(Oleh: Indonesia for Global Justice dan Sekretariat Bina Desa)
Jakarta, 14 Agustus 2014. Indonesia for Global Justice (IGJ) dan Sekretariat Bina Desa mendesak Pemerintah Indonesia untuk memperjuangkan proposal subsidi pertanian di WTO. Desakan ini dilakukan atas langkah India yang menolak untuk menandatangani Perjanjian Trade Facilitation akibat proposal subsidi pertanian yang diajukan oleh negara berkembang tidak kunjung menghasilkan kesepakatan yang memuaskan.
Pada 3-6 Desember 2013, KTM IX WTO di Bali telah menghasilkan sebuah kesepakatan yang disebut dengan Paket Bali yang terdiri dari: Perjanjian Trade Facilitation (mengenai aturan pergerakan barang di kepabeanan), Paket untuk negara kurang berkembang, dan Proposal pertanian khususnya terkait subsidi cadangan pangan. Namun, sayang kesepakatan subsidi cadangan pangan belum mendapatkan solusi permanen atas desakan negara berkembang yang menginginkan penghapusan pembatasan pemberian subsidi cadangan pangan untuk negara-negara berkembang. Sementara itu, perjanjian Trade Facilitation telah diadopsi oleh WTO pada 31 July 2014 dan otomatis akan diimplementasikan pada 31 Juli 2015 jika 2/3 Negara anggota WTO menyetujuinya.
Proposal subsidi pangan adalah Proposal yang diusulkan oleh Kelompok 33 (G33) di WTO tentang isu public stockholding for food security. Tujuannya hendak menghapuskan pembatasan pemberian subsidi untuk kepentingan public stockholding dalam rangka membantu petani miskin dan meningkatkan bantuan pangan untuk kelompok masyarakat miskin.
Tanpa adanya solusi permanen program public stockholding Negara berkembang seperti India dan Indonesia akan terbentur dengan masalah batasan domestic support yang ditetapkan sebesar 10% dari nilai produksi nasional. Subsidi tersebut juga diberikan atas dasar patokan harga yang sudah tidak relevan lagi dipakai yaitu pada tahun 1986-1988.
Dalam menyikapi hal ini, Pemerintah Indonesia, yang juga sebagai Ketua G33 di WTO, lebih memilih berposisi sebagai pihak yang tidak mendukung keputusan India. Bahkan, tetap mendorong agar Kesepakatan Trade Facilitation bisa mencapai kata sepakat. Padahal Indonesia tengah mengalami persoalan pangan. Misalnya saja, kasus melonjaknya harga pangan, ketergantungan pada pangan impor, hingga kemiskinan petani yang menjadikan pertumbuhan sektor pertanian Indonesia semakin menurun. Kebijakan ini sangat merugikan Indonesia, dan akan semakin mendorong Indonesia ke dalam krisis pangan.
Terhitung sejak 2010, perdagangan di sektor pertanian, khususnya subsector tanaman pangan dan hortikultura masih terus mengalami defisit, yaitu US$ 4,13 Miliar pada 2010 dan meningkat menjadi US$ 6,8 Miliar pada 2013. Kondisi petani pun masih jauh dari kata sejahtera. Hal ini terlihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) untuk subsector tanaman pangan mengalami penurunan. Data BPS menyebutkan bahwa NTP Subsektor tanaman pangan periode Juni-Juli mengalami penurunan yakni dari sebesar 98,22 menjadi 98,04.
Keberadaan Proposal subsidi pertanian seharusnya bisa dijadikan peluang untuk meningkatkan kualitas pembangunan sektor pertanian di Indonesia. Namun, Pemerintah belum meletakan sektor pertanian sebagai isu prioritas. Hal ini tercermin dalam ketidakseriusan pemerintah untuk menyelesaikan beberapa persoalan dalam isu pangan.
Dari penelitian yang telah dilakukan IGJ pada 2013 (mengenai Efektifitas Proposal G33 Dalam Mewujudkan Kedaulatan Pangan Indonesia), ditemukan bahwa hingga saat ini pemerintah belum menjawab beberapa persoalan yang muncul dalam system cadangan publik Indonesia, seperti: (1) cadangan pangan publik yang hanya terbatas pada komoditas beras (terkait pembatasan peran Bulog); (2) Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk komoditas beras yang tidak sesuai dengan nilai keekonomian petani; (3) Mekanisme penyerapan oleh Bulog; dan (4) jumlah penyaluran Raskin yang masih jauh dari angka kemiskinan yang ada dan tidak sesuai dengan jumlah kebutuhan. Persoalan ini disebabkan oleh nilai subsidi pangan yang masih sangat rendah.
Keputusan yang diambil Pemerintah Indonesia pada saat perundingan di KTM IX WTO di Bali pada Desember 2013 yang lalu telah melepas tanggung jawab pemerintah terhadap persoalan pangan. Bahkan, pemerintah menukar kepentingan proposal subsidi pertanian dengan kesepakatan Trade Facilitation yang dipastikan akan semakin membuka pintu impor Indonesia dan meningkatkan nilai utang luar negeri. Pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab atas keputusan yang diambil dan telah merugikan Indonesia khususnya petani.
Persoalan ini harus dijadikan pijakan bagi Pemerintahan baru yang terpilih dalam Pemilu 2014 untuk mengevaluasi kembali kebijakan diplomasi ekonomi internasional, khususnya dalam perundingan di WTO. Untuk itu, kami meminta agar Pemerintah Indonesia segera:
1) Memperjuangkan proposal subsidi pertanian.
2) Menolak untuk menyetujui Kesepakatan Trade Facilitation.
3) Merevisi dan meningkatkan subsidi pangan.
4) Merevisi system cadangan pangan publik yang berpihak kepada kedaulatan pangan.
5) Secara mandiri membuat alternative kerjasama multilateral dengan prinsi-prinsip kerjasama pembangunan dan solidaritas Internasional, seperti yang diamanatkan oleh Konstitusi 1945
****
Informasi lebih lanjut hubungi:
Achmad Yakub (Sekretariat Bina Desa) 0817- 712347
Rachmi Hertanti (Manager Riset & Monitoring–Indonesia for Global Justice) 0817-4985180