“BPN pernah mempublikasikan peta konflik yang terus meningkat. Yang menjadi keperihatinan adalah seluruh data tersebut belum bicara tentang perempuan.”
Hal itu dinyatakan Direktur Ekskutif BINA DESA, Dwi Astuti, dalam diskusi santai di Kantornya, Otitsa Jakarta Timur. “Karena perempuan tidak terlihat, maka perempuan tidak pernah tersentuh oleh kebijakan. Termasuk kita, penggerak agraria bahkan menutup mata pada ketidakadilan gender. Padahal, setiap kelas ada ketidakadilan ini.”
Dwi Astuti lebih jauh menjelaskan, ketidakadilan ini disebabkan karena ada cara pandang terhadap peran perempuan semata-mata reprodukfitf saja. Meski kerja di sektor produksi tetapi nilai-nilainya dianggap reproduksi, sehingga misalnya kalau diupah, upahnya lebih rendah dari laki-laki. Ketidakadilan juga muncul karena perempuan dianggap tidak mampu, karena tugasnya dianggap hanya dapur sumur dan lembur. Karena perempuan ditempatkan pada sektor reproduktif, maka identitas mereka juga dipengaruhi. “Misalnya pada kelautan, yang disebut nelayan itu pasti laki-laki, perempuan tidak dianggap sebagai nelayan meski mereka memainkan peran besar dalam sektor ini.” Papar Dwi Astuti.
Bagi perempuan, akses di sektor pertanian semakin terbatas karena kapitalisasi pertanian. Pertanian dalam kapitalisme telah menghabisi semua sistem perempuan. Misalnya benih lokal, yang tinggi bisa dipanen oleh permepuan tetapi ketika pakai IR yang pendek, sulit bagi perempuan untuk memanen.
“Misalnya, saat ini juga biaya input pertanian lebih tinggi dari pendapatan keluarga tani. Siapa yang paling terbebani di dalam keluarga? Ya perempuan karena dia harus mengatur kebutuhan anggota keluarga.”
Kita semua perlu refleksi, bahwa banyak hal yang kita lakukan membatasi peran dan kapasitas
perempuan. Misalnya pada pertanian organik, kebanyakan pesertanya adalah laki-laki padahal
perempuan sangat mampu untuk melakukannya. Ini berarti bahwa kita belum mampu melakukan perubahan dalam pertanian sehingga lebih berkeadilan.
Data buruh migran misalnya, menunjukkan bagaimana industrialisasi pertanian memaksa perempuan untuk keluar dari desa dan menjadikan mereka buruh migran di luar negeri. “Apakah reforma agraria yang kita usung ini akan menutup fakta dari ini? Padahal semestinya RA bisa mensejahterakan keluarga petani, laki-laki dan juga perempuan.” Jelas Dwi Astuti menggugat.
Oleh karena itu, menurut Dwi Astuti selaku Direktur Ekskutif Bina Desa, Yayasan Bina Desa mengusung pembaruan agraria yang adil secara kelas dan gender. Penataan kembali kepemilikan dan penguasaan yang bisa menjamin akses dan kontrol laki-laki dan perempuan terhadap tanah. “Ini perlu tegas dikatakan karena hingga saat ini kontribusi perempuan tidak dianggap. Kontribusi perempuan dianggap sebagai seharusnya ada. Jika kita tidak bisa bicarakan RA yang berkeadilan gender dan kelas maka tidak akan ada perubahan mendasar yang akan kita hasilkan.” Tegas Dwi Astuti. (Pubin/Bindes/010/sabiq)