Lahan Produktif di Sumsel Beralih Jadi Kebun Sawit
PALEMBANG — Alih fungsi lahan pertanian di Sumatera Selatan berdampak serius terhadap kemandirian pangan provinsi tersebut. Kini, Sumsel tak lagi jadi lumbung pangan nasional karena gagal mencapai swasembada pangan.
”Luas dan produktivitas lahan pertanian di Sumsel tidak sebanding dengan jumlah penduduk sehingga provinsi ini gagal swasembada pangan,” kata dosen Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Edward Saleh, Kamis (6/3).
Menurut dia, berdasarkan hasil kajian akademisi dan aktivis lembaga swadaya masyarakat Sumsel terhadap daya dukung lingkungan hidup Sumsel, nilai daya dukung lahan pertanian hanya 0,03. Artinya, dengan daya dukung sebesar itu, hasil pertanian di Sumsel tak mampu mencukupi kebutuhan pangan layak. ”Padahal, untuk mencapai swasembada dan memberi kehidupan layak untuk penduduk, suatu daerah harus punya daya dukung lingkungan yang lebih tinggi atau nilai di atas 2,47,” lanjut Edward.
Penghitungan nilai daya dukung lahan pertanian diperoleh dengan mengalkulasi sejumlah data, seperti luas lahan dan jumlah produksi pertanian serta jumlah penduduk. Data penghitungan diambil dari pertanian Sumsel tahun 2012 milik Badan Pusat Statistik Sumsel. Sementara metodenya berpedoman pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah.
Tahun 2012, tercatat luas lahan pertanian pangan yang dipanen di Sumsel adalah 814.863 hektar (ha). Jumlah itu mencakup lahan yang ditanami padi, jagung, dan ubi kayu. Jumlah penduduk Sumsel tercatat 7.701.528 jiwa. ”Ini berarti, sumber pangan seorang penduduk Sumsel hanya berasal dari 0,0997 ha atau sekitar 100 meter persegi lahan pertanian. Karena produktivitas lahan kurang, lahan seluas itu tak bisa memberi produk pangan cukup,” lanjut Edward.
Ironisnya, kegagalan Sumsel mencapai swasembada antara lain karena maraknya alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit atau karet. ”Alih fungsi lahan pertanian karena petani tak bisa mendapat penghidupan layak dari bertani,” ujar Edward.
Berdasarkan data Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sumsel, luas sawah berkurang dari 806.397 ha menjadi 788.475 ha atau sebesar 17.922 ha selama tahun 2008-2009.
”Untuk swasembada pangan, luas lahan pertanian harus ditambah dan produktivitas ditingkatkan. Ini, artinya, alih fungsi harus dicegah dan sawah baru harus dicetak selain diberi insentif,” kata Edward.
Tak bisa dihentikan
Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sumsel Ilfantria mengatakan, alih fungsi lahan sejauh ini belum dapat dihentikan karena masih minimnya alokasi dana imbalan bagi petani dan rendahnya kesejahteraan petani.
”Petani biasanya beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan, seperti sawit, atau lahannya dijual untuk bangunan. Ini tak bisa dicegah karena hak petani,” ujar Ilfantria.
Anggota DPRD Sumsel, Agus Sutikno, mengatakan, untuk meredam maraknya alih fungsi lahan, Pemerintah Provinsi dan DPRD Sumsel tengah membahas rancangan peraturan daerah (raperda) tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan. ”Kami sudah menggelar uji publik. Setelah itu akan dibentuk panitia khusus untuk membahasnya. Targetnya selesai tahun ini,” kata dia. Dalam draf raperda, sebidang lahan yang ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilarang dialihfungsikan, kecuali demi kepentingan umum dan bencana alam. Pelanggar bisa dipidana penjara. (HRS/IRE/EKI/SIR))
*sumber: Harian Kompas/ http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000005294379