Bina Desa

Kertas Posisi Komite Rakyat Untuk Transformasi Sistem Pangan Juli 2021: MENTRANSFORMASI SISTEM PANGAN BERORIENTASI KEDAULATAN PANGAN MELALUI GERAKAN RAKYAT

Kertas Posisi Komite Rakyat Untuk Transformasi Sistem Pangan Juli 2021
“MENTRANSFORMASI SISTEM PANGAN BERORIENTASI KEDAULATAN PANGAN”
MELALUI GERAKAN RAKYAT
Pandangan Masyarakat Sipil Indonesia terhadap KTT Sistem Pangan Dunia PBB

PENDAHULUAN
Dinamika sistem pangan nasional takkan terlepas dari adanya pengaturan pangan tingkat dunia yang aktor-aktornya saling berkaitan. Selama ini pengaturan pangan global yang sudah berada dalam cengkeraman korporasi akan semakin kuat, tercermin dari rencana penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Sistem Pangan Dunia oleh PBB (United Nations Food System Summit-UNFSS) yang terdiri dari acara Pre-Summit pada 26-28 Juli 2021 dan puncaknya pada September 2021 di New York.

KTT Sistem Pangan Dunia PBB merupakan KTT yang bertujuan untuk menciptakan sistem pangan yang lebih sehat, adil, dan berkelanjutan. KTT ini dimaksudkan untuk menjadi wadah dalam mengentaskan permasalahan kelaparan dan gizi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan Laporan SOFI 2021 (State of the Food Security and Nutrition in the World), lebih dari 811 juta penduduk dunia menghadapi kelaparan pada tahun 2020 atau meningkat 116 juta dari tahun 2019.

Namun, penyelenggaraan KTT tidak dibangun dari inisiatif negara anggota PBB (member-states), terkhusus FAO (Food and Agriculture-Organisasi Badan Pangan Dunia), ataupun inisiatif para petani, nelayan, buruh, masyarakat sipil dan organisasi massa, atau lembaga berbasis HAM PBB yang relatif demokratis, partisipatif, dan berbasis hak seperti Komite Ketahanan Pangan Dunia (Committee of World Food Security/CFS). Inisiatif menyelenggarakan KTT ini datang dari Sekjen PBB dan melibatkan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) yang beranggotakan korporasi-korporasi berkepentingan bisnis. Tentunya, ini berpotensi menyebabkan konflik kepentingan dan penyimpangan dari visi KTT sendiri yang bertujuan yang lebih sehat, adil, dan berkelanjutan. Dalam hal ini keadilan dalam mentransformasi sistem pangan untuk berpihak pada hak rakyat.

Kerjasama strategis PBB-WEF pada 2019 silam dan pengikutsertaan Agnes Kalibata, Presiden AGRA (Aliansi Revolusi Hijau Afrika), sebagai Special Envoy (Utusan Khusus) juga semakin mengukuhkan kepentingan dan peluang dominasi bisnis dalam prosesnya. AGRA adalah salah satu organisasi yang didukung dan didanai Gates Foundation yang punya orientasi mempromosikan Revolusi Industrial Keempat yang mengonsentrasikan kuasa pada institusi riset dan korporasi agribisnis, serta mendorong praktik-praktik pertanian industrial berintensif kimia.

Dasar pelaksanaan KTT tentunya berpengaruh terhadap struktur, keluaran yang akan dihasilkan, berikut dampak pengaturan sistem pangan global dalam jangka panjang. Secara struktural, penyelenggaraan KTT bergeser dari pendekatan multilateralisme, di mana input dan solusi diwakilkan oleh negara anggota (member-states), ke multipihak atau multistakeholderism di mana semua aktor dalam sistem pangan diikutsertakan dalam forum penghimpunan aspirasi dan pengambilan keputusan.

