“Perkuat Persatuan Gerakan Rakyat, Laksanakan Reforma Agraria Sejati dan Lawan Perampasan Tanah Rakyat”
Pada 24 September 1960, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) diundangkan. Tiga tahun sesudahnya, Presiden Sukarno melalui Kepres No. 169 Tahun 1963, menetapkan bahwa 24 September sebagai Hari Tani Nasional. Simbol bahwa kelahiran UUPA 1960 dimaksudkan untuk merombak nasib kaum tani dengan menyediakan tanah bagi kaum tani.
Sampai sekarang, ternyata nasib kaum tani tak kunjung membaik. Kemiskinan di pedesaan semakin luas, ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah semakin tajam, bahkan disertai konflik agraria yang tak kunjung diselesaikan. Padahal Undang-Undang Dasar 1945, UUPA No. 5/1960 hingga Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (PA-PSDA) mengamanatkan pelaksanaan reforma agraria sebagai jalan keluar dari masalah-masalah tersebut. Alih-alih mengimplementasikan UUPA, pemerintah justru menjalankan UU yang memperioritaskan tanah untuk kepentingan pemodal dan investor. Sementara UUPA telah 56 tahun diundangkan namun tak kunjung diimplementasikan.
Meskipun telah menjanjikan pelaksanaan reforma agraria, pemerintahan Jokowi-JK hingga dua tahun berkuasa tak nampak ada tanda-tanda hendak melaksanakan reforma agraria. Bahkan cenderung membelokkan reforma agraria menjadi sertifikasi tanah semata. Rencana redistribusi tanah untuk rakyat tak kunjung direalisasikan. Kerangka
reforma agraria Jokowi-JK yang hanya menekankan pada sertifikasi dan redistribusi tanah tidak menjawab persoalan ketimpangan struktur agraria maupun penyelesaian konflik agraria yang dihadapi masyarakat.
Krisis Agraria
Monopoli pemilikan dan penguasaan tanah maupun sumber agraria lainnya terus terjadi di negara kita. Saat ini rata-rata penguasaan tanah oleh petani di pedesaan <0,5 Ha. Sementara 531 konsesi hutan skala besar menguasai 35,8 juta Ha. Khusus di Jawa, monopoli atas tanah di kawasan hutan dilanggengkan oleh PT. Perhutani yang
menguasai lebih dari 2,5 juta Ha hutan Jawa. Di sektor perkebunan, korporasi sawit telah menguasai 13,4 juta Ha dan tiap tahunnya bertambah setengah juta hektar. Bahkan, sebagian lahan tersebut merupakan hasil konversi lahan hutan maupun lahan pertanian produktif masyarakat.
Sektor pertanian pangan tak luput dari praktik monopoli. Laju konversi lahan pertanian ke non-pertanian berjalan begitu cepat dan meluas, sekitar 200.000 Ha/tahun. Jika pun bertahan sebagai lahan pertanian, sesungguhnya penguasaan dan pengelolaannya telah berpindah tangan, terakumulasi ke perusahaan-perusahaan pertanian skala besar. Tercatat, lahan-lahan pertanian telah dikuasai oleh 2.452 usaha pertanian berskala besar. Demikian juga lahirnya kawasan-kawasan industri baru menyebabkan konversi lahan dan konflik agraria. Kemudian, monopoli terhadap benih juga menjadi persoalan lain yang tak kalah pelik. Berdasarkan data dari Aliansi Petani Indonesia (API), pemerintah hanya mengontrol sekitar 196 ton benih jagung, selebihnya 36.613 ton benih jagung dikontrol korporasi. Untuk benih padi, total kebutuhan di Indonesia sekitar 330.000an ton setiap tahun, penyedia benih bersubsidi yaitu PT Sang Hyang Sri dan PT Pertani hanya menyediakan sekitar 50 ribu sampai dengan 100 ribu ton pertahun.
Situasi ini menyebabkan kemiskinan di pedesaan. Per Maret tahun 2016 menunjukan bahwa desa masih menjadi penyumbang angka kemiskinan di Indonesia. Tercatat sebanyak 17,67 juta penduduk miskin hidup di desa, sementara 10,34 juta penduduk miskin hidup di kota. Kemudian, Indeks Kedalaman Kemiskinan naik dari 2,40 di tahun 2015 menjadi 2,74 dan Indeks Keparahan Kemiskinan naik dari 0,67 di tahun 2015 menjadi 0,79 di tahun ini (BPS, 2016). Dari kenyataan tersebut kaum perempuan yang paling dirugikan, karena faktanya pemililkan tanah masih didominasi oleh laki-laki. Kaum perempuan tak bisa meningkatkan taraf hidupnya akibat sistem hukum, adat dan budaya patriarki.
