Dalam rangka Hari Tani Nasional Jaringan Komunitas Swabina Pedesaan dan Bina Desa mengambil sikap politik untuk menolak upaya perubahan dengan alasan melengkapi dan menyempurnakan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA) melalui RUU Pertanahan karena RUU Pertanahan seharusnya melaksanakan UUPA 1960. Sikap penolakan ini adalah sebagai salah satu upaya menolak privatisasi dan liberalisasi pertanahan yang akan memberikan dampak buruk terhadap Komunitas Pedesaaan, masyarakat tani berlahan sempit dan tak memiliki tanah. Dampak buruk tersebut seperti semakin panjangnya konflik agraria, alih fungsi lahan pertanian, kriminalisasi petani, ketimpangan kepemilikan tanah dan perampasan tanah petani. Selain itu, RUU pertanahan juga sangat merugikan perempuan pedesaan. Tanah merupakan sumber penghidupan dan ruang hidup bagi perempuan sehingga ketika tanah dikuasai oleh negara atau pihak lain, maka perempuan akan teralienasi dari ruang hidupnya, seperti yang seringkali terjadi pada perempuan di pedesaan.
Jaringan Komunitas Swabina Pedesaan pun memandang bahwa RUU pertanahan memposisikan rakyat di pedesaan sebagai pihak yang tidak mampu dan tidak penting dalam melanjutkan program pembangunan, keluarga petani skala kecil dan buruh tani akan tetap berada pada strata terbawah dari proses pembangunan sehingga upaya untuk mendorong perubahan nasib petani akan mengalami kebuntuan. Selain itu, RUU Pertanahan juga belum memerhatikan perlindungan ekosistem pengelolaan tanah. Ada beberapa hal yang Jaringan Komunitas Swabina Pedesaan dan Bina Desa kritisi terkait RUU Pertanahan, yaitu :
- Hak Pengelolaan (HPL) bertentangan dengan UUPA 1960. RUU Pertanahan dalam konsiderannya menjalankan UUPA 1960 dan seharusnya pasal-pasal dalam RUU Pertanahan pun menjalankan UUPA 1960 bukannya bertentangan. Dalam UUPA tidak mengenal konsep Hak Pengelolaan (HPL). Dalam UUD 1945 dan UUPA 1960 mengenal konsep pengelolaan langsung oleh negara sebagai perwujudan Hak Menguasai Negara (HMN) tetapi RUU Pertanahan tidak demikian, Hak Pengelolaan (HPL) menjadi bagian dari Hak Atas Tanah.
- Proses administratif rekognisi sebagai pengakuan masyarakat adat berjenjang dan berkepanjangan. Pasal 5 pada bagian dua tentang hubungan kesatuan masyarakat hukum adat dengan tanah. Pada pasal ini, RUU Pertanahan menjadikan rekognisi sebagai pengakuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya menjadi proses administratif berjenjang dan berkepanjangan. Contoh perbandingan yang tidak berbelit adalah rekognisi terhadap hak-hak atas asal-usul desa sebagaimana diatur oleh UU Desa bahwa UU Desa secara otomatis mengakui hak-hak atas asal-usul desa tanpa proses administrasi berjenjang.
- Pengaturan HGU pertanahan bertentangan dengan UUPA 1960. Pasal 37 tentang perpanjangan hak atas tanah, pengaturan Hak Guna Usaha (HGU) pertanahan hingga 70 tahun bertentangan dengan UUPA 1960 yang hanya mengatur HGU maksimal selama 60 tahun. Fakta hukum, upaya memberikan HGU di atas yang dibatasi UUPA 1960 pernah dilakukan melalui Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) dimana Bina Desa bersama sejumlah Organisasi Masyarakat dan Tim Advokasi Gerak Lawan pernah mengajukan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi dimana dalam UU PM pemakaian Hak Atas Tanah/HGU selama 75 tahun. Menurut pendapat Mahkamah Konstitusi pemberian HGU terlalu lama berpotensi menghalangi pelaksanaan Hak Menguasai Negara (HMN) guna melindungi tujuan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
- Informasi HGU merupakan informasi publik. Dalam pasal 46 ayat 8 dan 9 tentang informasi publik. RUU pertanahan justru menghambat reforma agraria sebagaimana mandat RUUPA 1960 karena tidak secara benar dan detail mengatur pelaksanaan reforma agraria, penyelesaian konflik agraria, dan menjadikan informasi HGU bukan informasi publik padahal informasi HGU merupakan informasi publik guna melaksanaan reforma agraria dan percepatan penyelesaian konflik.
- Subyek Reforma Agraria tidak ditujukan kepada mereka yang membutuhkan tanah. Pasal 64 tentang Reforma Agraria, dalam pasal ini subyek Reforma Agraria seharusnya ditujukan kepada mereka yang benar-benar menggarap dan membutuhkan tanah untuk kehidupan yaitu petani, nelayan, perempuan, masyarakat adat, buruh, dan kaum miskin kota. Obyek Reforma Agraria harus benar-benar ditujukan untuk merombak ketimpangan agraria/ketimpangan tanah. Sebagimana putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian UU Perlindungan dan Permberdayaan Petani yang dimohonkan Bina Desa bersama Organisasi Masyarakat lainnya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa redistribusi tanah harus benar-benar memperhatikan petani kecil.
- Bank tanah mengakibatkan kesemrawutan kewenangan. Pasal 72 ayat 3 tentang lembaga pengelolaan tanah menyebutkan istilah bank tanah dalam lembaga pengelolaan tanah yang melakukan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pendistribusian tanah. Bank tanah akan mengakibatkan kesemrawutan kewenangan antar pemerintah, pemerintah daerah dan bank tanah dalam perencanaan dan penggunaan tanah serta mencampuradukkan antara kepentingan bisnis dan Reforma Agraria. Oleh karena itu, Jaringan Komunitas Swabina Pedesaan menilai bank tanah tidak diperlukan.
- Tidak dapat menyelesaikan konflik agraria. Pasal 91 pada BAB XII tentang ketentuan pidana tidak bisa diterapkan sepanjang konflik agraria yang bersifat struktural dan warisan masa lalu belum diselesaikan, belum selesainya pengakuan hak-hak masyarakat adat terkait dengan tanah dan hutan adat karena seringkali bagi masyarakat korban konflik agraria peristiwa itu kelanjutan dari konflik yang mereka alami. Hal ini menurut Jaringan Komunitas Swabina Pedesaan dan Bina Desa sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian UU No.18 tahun 2014 tentang Perkebunan dan UU No. 39 tentang Perkebunan yang mana di UU terakhir Bina Desa turut uji materi UU tersebut.
Jaringan Komunitas Swabina Pedesaan dan Bina Desa bersikap menolak RUU Pertanahan karena seharusnya merupakan pembaruan hukum pertanahan dalam rangka menjalankan Reforma Agraria untuk menciptakan masyarakat desa yang adil dan makmur sebagaimana dimandatkan oleh UUD 1945 dan UUPA 1960.
Jakarta, 24 September 2019
Jaringan Komunitas Swabina Pedesaan dan Bina Desa