Judul Buku : Jalan Menuju Hutan Subur, Rakyat Makmur
Penulis: Barid Hardiyanto
Penerbit dan tahun : Gramedia Pustaka Utama, 2015
Tebal: 14x21cm; xxii + 156hlm.
Peresensi : M. Rawa El Amady
Membaca “jalan Menuju Hutan Subur, Rakyat Makmur’ karya Barid Hardiyanto yang terbayang di pikiran saya adalah sosok tokoh gerakan yang penuh semangat mengabungkan upaya praktis sebagai aktivis sejati dengan gerkan intelektual.(saya sendiri belum kenal dengan beliau). Buku ini bukti kongkrit bahwa penulisnya bukan hanya aktivis biasa tetapi seorarang aktivis yang sangat sadar pentingnya penguatan kapasitas individu untuk memperkuatkan gerakannya. Pada tahap ini saja, penulisnya bisa menjadi role model bagi dunia gerakan sosial di Indonesia terutama dalam upaya pelibatan rakyat mengelola hutan.
Saya mepunyai alasan yang kuat atas pernyataan saya di atas, pertama, buku ini merupakan tesis magisternya. Ini yang saya maksud sebagai kesadaran peningkatan kapasitas dan upaya perjuangan melalui jalur intelektual; Kedua, buku ini secara gamblang memaparkan bahwa kebijakan pro rakyat oleh Perhutani melalui Pengelolaan Hutan Bersam Masyakat (PHBM) belum pernah terlaksana karena pegawai Perhutani yang selalu mencari celah untuk mengabaikan kebijakan tersebut; Ketiga, membaca dari lembar awal hingga akhir buku ini pembahasnya sangat teknis, pilihan-pilihan katanya juga sangat teknis. Mungkin faktor disiplin ilmu yang mememperkuat penulis untuk menghadirkan pemikiran yang bersifat teknis pada buku ini.
Secara umum buku ini terdiri dari 6 bab, bab pertama membahas tentang sejarah hubungan Negara dengan petani disekitar hutan. Mulai dari kerajaan, VOC, awal kemerdekaan hingga era reformasi. Bab dua membahas pendekatan teori yang digunakan untuk melakukan penelitian dan menulis buku ini yaitu konflik sumberdaya alam, roadmap tata kelola hutan berkadilan dan advokasi kebijakan. Bab tiga, tekinis pengambilan data, yang menurut saya ini metode yang layak diikuti leneliti lain yaitu berkolaborasi dengan organisasi masyarakat lokal. Bab empat, berisi gambaran umum daera penelitian yaitu di daerah Cilacap. Bab lima pilihan kebijakan yang ditawarkan, dimula dari pengenalan masalah yang berpusat di Perhutani, tawaran kerja berkololaboratif melalaui roadmap tata kelola pehutanan yang adil dan dukungan advokasi kebijakan. Sedangkan bab enam, yang merupakan epilog dari penulis yang berisi semacam perenungan dan kesimpulan yang penulis tawarkan.
Buku ini akan menjadi semakin menarik jika menghadikran pendekatan ekonomi politik sebagaimana yang dilakukan Keith Hart (1982), Bebinton (1997), Arif Budiman (1996) dan James Carrier (2005) bahwa permasalahan utamanya adalah perebutan penguasaan sumber daya ekonomi. Hal ini selaras dengan pendapat Chalid, (2005) mengungkapkan bahwa perbedaan akses terhadap sumber daya ekonomi, sebanding lurus dengan penguasaan terhadap sumber daya politik. Melalui pendekatan ekonomi politik terungkap mengapa PHBM yang merupakan produk Perhutani belum pernah implementatif. Bahkan pegawai Perhutani yang selalu mencari celah untuk menunda-nunda implementasi PHBM, tetapi harus dipahami bahwa pegawai tersebut merupakan jendela untuk memahami gerakan kapitalisme global.
Apa yang terjadi sekarang ini, merupakan kelanjutan dari masa lalu. Daniel Lev (1985) mengkonstruksi negara Indonesia yang merdeka merupakan negara yang sama yaitu negara kolonial. Negara merdeka Indonesia sebagai kelanjutan kolonialisme yang berganti agensi, dari dominasi rasial eropah bergerak ke elit nasional yang berpendidikan, dan berdasarkan darah bangsawan menggantikan posisi orang Belanda. Proposisi Lev tersebut diperkuat oleh Tania Li (2012) bahwa penjajahan terhadap negara sendiri masuk dalam ranah UUD 1945 dengan memposisikan UUD 1945 secara abstrak terutama tentang kebudayaan, adat istiadat dan hak-hak ulayat. Negara mengadopsi sistem kekuasaan belanda dan memposisikan sumberdaya alam terutama tanah sebagai milik penguasa, sebagaimana sistem kerajaan di Eropah dan di Jawa.
Li (2012) mengemukakan bahwa pejabat negara dan para ilmuan memanfaatkan alasan pemborosan sumber daya oleh petani sebagai pembenaran penguasaan negara atas hutan. Pemerintah kolonial Belanda tahun 1874 mengeluarkan aturan pelarangan perladangan berpindah-pindah dan mengharuskan petani untuk mendapat izin resmi sebelum membuka hutan untuk memperluas lahan pertanian di desa. Meskipun Presiden Sukarno sudah mengeluarkan UUPA tahun 1960, namun belum ada presiden mengeluarkan peraturan pelaksananya, sehingga UU PA tidak pernah operasional. Sungguh sangat miris, UU PA saja tidak operasional apalagi PHBM. Buku ini memperkuat fakta atas teori ekonomi politik dan sejarah politik nusantara.
Ketika membaca buku ini, langsung tahu apa yang mejadi masalah dan cara menyelesaikannya. Oleh sebab itu, buku ini sangat dibutuhkan oleh dunia gerakan khusus gerakan reformasi agraria terutama sekali bagi pengambil kebijakan. Sebab itu, sarankan kepada para aktivis gerakan reforma agraria dan pejabat di dinas kehutanan, BUMN yang bergerak dibidang perhutanan, dan perkebunan menurut hemat saya wajib baca buku ini (M. Rawa El Amady (anthropologist).