Meskipun dalilnya adalah inklusivitas, tetapi forum multipihak berarti menaruh seluruh aktor dalam satu wadah, termasuk korporasi yang ‘dicampur’ dengan kelompok marginal. Dampaknya ada empat. Pertama, terjadi konflik kepentingan, di mana korporasi yang punya kepentingan privat, yakni memiliki sifat memaksimalkan keuntungan melalui peningkatan penjualan, akan berbenturan dengan kepentingan publik dalam pemenuhan pangan dan gizi, yang harus berorientasi pada akses untuk semua . Kedua, solusi yang dihasilkan tetap menempatkan korporasi sebagai aktor yang diandalkan dalam pengentasan masalah pangan dan gizi, misal climate smart agriculture dan biofortifikasi untuk mengatasi permasalahan gizi buruk melalui campur tangan korporasi (dan ahli gizi), yang sebenarnya justru menghilangkan keragaman pangan yang sehat, bergizi, dan diproduksi secara alami. Ketiga, korporasi sebagai aktor yang kerap menjadi pelanggar HAM nomor satu yang mendominasi seluruh lini dalam sistem pangan, tidak dilihat sebagai akar permasalahan sistem pangan hari ini yang harus dicari solusinya; misal dengan membatasi kuasanya melalui serangkaian regulasi dan kebijakan. Keempat, perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan buruh dan perempuan adat mengalami dampak yang lebih berat dan mendalam karena peran gendernya akibat keserakahan korporasi. Karakteristik korporasi yang berorientasi pada keuntungan dan produksi massal merupakan karakteristik yang patriarki, yang meminggirkan perempuan dengan karakteristiknya yang merawat, menjaga dan berkelanjutan.

Dengan demikian bukan kedaulatan pangan yang terlihat, melainkan korporatisasi pangan yang berarti menjadikan petani, nelayan, buruh, dan masyarakat adat sebagai objek dari pembangunan pertanian itu sendiri alias sapi perahnya korporasi. Korporatisasi pangan tersebut sebenarnya justru merupakan penerapan dari konsep Ketahanan Pangan yang diusung oleh FAO pada KTT Sistem Pangan 1996 dan kemudian diadopsi oleh seluruh negara anggota FAO hingga sekarang. Dalam hal ini Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Sementara Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Secara sederhana konsep ini diartikan bahwa tidak penting pangan itu disiapkan oleh siapa dan bagaimana memproduksi dan mengolahnya dan oleh karena itu korporatisasi pangan dengan penerapan pertanian kimia (Revolusi Hijau), rekayasa genetika, dan pasar bebas menemukan jalannya.

Selain itu, konsekuensi yang lain adalah skema akuntabilitas dalam struktur ini menjadi tidak jelas . Alih-alih membuat forum pengambilan keputusan dengan aturan yang jelas dan hukum yang mengikat (legally binding), di mana negara sebagai pemegang kewajiban yang mandat dan pertanggungjawabannya jelas mewakili kepentingan rakyatnya, KTT “… melibatkan berbagai stakeholders ke diskusi kebijakan tanpa aturan serta alur yang jelas soal keikutsertaan mereka” . KTT justru tidak melibatkan lembaga PBB lain yang berkepentingan memastikan terpenuhinya hak dasar seperti CFS dan ILO juga tidak diikutsertakan.

Negara yang memperoleh tempat dalam memberikan masukan, di antaranya melalui Dialog Nasional dan Dialog Subnasional dimana Bappenas sebagai penyelenggaranya justru lebih memberi ruang bagi kepentingan privat yang juga berbasis pasar, dengan dilibatkannya asosiasi-asosiasi bisnis yang beranggotakan korporasi-korporasi agribisnis seperti PISAgro dan World Business Council for Sustainable Development (WBCSD), dan melalui organisasi non-profit yang bermitra dengan sektor privat seperti GAIN Indonesia. Seleksi dan invitasi partisipan juga tidak diketahui apa dasarnya atau bagaimana prosesnya. Per bulan Juli, Bappenas sudah melaksanakan satu dialog nasional dengan lima dialog subnasional yang hasilnya akan dibawa ke Pre-Summit KTT Sistem Pangan Dunia di Roma pada tanggal 26-28 Juli 2021 ini.

