Perjuangkan Kedaulatan Pangan di KTT WTO ke-10

Pemerintah harus konsisten dalam memperjuangkan Proposal Cadangan Pangan Publik untuk kesejahteraan petani di perhelatan tersebut.

Jakarta, binadesa.co: Sejumlah organisasi rakyat melayangkan Surat Terbuka kepada Menteri Perdagangan Repulik Indonesia Thomas Lembong. Mereka yang terdiri dari Indonesia for Global Justice (IGJ), Lembaga Konsumen Yogyakarta, IHCS, Lingkar Studi-Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI), BINA DESA, Institut Perempuan, Suara Perempuan Desa (Rural Women’s Voices), KRuHA (Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air), WALHI, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) dan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) mendorong Thomas Lembong untuk memprioritaskan kesejahteraan petani dalam Perundingan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) Ke-10 WTO yang akan dilaksanakan pada 15-18 Desember 2015 di Nairobi, Kenya.

Pasalnya, ini akan menjadi tolak ukur keseriusan Pemerintahan Jokowi dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan yang tertuang dalam Nawacita.  Dalam KTM Ke-10 WTO sendiri ini akan merundingkan tiga program kerja Pasca Bali (Post-Bali Work Program) untuk menyusun langkah implementasi Paket Bali yang dicapai pada saat KTM Ke-9 WTO di Bali pada 2013 yang lalu. Ada 3 agenda yang akan dirundingkan, pertama, penyelesaian Proposal Public Stockholding; kedua, pengadopsian Perjanjian Trade Facilitation ke dalam WTO Marakesh Agreement Annex 1; dan ketiga, Post-Bali Work Programe akan menyusun prioritas basis untuk menghasilkan Keputusan Bali Ministerial lainnya (LDCs package and development issues) yang mengikat secara hukum (legally binding).

Kesepakatan Buruk

Menurut Ahmad Yaqub, surat terbuka tersebut merupakan pengingat, bahwa kesepakatan Paket Bali yang dicapai pada KTM ke-9 WTO lalu merupakan kesepakatan terburuk yang pernah diambil oleh Indonesia. “Pemerintah telah menggadaikan kesejahteraan petani kecil kepada kepentingan negara-negara industri yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa dengan menyepakati kesepakatan Isu Singapura, yakni Perjanjian Trade Facilitation,” ujar aktivis dari Bina Desa tersebut. Ia pun mengimbau, Pemerintah Indonesia untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama dalam perundingan KTM Ke-10 WTO tahun ini.

Perjuangan isu pertanian kata Yaqub, khususnya Proposal Cadangan Pangan Publik di WTO sebenarnya akan membuka peluang yang besar bagi Indonesia untuk meningkatkan kesejateraan petani. “Ini akan memajukan sektor pertanian Indonesia, apalagi di tengah situasi krisis ekonomi yang sedang melanda,” katanya.

128219_620Hal tersebut memang bukan isapan jempol belaka. Terbukti sektor pertanian Indonesia masih menjadi sektor potensial bagi perekonomian Indonesia. Yakni dengan menyumbangkan PDB tertinggi kedua pasca krisis 2008, yang nilai rata-ratanya mencapai 13 persen di sepanjang 2011-2014. Namun, penyerapan tenaga kerja di sektor ini menunjukkan terjadinya penurunan, seperti menurut data BPS, yakni dari 36,39% di tahun 2011 menjadi hanya sebesar 33,2% di tahun 2014.

Hal itu menurut Gunawan dari IHCS, potensi yang besar itu tak bisa dimanfaatkan karena petani tidak diberi dukungan dari pemerintah, mulai dari menghadapi fluktuasi harga, banjir impor pangan, dan ketidakpastian alam. “Maka, di sini pentinganya untuk mencapai solusi permanen dari Proposal Cadangan pangan Publik  di WTO karena akan membuka ruang fiskal yang cukup besar bagi pemerintah Indonesia untuk meningkatkan subsidi pangan dan Pertanian Indonesia dalam rangkat mencapai kesejahteraan rakyat, khususnya petani kecil,” pungkasnya.

Namun, ia pun mengingatkan jika perjuangan tersebut tidak akan mudah. Pasalnya, negara-negara industri yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa akan kembali menjegal upaya negara berkembang untuk memenangkan kepentingan pertaniannya. “bagi kami, pertanian Indonesia adalah harga mati yang tidak bisa diperjual -belikan ataupun ditukar-tukar dengan kepentingan apa pun. Sehingga, jangan pernah melakukan pertukaran antara proposal pertanian dengan perjanjian trade facilitation,” tegasnya.

Harus Percaya Diri

Di sisi lain, menurut Riza Damanik, Indonesia merupakan negara yang seharusnya percaya diri di tengah tekanan negara-negara industri maju tersebut. Sebab, Indonesia merupakan Ketua Kelompok 33 yang mendorong Proposal Cadangan Pangan Publik atau dikenal dengan Proposal G33. “peran Indonesia dalam memperjuangkan Proposal G33 diacungi jempol oleh banyak negara berkembang, dan telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang diperhitungkan pengaruhnya di WTO,” jelas  Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ)  itu.

Oleh karena itu, menurutnya, demi menjaga solidaritas G33 dan citra baik Indonesia yang telah terbangun di mata internasional, Menteri Perdagangan harus sangat hati-hati dalam mengambil posisi dan keputusan dalam perundingan KTM Ke-10 WTO nanti di Nairobi, Kenya. “Indonesia jangan membangun sekutu dengan negara industri yang akhirnya merusak solidaritas G-33 dalam memperjuangkan kepentingan pertanian negara berkembang di WTO,” tegasnya pada Jumat (11/12). (*)

ARTIKEL TERKAIT