Masyarakat desa tidak pernah berubah, kondisi sosiologi dalam gerak perubahan idiologi dan idiografi lah yang berbuah. Namun manusia-manusia konkrit di pedesaan tetap saja merupakan sekelompok populasi dengan suatu coak produksi yang khas yang terus-menerus sejak ratusan tahun lalu menjadi penjaga bangsa dan Negara ini, walau pun mereka, masyarakat pedesaan, selalu di abaikan.
Masyarakat desa adalah populasi yang pada kenyataanya paling tidak bisa diprovokasi oleh gerak laju modernitas dan kultur serta nilai moral dan ekonomis kapitalisme-neoliberalisme. Mekanisme hidup yang subsisten dengan kekuatan kultural yang khas membuat masayarakat desa menjadi kelompok yang terbukti paling kuat bertahan di tengah badai krisis berkali-kali. Namun mereka juga sekaligus sekelompok masyarakat yang terus-menerus menjadi objek eksploitasi sejak ekonomi kolonial, Developmentalisme, sampai neo-liberalisme mutlak sekarang ini; yang mengakibatkan masyarakat desa seolah-olah menjadi wajar jika mereka hidup dalam kemiskinan, kebodohan; jika anak-anak yang lahir kurang gizi, perempuannya minim ketrampilan dan pengetahuan. Ironisnya, Negara membiarkan kondisi semacam itu berlangsung dengan suatu sifat pengabaian atau meminjam istilah Profesor W.F. Wertheim, sebagai sociology of ignorance; baik dari kalangan pengambil kebijakan mau pun dari pada akademisi pengkaji ekonomi dan sosiologi atau bidang apa pun yang menempatkan manusia sebagai landasan pijak klasivikasi dan penilaian historis mau pun teoritis dan atau pun praksis.
Tidak banyak pemikir yang dengan sepenuh kekuatan dan daya pikiran, atau meminjam istilah penyair Chairil Anwar, memiliki Vitalitet dalam mau melihat, merumuskan dan memajukan masyarakat pedesaan dengan segala kenyataan ekonomi dan kulturalnya. Sebagian besar, kalau pun masih ada yang memikirkan dunia pedesaan, sebatas hanya pengamat dari jauh, meneropong dengan lensa teoritis yang kebarat-baaratan dengan ragam index dan klasifikasi teoritis yang kaku dan tak jarang kebara-baratan, kemudian menyusun rumusan dan mengambil kebijakan dari balik meja. Padahal jika kita mau jujur, bangsa Indonesia ini adalah bangsa pedesaan, dibangun dari desa, hidup dan bertahan dari dunia dan manusia pedesaan. Di daerah-daerah yang secara visual demografis mau kita sebut perkotaan, di sana tidak ada sawah yang bisa buat menanam padi menjadi beras yang merupakan konsumsi pokok manusia di Indonesia ini. Di kota tidak ada pertanian dan produksi pangan yang ratusan tahun menghidupi manusia-manusia nusantara ini.
Di tengah kondisi anomi sosial bangsa yang makin parah dan malah dipandang lumrah seperti sekarang, kebijakan Negara dalam pembangunan bangsa ini makin salah kaprah. Kesalah kaprahan yang mudah saja ditandai, yaitu pengabaian atas desa dan manusia-manusia di dalamnya dengan segala nilai yang khas baik ekonomi mau pun kulturalnya. Usaha mengkapitalisasi desa dan mendorongnya masuk kedalam mekanisme ekonomi dan nilai budaya pasar bebas adalah tanda paling nyata yang bisa disimak sebagai sikap salah kaprah dari pembangunan bangsa ini sekarang.
Tulisan ini sekedar bermaksud mengenang seorang manusia desa yang dilahirkan di sebuah pedesaan di Kebumen, tepatnya di Karanganyar, Kebumen, pada 21 Mei 1926, yang sikapnya, pemikirannya, dan konsistensi tindakannya adalah perwujudan paling absah dari pembelaanya atas manusia-manusia desa paling miskin dan paling dipinggirkan yang pada tempat yang lain adalah manusia yang menopang keberlangsungan pembangunan bangsa ini, Profesor Sajogyo.
