Cita-cita pendiri negara. Sejak awal para pendiri negara ini bercita-cita mengubah struktur sosial warisan feodalisme dan kolonialisme yang menindas menjadi struktur sosial yang lebih merata, demokratis, sejahtera dan berkeadilan. Kemerdekaan politik adalah langkah pertama supaya bisa mewujudkan suatu pemerintahan oleh bangsa sendiri. Secara teoritis mustahil pengubahan struktur sosial itu bisa terselenggara tanpa kemerdekaan politik lebih dulu; namun pemerintahan oleh bangsa sendiripun bukan jaminan bahwa penindasan akan terhapus dengan sendirinya. Bagi masyarakat Indonesia yang berciri agraris perubahan struktur sosial akan dilakukan dengan cara merombak (menata kembali) susunan pemilikan, penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria terutama tanah. Inilah yang disebut land reform. Program perombakan ini, disertai program-program penunjang seperti pendidikan petani, fasilitas perkreditan bagi petani, penataan produksi dan pemasaran hasil pertanian, disebut (dalam bahasa Spanyol) reforma agraria.
Sudah sejak awal, segera setelah proklamasi kemerdekaan tahun 1945, para pemimpin bangsa berupaya menjalankan reforma agraria di Indonesia. Pertama-tama yang dilakukan adalah merumuskan undang-undang agraria nasional yang akan menggantikan undang-undang agraria kolonial tahun 1870. Upaya melahirkan undang-undang agraria baru itu mengalami proses panjang selama dua belas tahun akibat adanya berbagai hambatan seperti perang melawan agresi Belanda (1945-1950), munculnya berbagai gejolak dan perlawanan politik di daerah-daerah yang mengakibatkan kabinet pemerintahan jatuh bangun serta berdampak serius terhadap perubahan susunan kepanitiaan agraria (1950-1960), belum lagi partai-partai besar dalam parlemen yang saling berbeda pendapat mengenai reforma agraria dan tidak pernah berhasil mencapai kompromi politik.
Langkah-langkah pendahuluan. Sejumlah langkah sudah dipersiapkan jauh hari sebelum undang-undang agraria nasional itu disahkan pada tahun 1960. Langkah pertama menghapuskan hak-hak istimewa yang dimiliki oleh penguasa desa perdikan berikut keluarganya secara turun-temurun. Khusus untuk keperluan itu diterbitkan undang-undang 1946:3 sebagai landasan hukum guna mengambil setengah dari tanah-tanah yang dimiliki turun-temurun oleh para penguasa desa-desa perdikan itu dan membagikannya kepada para penggarap tanah yang bersangkutan, petani-petani miskin dan para buruh tani yang hidup di wilayah itu. Para bekas pemilik tanah memperoleh sejumlah ganti rugi berupa uang yang pembayarannya dilakukan setiap bulan oleh pemerintah. Langkah kedua mengalihkan penguasaan tanah dari perusahaan-perusahaan gula kepada kaum petani yang hidup di sekitarnya. Khusus untuk keperluan itu diterbitkan undang-undang darurat 1948:13. Tindakan tersebut diambil guna mengakhiri perseteruan penguasaan air irigasi dan tanah yang tidak seimbang antara perusahaan-perusahaan gula bermodal besar dan kuat itu melawan petani-petani miskin yang tidak terorganisir. Langkah ketiga pengambilalihan tanah-tanah partikelir. Khusus untuk keperluan itu diterbitkan undang-undang 1958:1 perihal penghapusan tanah-tanah partikelir. Tindakan ini diambil oleh pemerintah guna mengakhiri penghisapan tenaga manusia oleh para pemilik tanah-tanah partikelir yang memegang hak-hak istimewa atas orang-orang yang berada di atasnya. Dengan pengambilalihan tersebut maka semua hak-hak istimewa itu beralih kepada pemerintah. Langkah keempat melakukan perombakan terhadap tradisi pembagian hasil kerja dalam pertanian yang selama ini dinilai merugikan kaum petani penggarap dan penyakap. Khusus untuk keperluan itu diterbitkan undang-undang 1960:2 perihal perjanjian bagi hasil. Undang-undang ini memuat tiga pokok yang penting dalam rangka reformasi penyakapan (tenancy reform), yakni adanya kepastian penyakapan (security of tenancy), demokratisasi serta akomodasi dan pengakuan terhadap ketentuan hukum adat setempat. (Bersambung…5)
*Disunting berdasar buku “Transformasi Agraria dan Transisi Agraris” karya Gunawan Wiradi (Bina Desa, 2011)
Editor: SC