Menggarap Sawah di Punggung Petani

Oleh: Damhuri Muhammad

 

Kita tidak bangga kalau hanya memanen padi,

kita akan bangga bila memanen padi di sawah kita sendiri.

(Multatuli)

 

DALAM tradisi Melayu, kata “tani” merupakan penyempitan dari kata “tahani” yang bila diterjemahkan secara bebas berarti: “menahan diri.” Maksudnya, menahan diri untuk tidak membeli segala sesuatu yang dapat diperoleh dengan bercocok tanam. Sebutlah misalnya, sayur-mayur, cabai, bawang, seledri, kunyit, lengkuas, jahe dan sebagainya. Maka, petani sejati, di sepanjang riwayatnya dalam menyelenggarakan hidup, hanya akan membeli garam. Bahkan minyak goreng, sedapat-dapatnya dibikin sendiri. Inilah falsafah paling usang dan konsep dasar pertahanan pangan yang sejak berkurun-kurun lalu telah menyehari dalam pergulatan kaum tani. Semakin banyak yang bisa “ditahani”, semakin tangguh seseorang tegak-berdiri sebagai petani.

Jangan heran, bila di kurun pasca-modern ini, nun di pedalaman Sumatera sana, ada seorang ibu, sebut saja namanya Syamsidar, yang di sepanjang usianya, tidak pernah membeli minyak tanah—apalagi gas elpiji?untuk memasak guna memenuhi kebutuhan konsumsi keluarganya sehari-hari. Ia mengasapi dapur dengan menyorongkan seikat daun kelapa kering ke dalam tungku. Setiap sore, sepulang dari sawah, daun kelapa kering itu dipungutnya di kebun yang sejak lama telah digarapnya. Tak terhitung sudah berapa jumlah tabungan tak tersengaja Syamsidar, selama ia menahan diri untuk tidak membeli minyak tanah. Sebab, daun-daun kelapa kering dari kebunnya tiada bakal pernah berhenti berjatuhan.

Tak hanya itu, di sela-sela kesibukannya menanam, menyiangi, dan memanen padi di lahan sawah?yang juga miliknya sendiri?Syamsidar menghijaukan pekarangan rumahnya, dengan aneka ragam sayuran, cabai, seledri, bawang, lengkuas, jahe, kunyit, gardamunggu, jeruk nipis?tak ketinggalan pula apotek hidup?sehingga semua kebutuhannya untuk memasak tersedia di lahan belakang rumah, yang hanya beberapa langkah dari sudut dapurnya.

Bayangkan, bila semua tetek-bengek kebutuhan memasak itu harus dibeli dengan penghasilannya sebagai petani gabah, yang tak seberapa. Tentu akan jauh dari memadai. Bagi petani seperti Syamsidar, segala sesuatu yang dapat bersitumbuh di atas tanahnya?lagi pula, apa yang tak bisa tumbuh di tanah negeri ini??akan ditanamnya, agar ia selalu terhindar dari keharusan membeli. Dengan begitu, penghasilan dari panen gabah, kelak dapat terkumpul, guna membeli lahan sawah yang lebih luas lagi. Dan, setelah bertahun-tahun hidup sebagai petani, kini keluarga Syamsidar tidak lagi dapat dipandang sebelah mata. Hampir separuh dari lahan sawah yang terbentang di wilayah perkampungan tempat ia lahir dan dibesarkan, telah menjadi miliknya. Orang-orang di perkampungan itu menyebutnya sebagai tuan tanah, yang seolah tidak pernah kehabisan uang guna meladeni mereka yang kepepet butuh uang, lalu dengan gampang menjual atau menggadai lahan sawah. Empat orang anak Syamsidar telah disarjanakan dengan uang dari hasil tani, yang diperjuangkan perempuan itu dengan mentalitas petani.

Sebaliknya, di belahan wilayah lain, ada petani yang untuk seikat sayur Kangkung pun harus berbelanja ke pasar Inpres. Pekarangan rumahnya gersang. Kolamnya kering kerontang. Bahkan sebatang pohon Singkong pun menjadi barang yang langka. Selama masih tersedia di pasar, kenapa harus ditanam? Begitu kira-kira prinsipnya. Baginya, bercocok tanam aneka tetumbuhan untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari, hanya akan membuat pekerjaan di sawah akan terbengkalai. Lagi pula, bukankah ada tauke yang selalu berkenan memberi pinjaman, asalkan tangan dan kaki para petani masih bergelimang lumpur dan mau menyemai benih? Begitu pengandaian sederhana petani itu.

Namun, persoalannya, tauke yang bermurah-hati memberi pinjaman itu?bahkan sebelum sawah digarap?akan semena-mena mematok harga jual gabah, sehingga petani terhutang itu tidak punya posisi tawar lagi. Pola permodalan “setengah mencekik” semacam ini telah berlangsung, bahkan sejak petani itu belum terampil mengayun cangkul. Mungkin itu sebabnya petani jenis ini?atau lebih tepat disebut “buruh tani”?tidak terlalu banyak berharap bahwa hidup sebagai petani dapat mengubah nasib dan peruntungan mereka di kemudian hari. Lebih parah lagi, sebagian besar dari mereka mengolah sawah yang bukan lagi milik sendiri, tapi milik para tauke yang dari musim ke musim membandari mereka. Maka, alih-alih kesejahteraan mereka meningkat, dari waktu ke waktu, justru bergelimang hutang yang tak kunjung terlunaskan. Bila sudah begini, akan tiba waktunya ketika petani tidak lagi punya persediaan beras untuk ditanak, sehingga harus membeli. Masih petani kah namanya bila beras saja harus membeli?

