guna Usaha); kedua, usaha perkebunan harus tidak boleh menciptakan eksploitasi manusia yang satu atas manusia yang lain sehingga usaha perkebunan harus merupakan usaha bersama dengan asas kekeluargaan berbasis koperasi, lembaga petani dan bentuk-bentuk kegotong-royongan lainnya, untuk itu pola kerjasama atau kemitraan usaha perkebunan harus dirubah; ketiga, usaha perkebunan haruslah melindungi golongan ekonomi lemah, seperti petani pekebun swadaya, buruh perkebunan dan perempuan perdesaan di sekitar perkebunan; keempat. Usaha perkebunan harus didiorong untuk tidak lagi mengekspor barang mentah; kelima, Negara haruslah melaksanakan mandatnya untuk menciptakan usaha perkebunan sebagai usaha bersama dan bisa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
Distribusi tanah dan akses 9 juta ha dan 12 juta Perhutanan Sosial tidaklah bisa disebut reforma agraria apabila tidak merubah struktur agraria yang timpang; …………..untuk lengkapnya silakan klik tautan diatas.