“Eksklusi (red-penyingkiran) bukanlah proses acak, ia distrukturasi oleh relasi kekuasaan atau atas nama orang yang berkuasa”
Indonesia dikenal dengan negara yang agraris atau kaya akan sumber pangan karena tanahnya yang subur. Namun, sangat ironis bahwa hingga saat ini Indonesia masih memberlakukan impor pangan. Tidak hanya impor gandum yang notabene tak subur ditanam di tanah Indonesia, tapi juga impor yang meliputi cabe hingga beras yang umum ditanam oleh rakyat Indonesia.
Penyebab hal ini memang tak terlepas dari semakin sempitnya lahan pertanian kita. Seperti pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, dan urbanisasi telah mendorong secara besar-besaran konversi lahan pertanian untuk kepentingan komersial, industri, perumahan, pariwisata dan infastruktur, serta tujuan konservasi lingkungan.
Menurut Derek, Philip Hirsch, dan tania Murray Li, berkurang bahkan tergerusnya lahan pertanian di kawasan Asia Tenggara untuk kepentingan lainnya itu harus dipahami sebagai inti dari proses berlangsungnya “deagrarianisasi”. “Proses ini, menempatkan posisi pertanian menurun secara progresif dalam ekonomi nasional maupun sebagai sumber penghidupan penduduk, bahkan mereka yang di pedesaan,” tulis mereka dalam buku Power of Exclusion, Land Dilemmas in Southeast Asia, (Singapore: National University of Singapore, 2011).
Proses deagrarianisasi ini kian terlihat jelas dengan melihat proporsi pertanian dalam pendapatan PDB di Indonesia dari masa ke masa. Dari 24% (1980) menjadi 13% (2005), dan dalam rentang waktu yang sama penduduk pertanian dalam total populasi menurun dari 76% menjadi 68%.
Menurut Derek Hall dan kedua kawannya itu, penyebab kian terpinggirkannya sektor pertanian juga disebabkan oleh pembukaan tanah untuk tanaman dan peternakan yang semakin meluas secara cepat bahkan ke areal hutan, dan lahan pertanian yang ada semakin diintensifkan. Dalam proses ini terjadi pergeseran hubungan manusia dengan tanah dan juga arah pembangunan di masa depan.
Kenyatannya, ada aktor yang mengakibatkan masyarakat tersingkirkan dari akses atas tanah. Penyingkiran atau ekslusi penduduk ini juga sangat intens digunakan lewat cara-cara kekerasan. Yang membuat masyarakat miskin terusir dari tanahnya. “Eksklusi bukanlah proses acak, ia distrukturasi oleh relasi kekuasaan atau atas nama orang yang berkuasa” ujar mereka.
Selain itu, menurut Derek Hall, Philip Hirsch, dan tania Murray Li, penyingkiran atau ekslusi itu harus dipahami lewat interaksi antara kebijakan, kekuatan, pasar dan legitimasi atau pengabsahan.
Kebijakan, seringkali lewat instrumen legal-negara, yang menetapkan aturan akses tanah dan kondisi penggunaanya. Kekuatan, yakni kekerasan atau ancaman yang aktornya bisa negara atau bukan. Pasar, adalah kekuatan eksklusi yang bekerja membatasi akses melalui bentuk “harga” dan kreasi “insentif” dengan semakin terindividualisasikannya tanah (kepemilikan pribadi). Legitimasi atau pengabsahan menurut mereka kerap menentukan dasar moral atas klaim, dan tentu saja dalam membuat regulasi, pasar, dan kekuatan, sehingga dengan itu menjadi basis eksklusi yang secara politik dan sosial dapat diterima.
Proses penyingkiran atau ekslusi ini pun, khususnya di AsiaTenggara dilakukan dengan masif lewat berbagai cara. “(1) regulerisasi akses atas tanah melalui program sokongan pemerintah, sertifikasi tanah, formalisasi, dan settlement; (2) ekspansi spasial dan intensifnya upaya melakukan konservasi hutan dengan bentuk pelarangan pertanian; (3) hadirnya “boom crops” yang terlihat massif, cepat, keras, yang membalikkan tanah-tanah konversi untuk produksi monocrops; (4) konversi lahan pertanian untuk tujuan-tujuan “pasca-agraria”, ujar mereka.