Ada pula sekelompok orang yang menyebut diri mereka petani, nun di sebuah wilayah pedesaan, tapi menggunakan dana pinjaman dari KUT (Kredit Usaha Tani), untuk membiayai hajatan perkawinan atau renovasi rumah ketimbang membeli benih dan pupuk. Selain itu, perlu dicatat, demam hand-phone yang merajalela sampai ke pelosok-pelosok pedesaan sejak lima tahun belakangan ini, telah membuat petani menghabiskan uang untuk membeli pulsa ketimbang melengkapi perkakas tani yang sudah uzur. Mentalitas “tahani” telah sedemikian tergerus oleh hedonisme dan gaya hidup modern yang memang sukar dielakkan.

Sesungguhnya petani jenis itu tidak malas, tapi mungkin karena “kedaulatannya” sebagai pemilik lahan telah terjual kepada pemilik modal, maka mentalitas kepetaniannya menjadi rapuh. Menjadi petani tidak lagi sebuah pilihan yang perlu diperjuangkan, tapi sekadar pekerjaan lantaran memang tak ada pilihan. Lebih ironis lagi, ada yang merasa rendah-diri hanya karena ia seorang petani. Sosiolog, Jim Ife (1988), mensinyalir bahwa masyarakat pedesaan seringkali dipandang sebagai masyarakat kelas dua, meski dalam kenyataaannya, kaum tani di pedesaan menjadi penyumbang terbesar bagi golongan masyarakat kaya di perkotaan. Mungkin itu sebabnya banyak petani yang kemudian menanggalkan identitas kepetanian mereka, berbondong-bondong ke kota, beralih menjadi buruh kasar, yang sesungguhnya juga tidak menjanjikan apa-apa. Tak sedikit pula yang berganti haluan dengan menjadi TKI ke luar negeri, mengadu untung ke negeri orang. Banyak kisah dan riwayat dapat diungkapkan perihal kaum tani yang tak segan-segan menjual murah lahan sawah dan ladang mereka demi membiayai keberangkatan anak-anak mereka untuk menjadi TKW di Timur Tengah, dengan segenap harapan untuk mendulang rupiah yang berlipat-lipat lebih besar daripada bertahan di kampung sebagai petani. Lalu, apa jadinya bangsa yang konon dulu dibangun dengan pertahanan kaum tani, tapi kini petani tidak lagi merasa bermartabat sebagai petani?

Di pedalaman yang lain lagi, seorang lelaki dengan kepala tegak membangga-banggakan anak sulungnya yang kini tercatat sebagai mahasiswa fakultas Pertanian di sebuah Perguruan Tinggi Negeri. Ia berharap, kelak bila anaknya sudah menyandang gelar sarjana, dapat membangun kampung halaman dengan menerapkan teori-teori pertanian modern hingga kesejahteraan kaum tani di sana meningkat, bukan petani yang terus terpuruk dalam kemiskinan. Namun, ia lupa bahwa enam petak sawah, dua bidang ladang miliknya telah tergadai pada tauke guna membiayai pendidikan calon sarjana pertanian itu. Bagaimana ia akan memberi contoh perihal pertanian modern, sementara ia tidak lagi punya sawah? Lagi-lagi ini persoalan mentalitas pertahanan kaum tani yang sudah rubuh. Kalau memang ia petani sejati, dipastikan ia tidak akan gampang menjual dan menggadai, sekalipun untuk mencetak seorang sarjana pertanian. Apalah guna sarjana pertanian bila tak punya mentalitas kepetanian yang dapat diandalkan?

Apa yang bakal terjadi dengan pertahanan pangan negeri ini bila kaum tani tidak lagi bangga bergelimang lumpur, tidak lagi gesit menyemai benih? Kekhawatiran semacam ini kelak bisa berubah menjadi ancaman laten bila mentalitas kemandirian petani seperti Syamsidar tidak dapat lagi dipertahankan. Maka, kaum tani harus dibela, dibebaskan dari sistem yang memiskinkan mereka, dilepaskan dari cengkaraman para pemodal yang menggarap sawah di punggung mereka, agar mereka kembali tegak-berdiri dan bangga sebagai petani. Kita tidak bangga kalau hanya memanen padi, kita akan bangga bila memanen padi di sawah kita sendiri, begitu pengarang termasyhur, Multatuli, pernah mengingatkan…

 

DAMHURI MUHAMMAD

Sastrawan

Ibunya petani, Bapaknya pedagang

[/ezcol_2third]

[/ezcol_1third_end]

 

ARTIKEL TERKAIT