Sebagaimana yang telah dikritik oleh gerakan masyarakat sipil di skala internasional, hasil dari forum di Indonesia, bila dikritisi lebih dalam, cenderung berlogika/berorientasi pasar dan kebanyakan mendorong permasalahan teknis seperti perbaikan teknologi, finansialisasi, efisiensi, dan produktivitas dalam sistem pertanian dan pangan. Agroekologi, pangan lokal, dan pertanian keluarga sudah dimasukkan sebagai solusi, tetapi narasinya terkooptasi dan tidak dapat merealisasikan tujuannya yang sejati apabila diimplementasikan bersamaan dengan solusi lain yang malahan bertentangan, seperti korporasi petani, climate smart agriculture, dan biofortifikasi. Ini menandakan, permasalahan struktural dalam sistem pangan, terutama yang terkait dengan adanya dominasi korporasi dalam sistem pangan atau pelanggaran HAM yang disebabkan oleh korporasi menjadi tidak terbahas secara menyeluruh, pun solusi yang berusaha merespon masalah tersebut.

Dari uraian di atas, Penyelenggaraan KTT Sistem Pangan (UNFSS) mempunyai dua kesalahan, yakni kesalahan prosedur-proses dan kesalahan paradigma sistem pangan yang bias korporasi dan sekaligus melanggar hak rakyat sebagai pemegang hak (rights holders). Sementara Indonesia justru sangat memerlukan pengendalian dan pengurangan dominasi korporasi karena menimbulkan permasalahan pangan yang kami jabarkan sebagai berikut:

PERMASALAHAN DALAM SISTEM PANGAN DI INDONESIA
Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan yang kompleks dalam sistem pangan, yang mencegah masyarakat memperoleh pemenuhan hak atas pangannya secara menyeluruh. Sistem pangan di Indonesia, mulai dari produksi, distribusi, dan konsumsi didominasi oleh korporasi-korporasi besar yang mengakumulasi keuntungan dan tidak mengentaskan permasalahan gizi serta kelaparan. Hal ini juga dipengaruhi posisi Indonesia dalam sistem pangan global dan perdagangan dunia yang dipaksakan melalui berbagai perjanjian internasional, yang membuat Indonesia menjadi daerah pemasok bahan baku industri seperti kelapa sawit, coklat, kopi, dan tanaman industri lainnya, tetapi juga menjadi sasaran empuk baik ekspor maupun investasi dari negara-negara industri. Tercatat terdapat 40 perjanjian perdagangan bebas yang diikuti oleh Indonesia, yang berarti semakin banyak kebijakan nasional yang harus disesuaikan dengan substansi perdagangan bebas, pro impor pangan, dan semakin memberi ruang bagi korporasi untuk mengontrol pasar. Di sisi lain, negara tidak memberikan perlindungan hukum yang berpihak pada produsen pangan skala kecil dan konsumen rentan.

Dari sisi produksi (Alat Produksi), perampasan tanah dan konversi lahan terus dihadapi petani dan kelompok masyarakat adat yang membuat mereka kehilangan kontrol serta akses terhadap sumber daya produktif sekaligus sumber pangannya. Perampasan dan penutupan akses dan kontrol bukan hanya untuk kepentingan alihfungsi menjadi lahan perkebunan demi menyiapkan komoditas ekspor, tetapi juga diperuntukkan dalam membangun proyek-proyek infrastruktur raksasa, perluasan industri ekstraktif seperti pertambangan, dan pariwisata.
Dari sektor pangan laut, pembangunan proyek skala besar seperti reklamasi pantai, pertambangan pasir, pertambangan nikel, dan pertambangan migas terbukti kuat menghancurkan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang mengancam keberlanjutan pangan laut di Indonesia sekaligus mengancam kehidupan nelayan tradisional atau nelayan skala kecil sebagai produsen utama pangan laut. Ekosistem yang rusak telah menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan ikan dan terganggungnya perekonomian nelayan kecil. Hal ini diperburuk dengan urusan birokrasi yang sulit terkait pengurusan izin usaha perikanan dan pembudidayaan, serta aturan penggunaan alat tangkap yang banyak membatasi nelayan kecil tetapi tidak menindak kapal-kapal besar yang menggunakan alat tangkap yang lebih masif menjaring ikan.