Proses deagrarianisasi secara masif telah mengakibatkan negeri ini tak mampu mencapai kedaulatan pangan. Akibatnya kita terjebak pada impor pangan seperti beras, kedelai, jagung, gandum, daging sapi, ayam, bahkan ubi kayu (singkong), kacang tanah dan bawang merah. Di sisi lain, petani yang kehilangan sumber penghidupannya dipaksa berpindah profesi menjadi buruh migran, buruh-buruh perkebunan, di pabrik-pabrik, atau mereka terlempar ke sektor informal perkotaan sebagai pekerja kasar dengan upah murah. Dampak di perkotaan, angka urbanisasi yang tinggi telah mendorong tumbuhnya kantong-kantong kemiskinan. Akibatnya terjadi pula ketimpangan struktur agraria di perkotaan, dimana lahan pemukiman dan ruang publik untuk masyarakat miskin perkotaan semakin menyempit karena diprioritaskan bagi sektor bisnis dan infrastruktur. Reklamasi pesisir dan pembuatan pulau baru yang dilakukan di kota-kota besar di Indonesia makin memperparah ketimpangan tersebut.
Ragam persoalan tersebut memicu konflik agraria di berbagai daerah, baik desa maupun kota. Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan dalam kurun waktu 2004-2015, tercatat 1.772 konflik agraria terjadi dengan luasan areal 6.942.381 hektar dengan korban 1.085.817 kepala keluarga. Jika di rata-rata, per 2 hari terjadi satu konflik agraria di Indonesia. Konflik ini terjadi di semua sektor; perkebunan, pembangunan infrastruktur, kehutanan, pertambangan, pertanian, hingga pesisir dan pulau-pulau kecil. Dari fakta-fakta di lapangan, monopoli perusahaan perkebunan (negara maupun swasta), terutama perkebunan kelapa sawit, dan gencarnya pembangunan megaproyek infrastruktur kerap merampas tanah rakyat. Begitu pun penggusuran di DKI Jakarta, catatan LBH Jakarta menunjukan setidaknya pada tahun 2016, ditargetkan 325 titik yang sebagian telah digusur dan akan digusur. Akibat penggusuran, masyarakat kehilangan hak-hak ekonomi dan sosialnya. Pada wilayah pesisir, nelayan kehilangan wilayah tangkap serta penurunan jumlah tangkapan karena kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh proyek reklamasi, yang semakin memperburuk kualitas hidup masyarakat miskin.
Masalah agraria ini diperparah dengan cara-cara penanganan konflik agraria yang masih menggunakan cara-cara lama, yakni pelibatan aparat Polri, TNI, satpol PP yang mengambil posisi vis a vis dengan masyarakat di wilayah-wilayah konflik. Selama sebelas tahun, 2004-2015, represifitas aparat di lapangan ini telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban kekerasan di pihak masyarakat. Tercatat petani, nelayan, masyarakat adat yang ditangkap 1673 orang, dianiaya/luka-luka 757 orang, ditembak 149 dan tewas 90 orang (KPA, 2015). Pelaku kekerasan selalu didominasi oleh polisi, tentara, security korporasi, pemda (satpol PP) dan preman.
Selama kurun waktu 2004-2015, KPA mencatat 1.673 orang ditangkap oleh aparat keamanan dengan tuduhan beberapa pasal dalam KUHP dan beberapa UU sektoral, terutama UU Perkebunan, Kehutanan, hingga P3H. Disamping itu jumlah petani yang tewas dalam kurun waktu tersebut berjumlah 90 petani, 149 orang tertembak dan 757 orang mengalami penganiayaan. Kontras mencatat pelanggaran HAM dalam konflik agraria kerap dilakukan oleh Pemerintah, TNI dan POLRI maupun pihak swasta. Hal ini menunjukan bahwa pemerintahan Jokowi-JK masih menggunakan kekerasan dalam berbagai konflik agraria. Bahkan, kini kriminalisasi menyasar pada petani yang mengolah lahan secara tradisional, padahal petani memiliki kearifan lokal dalam sistem perladangan mereka. Hingga agustus 2016, terdapat 454 petani yang telah ditetapkan sebagai tersangka karena berladang dengan pola tebas bakar.
Kondisi demikian terus langgeng dan memburuk karena lahirnya kebijakan-kebijakan sektoral, sebut saja, UU Nomor 41 tahun 1999 dan UU nomor 19 tahun 2004 tentang Kehutanan, UU Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, UU Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), UU Holtikultura, UU Migas, dan UU Penanaman modal. Beragam rancangan UU juga berpotensi melanggengkan ketimpangan, seperti RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU Perkelapasawitan dan sebagainya. Berbagai peraturan perundangan tersebut telah membuka lebar keran investasi dan praktik-praktik perampasan tanah skala raksasa atas nama pembangunan.
