Bina Desa

Reforma Agraria era Demokrasi Terpimpin

24 September 1960. Mementum bersejarah muncul. Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dikenal sebagai UUPA-1960 lahir. UU Agraria yang sejak awal kemerdekaan dicita-citakan secara nasional akhirnya terbentuk. Inilah bagian dari Dekrit Presiden Sukarno “kembali kepada UUD-1945”. Di era yang disebut Demokrasi Terpimpin itu bidang politik pertanian dan agrarianya jelas, diarahkan “kembali” kepada semangat 1945.

UUPA ini terjadi melalui proses panjang selama 12 tahun. Pembentukannya, pun dibentuk bukan oleh Komisi DPR, bukan oleh Pansus DPR, tetapi oleh Panitia Negara yang melibatkan  banyak pihak. RUU Agraria sudah disiapkan oleh Panitia ke-empat di bawah ketua Sunaryo yang sudah sudah semi-final. Tapi, Sukarno meminta agar RUU itu diuji dulu bersama perguruan tinggi demi pemantapan.

Maka, DPR kemudian membentuk Panitia Ad Hock untuk bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada. Tim kerjasama inilah yang disebut Panitia kelima. Hasilnya kemudian diserahkan kepada Presiden, dan biasa disebut sebagai Rancangan Sadjarwo. “Dalam sejarah RI, hanya dua masalah yang Undang-Undangnya dibentuk oleh Panitia Negara, yaitu UU tentang Agraria, dan UU tentang Keuangan. Ini mencerminkan betapa mendasarnya masalah agraria itu,” tulis Gunawan Wiradi dalam makalahnya berjudul Sejarah UUPA-1960 dan Tantangannya Pelaksanaannya Selama 44 Tahun.

Selanjutnya Wiradi menjelaskan, landasan filosofi UUPA disebut sebagai konsep “mono-dualis”. Artinya, UUPA-1960 tidak hanya untuk kepastian hukum, atau pun unifikasi hukum, “..tujuan yang hakiki adalah mengubah susunan masyarakat, dari suatu struktur warisan stelsel feodalisme dan kolonialisme menjadi suatu masyarakat yang adil dan sejahtera,” jelas pakar agraria yang lahir pada 28 Agustus 1932 itu.

Kata Wiradi, isi UU ini baru berupa “pokok-pokok”, maka intinya adalah prinsip-prinsip. Sehingga, harus dijabarkan lebih lanjut dalam undang-undang dan peraturan pemerintah yang lebih operasional. Salah satu jabarannya adalah UU no.56/1960 tentang penetapan batas luas tanah pertanian, yang kemudian dikenal sebagai UU Landreform.

UU No.56/1960 itu kemudian diperlengkapi pula dengan landasan hukum bagi langkah turunannya yaitu PP no.224/1961 tentang obyek LR (Landreform), dan PP 10/1961 tentang pengukuran desa lengkap. Demikian juga, melalui Keppres no.131/1961 dibentuk Panitia LR nasional, yang kemudian disempurnakan melalui Keppres no.263/1964 dibentuklah Panitia LR tingkat Provinsi, Kabupaten, dan Kecamatan (yang waktu itu disebut dengan istilah Daerah Swatantra Tingkat I, II dan III) dalam rangka otonomi daerah. Pada tahun 1964 dibentuk pula Panitia Pengadilan LR.

Sesuai dengan tujuan yang hakiki tersebut di atas, maka upaya untuk mengubah susunan masyarakat itu dilakukan melalui agenda Landreform. Memang diakui, sesuai dengan kondisi dan situasi saat itu, maka prioritas untuk menindak lanjuti UUPA-1960 itu adalah pada masalah pertanian rakyat, sehingga apa yang dikenal sebagai Landreform itu seolah-olah hanya menyangkut pertanian rakyat. Sejak awal sudah disadari bahwa sebenarnya Landreform itu mencakup semua sumber-sumber agraria. Diantaranya perkebunan, kehutanan, pertambakan, pertambangan, pengairan, dan lain-lain. Hanya saja, sekali lagi, tahapan pertama adalah pertanian rakyat.

Hal tersebut bukan tanpa alasan. Wiradi mengungkapkan, meski jawabannya belum dapat dipastikan dengan benar, tapi ia menduga ini dikarenakan pihak militerlah yang memegang kuasa atas lahan-lahan perkebunan yang luas itu. “maka untuk sementara masalah perkebunan ditunda. Sebab, dalam persepsi militer (yang keliru, bahkan sampai saat ini), soal agraria itu adalah masalah yang berbau komunis,” ungkapnya dalam makalahnya berjudul Politik Agraria di Indonesia dari Masa ke Masa.

Di satu sisi, para  tuan tanah pun menolak jalannya reforma agraria tersebut. Selain itu, proses sosialisasi Landreform dan UUPA belum tuntas dan menyeluruh. Disamping pula para aparat pelaksanaannya sendiri belum benar-benar siap. Apalagi, situasi Perang Dingin waktu itu, pun membuat partai politik berlainan sikap. Landreform membeku dengan  jatuhnya Sukarno. (*)

 

Scroll to Top