Kebijakan reforma agraria di Indonesia telah diatur dengan Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960, tetapi pengaturan agraria yang berlaku dari era Orde Baru hingga saat ini belum merealisasikan reforma agraria sesuai mandat pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960, tetapi pengaturan agraria berorientasi pasar yang lebih menguntungkan pihak-pihak korporasi dan investasi asing.

Masih dalam sisi produksi (Mode Produksi) , promosi dan penerapan pertanian monokultur industrial dengan input/sarana produksi tani (saprotan) eksternal (benih, pupuk, pestisida, obat-obatan tanaman) yang diproduksi oleh agroindustri atau ilmuwan-ilmuwan dalam bidang rekayasa genetika sejak Revolusi Hijau di era Orde Baru, telah membuat petani berada dalam ketergantungan dan ancaman kerusakan lahan, sementara korporasi agroindustri terus mendulang keuntungan. Petani yang mencoba mengembangkan benih sendiri juga terbentur urusan birokratif dalam perizinan serrtifikasi benih dan biaya pendaftaran. Di sisi lain, subsidi pemerintah juga tidak menjadi jawaban karena sering salah sasaran dan membuat petani harus mengakses saprotan komersil yang mahal, mengakibatkan meningkatnya biaya produksi yang tidak sebanding dengan pendapatan hasil penjualan panen, menimbulkan kerugian. Banyak petani yang akhirnya tidak bertahan dan akhirnya mengalihkan mata pencahariannya menjadi buruh upahan, baik sebagai buruh tani atau buruh perkebunan bila mereka masih bertahan di pedesaan.

Padahal, pekerjaan sebagai buruh menjebak mereka dalam keterancaman yang lain: lingkungan kerja yang berbahaya dan eksploitatif dengan pengupahan yang murah untuk menekan biaya produksi perusahaan.
Berkenaan dengan krisis pangan yang diperingatkan oleh FAO sebagai akibat dari Pandemi Covid-19 dan perubahan iklim, pemerintah membangun kawasan pertanian pangan secara luas (Food Estate) seperti tidak berkaca dari kegagalan Food Estate di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (2009-2014). Food Estate menerapkan pertanian monokultur dengan model kimiawi dan memberi peran luas kepada korporasi dari hulu ke hilir yang tetap menaruh petani hanya sebagai penyumbang tenaga kerja dan meminggirkan cara produksi pangan yang lebih sesuai dengan kebudayaan lokal dan adat setempat.

Kedua hal—perampasan tanah dan pertanian industrial—diperburuk dengan liberalisasi investasi untuk menciptakan pasar tanah melalui pembentukan bank tanah dan liberalisasi pasar yang menyebabkan impor pangan dan impor benih menjadi semakin masif melalui pasal-pasal dalam Omnibus Law atau Undang-Undang No. 12 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Impor pangan menyebabkan petani dan nelayan harus bersaing dengan produk pangan dari luar dan menjatuhkan harga jual hasil panen mereka. Sementara untuk impor benih, terdapat ancaman bahwa (1) petani akan dipaksa bergantung pada benih yang dimonopoli oleh segelintir korporasi multinasional di dunia, (2) terjadi paten dan komodifikasi benih melalui berbagai kebijakan global, (3) kriminalisasi petani benih karena dianggap sebagai produsen illegal, dan (4) preferensi pada varietas benih modern (hibrida, GMO, biofortifikasi) yang dianggap lebih unggul daripada benih lokal.

Dari sisi distribusi, produsen pangan skala kecil juga menghadapi panjangnya rantai yang dipermainkan tengkulak dan mafia pangan, serta monopoli pasar yang dikuasai oleh korporasi. Ini menimbulkan harga jual panen petani atau produsen pangan skala kecil lainnya rentan dipermainkan dan tidak menutup biaya produksi yang telah dikeluarkan. Semakin tidak menjanjikannya keuntungan dari hasil bertani ataupun melaut, ditambah perampasan lahan dan juga relasi tenurial yang timpang antara petani penggarap dengan tuan tanah yang tidak diatur dengan baik dan memiliki sistem peradilan yang adil oleh negara, membuat produsen pangan skala kecil bermigrasi ke kota atau beralih kerja menjadi buruh atau tenaga kerja upahan yang menerima upah atau gaji yang murah, selanjutnya mengancam mereka dalam kemiskinan. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa jumlah petani gurem yang terus meningkat selama satu dasawarsa terakhir (sementara penguasa lahan di atas 10.000 hektar tidak mencapai 1% dalam statistik penguasaan lahan) , menurunnya jumlah penduduk di pedesaan , serta menurunnya jumlah nelayan di Indonesia.