Reforma Agraria Sejati
Krisis agraria di Indonesia tidak bisa dijawab dengan reforma agraria ala Jokowi JK yang melenceng dari reforma agraria sejati. Dalam UUPA 1960 dan Tap MPR No. IX/2001, sedikitnya terdapat beberapa prinsip pokok dalam reforma agraria sejati, antara lain;
Pertama, mengingat ketimpangan struktur agraria yang tajam, maka sejatinya orientasi reforma agraria haruslah ditujukan untuk menata ulang pemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria terutama tanah di seluruh wilayah negara.
Kedua, operasi penataan ulang struktur agraria yang timpang dan proses redistribusi tanah (landreform) harus disertai program penunjang (landreform plus), seperti sarana dan prasarana pertanian; perkreditan, infrastruktur penunjang (irigasi dan jalan), penyuluhan, pendidikan, pemasaran, teknologi, mekanisme pasar yang melindungi petani sebagai produsen utama.
Ketiga, subyek utama (penerima manfaat) reforma agraria ditujukan untuk kepentingan petani kecil (gurem), penggarap, buruh tani, nelayan, masyarakat adat dan golongan ekonomi lemah lainnya. Semua golongan itulah, baik laki-laki maupun perempuan, merupakan prioritas penerima manfaat (subjek hukum) dari pelaksanaan reforma agraria.
Keempat, objek reforma agraria harus menyasar tanah-tanah yang dikuasai atau dimiliki secara monopoli oleh badan usaha swasta (domestik maupun asing) atau badan usaha milik negara di semua sektor. Secara langsung, wilayah-wilayah konflik agraria seharusnya menjadi lokasi prioritas pelaksanaan reforma agraria, karena disitulah letak ketimpangan struktur agraria dan kemiskinan sosial-ekonomi terjadi.
Kelima, kelembagaan pelaksana reforma agraria haruslah di bawah Presiden, sehingga dapat memimpin dan mengkoordinasikan lintas-sektor (kementerian/lembaga termasuk pemda). Kelembagaan ini harus melibatkan organisasi masyarakat sipil dan organisasi rakyat yang memperjuangkan reforma agraria, hal ini bertujuan untuk memastikan subyek dan obyek reforma agraria tepat sasaran, berkeadilan gender, serta sesuai dengan tujuan utama pelaksanaannya.
Keenam, reforma agraria harus disertai dengan perubahan sistem ekonomi-politik agraria dan orientasi pembangunan nasional yang selama ini dijalankan. Mustahil perbaikan struktur agraria yang timpang dan penyelesaian konflik agraria melalui pelaksanaan reforma agraria dapat dicapai, apabila pemerintah tetap menjalankan kebijakan ekonomi dan pembangunan yang liberal dan kapitalistik yakni sistem yang mendukung perampasan tanah dan penggusuran atas nama pembangunan.
Di titik ini, kami nyatakan bahwa reforma agraria yang hendak dijalankan oleh Jokowi-JK merupakan reforma agraria palsu, selain ia tidak diorientasikan untuk betul- betul merombak struktur agraria yang timpang, juga tidak mengandung prinsip-prinsip dasar di atas. Untuk itu, dalam momentum Hari Tani Nasional ke-56, kami dari Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), menyampaikan tuntutan kepada Jokowi-JK sebagai berikut:
- Laksanakan Reforma Agraria sejati;
- Selesaikan konflik-konflik agraria di semua sektor (perkebunan, kehutanan, pembangunan infrastruktur, pertambangan, pertanian, pesisir dan pulau-pulau kecil);
- Hentikan kerterlibatan Polri dan TNI di wilayah-wilayah konflik agraria dan hentikan tindakan represif, kriminalisasi terhadap rakyat yang sedang memperjuangkan haknya atas tanah;
- Wujudkan kedaulatan pangan dengan cara memperkuat basis produksi-ekonomi kerakyatan, menghentikan impor pangan, dan hentikan perluasan investasi korporasi pangan skala
besar.
Kami menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memperkuat persatuan gerakan rakyat. Kaum petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, mahasiswa, perempuan dan masyarakat miskin kota harus terus menggalang kekuatan untuk menuntut pemerintah menjalankan reforma agraria sejati.
Lanjutkan terus perjuangan melawan perampasan tanah rakyat oleh penguasa dan pemodal di seluruh Nusantara.
Selamat Hari Tani Nasional 2016.
Jakarta, 27 September 2016
Hormat kami,
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)
Dewi Kartika
Koordinator Umum
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)
KPA, SPI, API, AMAN, KPBI, WALHI, BINA DESA, KontraS, SP, SAINS, IHCS, JKPP, KIARA, SW, Pusaka, YLBHI, STI, SPM, SPB, FPRS, SEPETAK, FPPB, STIP, STAM, WAMTI, IPPHTI, SPRI, SNI, KNTI, SPKS, LBH Jakarta, GMNI, SMI, Jaka Tani, TuK-Indonesia, STKS, JRMK, UPC, SP Jabotabek, FIELD-Indonesia, KPOP