Selain itu karena pengaturan agraria di sisi alat produksi—yang gagal menanggulangi atau malah menyebabkan—ketimpangan kepemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria dan SDA, menyebabkan berkurangnya produksi pangan yang sehat, bergizi, dan beragam, kemudian menambahkan alasan untuk impor pangan dan terjadilah lingkaran setan atau vicious circle.

Impor menyebabkan pemenuhan pangan di Indonesia menjadi bergantung pada sistem pangan global yang harganya sewaktu-waktu bisa naik dan memengaruhi kenaikan harga di tingkat nasional, membuat harga komoditas pangan primer tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Lebih dari itu produsen pangan skala kecil terancam karena produknya harus bersaing dengan produk impor di pasaran yang menjatuhkan harga jual hasil panen mereka. Impor bahan-bahan tertentu seperti garam, gandum, dan gula menguatkan industri pangan, termasuk industri raksasa makanan dan minuman jadi yang menghasilkan makanan dan minuman ultraproses dengan harga yang murah. Lebih dari itu, kebijakan impor pangan juga semakin dimudahkan melalui pasal-pasal dalam Omnibus Law atau Undang-Undang No. 12 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Permasalahan lainnya pada sisi distribusi adalah liberalisasi model saluran pemasaran – yang dibuktikan dengan menjamurkan industri ritel hingga ke kelurahan dan perdesaan. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan gaya hidup masyarakat dan berlanjut tergesernya kios-kios rakyat dan pasar lokal tradisional ( territorial market). Bahkan Industri ritel milik korporasi tersebut mencakup pangan.

Dari sisi konsumsi, menguatnya korporasi juga berdampak pada dan bahkan mengubah gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat baik produsen pangan maupun konsumen pangan. Preferensi terhadap makanan instan dan murah semakin tinggi seiring dengan perubahan gaya hidup dengan beban dan durasi kerja yang tinggi dan himpitan ekonomi yang dihadapi petani kecil, nelayan, miskin kota dan buruh. Tercakup dalam hal ini makanan cepat saji (fast food) milik restoran korporasi asing seiring dengan perubahan pola gaya hidup dan pola konsumsi. Perubahan ini tidak hanya terjadi pada masyarakat kelas menengah-atas, melainkan juga masyarakat bawah seiring dengan menjamurnya industri retail pangan sebagaimana yang disebut pada sisi distribusi.

Makanan instan seperti mie instan, sarden kalengan, dan bumbu-bumbu artifisial tinggi MSG, natrium, dan kandungan kimia lain menjadi pilihan makan bagi rumah tangga-rumah tangga miskin, di antaranya masyarakat miskin kota, para buruh, bahkan buruh industri pangan dan produsen pangan itu sendiri, seperti buruh perkebunan sawit dan petani miskin tunakisma. Pendapatan yang jauh dari kata layak, dibarengi dengan ketiadaan sumber pangan subsisten, kerap membuat seorang buruh mesti berhutang untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Siasat lainnya adalah menekan pengeluaran untuk kebutuhan pangan atau berhemat dengan membeli makanan yang murah dan “enak” seperti makanan instan tadi. Sementara makanan instan dan makanan cepat saji belum tentu memenuhi kecukupan gizi dan alih-alih justru tidak menjamin keamanan pangannya (Food Safety). Sebagai konsekuensi, muncul kelaparan struktural berupa permasalahan kesehatan dan gizi seperti stunting, gizi buruk, obesitas, dan penyakit-penyakit seperti diabetes, jantung, dan stroke.

Permasalahan gizi dan kesehatan tersebut juga tidak lepas dari panjangnya rantai pasok yang memisahkan petani, nelayan, dan produsen pangan skala kecil lain dengan buruh dan masyarakat miskin kota, sehingga tidak ada titik temu antara keberlanjutan produksi dan keberlanjutan konsumsi diantara mereka. Ketidakadaan tersebut berakibat pada harga pangan yang pada saat tertentu berpengaruh pada ketidakterjangkauan buruh dan miskin kota terhadap pangan. Begitu juga sebaliknya, harga pangan yang rendah menjadi masalah bagi produsen pangan.

Dalam seluruh lini permasalahan dalam sistem pangan, terdapat diskriminasi, marginalisasi, dan eksklusi terhadap perempuan. Tidak ada pengakuan terhadap posisi dan peran perempuan dalam pengelolaan pangan, baik petani maupun nelayan. Perempuan nelayan masih sulit memperoleh kartu identitas sebagai produsen yang berpengaruh pada tidak dipenuhinya hak-hak mereka atas kesejahteraan. Pola pertanian yang semakin industrial juga mengurangi peran perempuan yang vital dalam menjaga keberlanjutan pertanian. Perempuan yang bekerja sebagai buruh dalam sektor pangan, di perkebunan sawit misalnya, menghuni pekerjaan-pekerjaan yang berupah lebih rendah dari kerja buruh laki-laki tetapi tetap berada dalam lingkungan kerja yang eksploitatif, beracun, berbahaya, dan rentan kekerasan. Dalam konteks kepemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan sumber agraria, perempuan juga masih kerap mengalami diskriminasi. Ketimpangan penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan lahan antara perempuan dan laki-laki juga masih lebar.

Sedangkan dalam konsumsi, perempuan merupakan aktor yang paling sering disasar oleh korporasi agribisnis untuk memasarkan produknya dengan cara-cara yang agresif. Seperti misalnya, seorang ibu yang sering menjadi korban promosi produk pengganti ASI seperti Formula Susu Sapi (FSS) untuk dirinya dan bayinya yang kemudian menggantikan susu ibu itu sendiri—sebuah pelanggaran hak atas pangan karena bayi memerlukan ASI eksklusif bukan FSS. Kebijakan pencegahan stunting anak dan penanganan kurang gizi pada ibu dan perempuan di Indonesia, juga seringkali terjebak sebatas pada pemberian makanan fortifikasi atau tablet penambah darah yang sebenarnya merupakan keluaran dari agribisnis bersama dengan teknologi pangan. Hal ini tidak membedah permasalahan struktural yang bisa menyebabkan seorang perempuan kurang gizi: ketiadaan akses perempuan terhadap sumber daya produktif, pengurangan beban berlapis yang disandang perempuan, dan kekerasan dalam rumah tangga yang menyebabkan kebutuhan pangannya tidak tercukupi.

Dengan adanya permasalahan pangan yang menunjukkan dominasi korporasi—baik korporasi nasional ataupun multinasional (MNC)—dalam produksi, distribusi, dan konsumsi, juga diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok marginal lainnya, negara yang harusnya menyediakan perlindungan hukum dan menanggulangi diskriminasi, serta ketimpangan kuasa serta akses, malahan mengukuhkan berbagai peraturan yang memberikan kemudahan bagi korporasi dari jaminan lahan, pasar, hingga perlindungan hukum, di antaranya melalui UU Cipta Kerja tadi.

 

PERSPEKTIF MASYARAKAT SIPIL DAN ORGANISASI MASSA: KEDAULATAN RAKYAT DAN KEDAULATAN PANGAN ADALAH KUNCI PERUBAHAN SISTEM PANGAN
Dari uraian di atas, sistem pangan ditinjau dari ekonomi politik adalah sistem pangan neo-liberal. Peran negara tergantikan oleh korporasi. Negara yang merupakan pemangku kewajiban untuk menghargai, melindungi, dan memenuhi hak atas pangan, di antaranya melindungi rakyat dari kekuatan korporasi tidak menjalankan kewajibannya, terutama dalam poin melindungi—dari kekuatan korporasi—dan kewajiban memenuhi dengan menyeimbangkan ketimpangan melalui tindakan-tindakan redistributif. Akhirnya permasalahan tersebut menyebabkan terjadinya tiga ketimpangan, yakni: (1) ketimpangan kepemilikan, akses, dan kontrol terhadap sumber pangan dan gizi, berbasis geografi, gender, kelas; (2) ketimpangan perlindungan hukum, berbasis geografi, gender, kelas; dan (3) ketimpangan kekuatan politik dan sains antar aktor produksi pangan yang berbasis kelas, geografi, dan gender.

Poin ketimpangan yang ketiga, yakni ketimpangan kekuatan politik dan sains, kami nilai menjadi poin paling dahsyat dalam mengukuhkan/melegitimasi dominasi korporasi dalam sistem pangan. Korporasi berpolitik melalui pengetahuan, di mana serangkaian hasil riset yang terukur, valid, dan canggih menjadi landasan korporasi untuk memengaruhi negara dan mencengkram pengaturan pangan di tingkat nasional dan global, mengalahkan pengetahuan dan kebudayaan lokal yang tidak dianggap valid, terukur, atau efisien, dan bahkan, terbelakang. Dengan kata lain, para produsen pangan tidak dianggap sebagai ilmuan (scientist).

KTT Sistem Pangan Dunia semakin memberikan tempat bagi korporasi untuk mempraktikkan politik pengetahuan ini, dengan dibentuknya “a new science-policy interface” atau badan penyedia pengetahuan untuk kebijakan berupa Scientific Group, menggantikan High Level Panel of Experts (HLPE) Komite Ketahanan Pangan Dunia. Scientific Group ini akan menghadirkan pengetahuan, penilaian, serta saran ilmiah yang agendanya tetap mempromosikan solusi berbasis ‘teknologi dan inovasi’ berorientasi binis , menggantikan HLPE yang memiliki skema pengumpulan beragam pengetahuan dari berbagai aktor dan aktif memperjuangkan agroekologi . Hal ini mensinyalir pengaturan pangan global lewat KTT akan mengulangi legitimasi pengetahuan yang bukan dari rakyat, oleh rakyat, milik rakyat, dan berkepentingan rakyat. Pada sisi lain, terdapat sekelompok ilmuwan pendukung agroekologi menolak UNFSS berikut dengan “a new science-policy interface”

Pengaturan sistem pangan global masih akan memberikan tempat bagi kekuatan korporasi dan negara masih dibajak pula oleh kepentingan korporasi. Menuntut negara menjalankan kewajibannya dalam realisasi progresif hak atas pangan adalah sebuah keharusan, tetapi perjuangan mentransformasi sistem pangan perlu didorong dari bawah dengan membangun kedaulatan rakyat dan solidaritas antar aktor-aktor dalam sistem pangan yang memberikan alternatif pemenuhan pangan. Cara ini ditempuh melalui (1) pembangunan kekuatan produksi rakyat di bidang pertanian berbasis agroekologi; (2) edukasi atau penyadaran terhadap produksi dan konsumsi pangan yang sehat dan ramah lingkungan; (3) pemetaan potensi dan konsolidasi perjuangan agraria dengan membangun jejaring strategis antara produsen, distributor, dan konsumen; dan (4) pembangunan koperasi-koperasi pangan dan jaringan strategis (termasuk bank alternatif dan lembaga pendidikan) yang lintas kelas, geografis, dan berbasis kesetaraan gender.

Bersamaan dengan ini, kedaulatan pangan tetap kami letakkan sebagai basis perjuangan untuk transformasi sistem pangan untuk menggeser sistem pangan berbasis ketahanan pangan, karena dengan kedaulatan pangan kita memperjuangkan hak masyarakat untuk menentukan sistem pangan dan pertaniannya secara mandiri di luar rezim pangan korporasi. Dengan kedaulatan pangan pula, kita dapat memperjuangkan hubungan sosial yang lebih setara (antar kelompok gender, kelompok masyarakat, ras, kelas sosial, dan generasi) serta budaya pertanian-pangan yang lebih sehat dan sesuai dengan kebutuhan dan kearifan lokal.

 

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Oleh karena itu, kami segenap gerakan masyarakat sipil dan organisasi massa berpendapat dan bersikap:
1. Menyatakan keberatan terhadap KTT Sistem Pangan Dunia PBB/UNFSS beserta organ-organnya seperti Scientific Group, karena (a) Proses-proses tidak sesuai dengan penyelenggaraan KTT Pangan sebelumnya yang berazazkan multilaterisme, demokrasi dan transparan, serta pelibatan negara anggota (member-state), CFS dan CSM; (b) UNFSS berikut proses-proses sosialisasi dan persiapannya di tingkat skala nasional, regional dan internasional, karena merupakan bentuk pembajakan ruang untuk transformasi sistem pangan oleh korporasi dengan menerapkan multistakeholderisme; dan (c) melegitimasi penggunaan pengetahuan yang tidak bersumber dari pengetahuan lokal ataupun cara-cara yang selaras alam untuk kepentingan bisnis;

2. Mendesak Pemerintah untuk melangsungkan dialog terkait transformasi sistem pangan nasional dengan jejaring masyarakat sipil dan organisasi petani, nelayan, serikat buruh, perempuan, dan kelompok masyarakat adat yang lebih luas, dengan proses yang lebih demokratis dan transparan untuk mewujudkan sistem pangan yang berbasis kedaulatan pangan;

3. Meletakkan kedaulatan pangan yang adil gender sebagai pilar utama untuk mengatasi permasalahan pangan pro-korporasi yang selain menyerukan reforma agraria, agroekologi, kelembagaan ekonomi yang bersifat solidaritas dan kerakyatan seperti koperasi, dan penguatan kelembagaan UNDROP (United Nations Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas atau Deklarasi Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Pedesaan), juga mengecam segala bentuk liberalisasi pangan melalui perdagangan bebas yang akan mengakibatkan perubahan hukum nasional di sektor pangan yang pro liberalisasi dan mengancam nasib seluruh aktor dalam sistem pangan nasional;

4. Mendesak Pemerintah untuk menghentikan segala perampasan ruang hidup terhadap petani, nelayan, dan produsen pangan skala kecil lainnya dengan proyek-proyek infrastruktur, perkebunan, dan pertambangan baik di daratan, pesisir, atau pulau-pulau kecil serta memperbaiki kondisi kerja dan pendapatan yang layak bagi para pekerja dan buruh di sektor pangan;

5. Mengajak seluruh unsur masyarakat sipil untuk memperjuangkan gerakan kedaulatan rakyat di Indonesia dengan: (a) melakukan edukasi dan penyadaran yang lebih luas terhadap produksi dan konsumsi pangan sehat, ramah lingkungan, berkeadilan gender, serta bebas dari kuasa korporasi; (b) membangun kawasan Daulat Pangan sebagai pengganti pendirian Food Estate oleh pemerintah ; (c) konsolidasi gerakan rakyat yang lebih luas untuk membangun legitimasi dan kedaulatan versi rakyat; (d) melakukan advokasi kepada negara untuk merealisasikan hak atas pangan berikut hak-hak lainnya (hak atas tanah, hak perlindungan petani dan nelayan; hak atas pendapatan dan pekerjaan yang layak, hak atas kesehatan, hak-hak perempuan, dan hak-hak masyarakat adat; (e) melakukan kampanye termasuk praktik-praktik gerakan sosial yang sudah berjalan dalam menelusuri alternatif realisasi hak atas pangan masyarakat.

 

Organisasi yang bertandatangan dibawah ini:
1. FIAN Indonesia
2. Indonesia for Global Justice (IGJ)
3. Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI)
4. Serikat Petani Indonesia (SPI)
5. Indonesia Human Rights Committe for Social Justice (IHCS)
6. Aliansi Petani Indonesia (API)
7. Bina Desa
8. Solidaritas Perempuan,
9. Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI)
10. Yayasan Tananua Flores
11. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
12. Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS)
13. FSBKU – KSN
14. KOBETA
15. FIELD Indonesia
16. Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
17. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
18. Kediri Bersama Rakyat (KIBAR)
19. Perkumpulan Inisiatif
20. WALHI Kalteng
21. FSRP – KSN
22. FS-Pasopati -KSN
23. Samawa Islam Transformatif (SIT)
24. Bina Keterampilan Indonesia (BITRA) Indonesia

Scroll to Top