Pemikiran-pemikirannya selama masa hidupnya adalah riwayat paling shahih yang semestinya diikuti oleh generasi setelahnya, sikap perduli dan penuh vitalitas atas pembelaan golongan lemah dan miskin yang hampir sebagian besarnya adalah masyarakat desa. Bagi sosok yang ingin saya refleksikan dalam tulisan ini, pembangunan itu cukup pangan dan gizi yang baik. Pangan yang berdaulat dan gizi yang baik bukan anjuran dan teori yang berangkat dari pengamatan jauh dan ruang yang hampa, andilnya sosok ini dalam kebijakan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) pada 1972, dimana ia memimpin survei UPGK selama dua tahun dengan melibatkan peneliti-peneliti berbagai perguruan tinggi, bekerja sama dengan Departemen Kesehatan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan UNICEF adalah bais pemikiran strategisnya. Dari riset UPGK ini pulalah pada 1977 ia merumuskan pengukuran garis kemiskinan: Garis Kemiskinan Sajogyo. Sumbangsih ini berhasil mengatasi kemacetan metodologis dalam menilai dan mengukur kemiskinan, satu konsep penting dalam kajian ekonomi dan sosial. Pengukuran berdasarkan kecukupan pangan ini kemudian berkembang dan diadopsi sebagai kebijakan pemerintah dalam rumusan lain sebagai food basket atau yang sering dikenal sebagai paket kebutuhan dasar pangan empat sehat lima sempurna.
Demikianlah Profesor Sajogyo dikenal sebagai Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia atau Bapak Ekonomi-Sosiologi Indonesia sebagaimana disebut oleh Profesor Mubyarto, yang bukan hanya meletakkan fondasi bagi tersedianya pengetahuan, alat-alat konseptual, dan pendekatan yang memadai untuk memahami perubahan agraria di pedesaan Indonesia, lebih dari itu, menunjukkan bagaimana sosiologi pedesaan Indonesia dapat memberi sumbangan konkret yang layak dan bisa dikerjakan oleh para praktisi pembangunan pedesaan. Perguliran pemikiran Profesor Sajogyo yang datang dari waktu ke waktu, dari yang semula beraksen sosiologi pedesaan Indonesia yang empiris-kritis berlanjut menjadi sosiologi pedesaan Indonesia kritis-aplikatif bagi kebijakan dan praktek pembangunan pedesaan.
Dan hari ini Sabtu (17/3/2012), Prof. Dr. Ir. Sajogyo, guru besar emeritus Institut Pertanian Bogor (IPB), yang mendapat berbagai penghargaan berkat keilmuannya, wafat di kediamannya di Jalan Malabar Nomor 22, Kota Bogor. Apa yang kita pikirkan sebagai anak dari generasinya? Apa yang ingin dibaca oleh kita seabgai generasi bangsa atas warisan pemikiran, sikap, dan vatalitasnya kepada bangsa dan Negara ini?
Pedesaan dan Warisan Pemikiran Sajogyo
Atas dasar keyakinan terhadap betapa pentingnya pedesaan sebagai sumber pangan, sektor pedesaan dan pertanian dipilih sebagai prioritas pembangunan nasional semenjak proklamasi kemerdekaaan, 17 Agustus 1945. Prioritasi tersebut nyata sekali tersirat dalam gerak langkah keagrariaan yang dicanangkan semenjak masa-masa awal kemerdekan. Kecuali ditopang oleh berbagai bentuk kelembagaan teknis pembangunan pedesaan dan pertanian yang secara politis diposisikan sebagai soal hidup atau mati bangsa (Soekarno, 1952), semangat menempatkan sektor ini sebagai prioritas pembangunan nasional secara substantif-revolusioner semakin serius dirancang melalui dibentuknya Panitia Agraria Jogjakarta, pada tahun 1948.
Kepentingan memajukan kesejahteraan rakyat pedesaan adalah esensi utama diundangkannya UUPA (Harsono,1968), yang semangat revolusionernya didokumentasikan sebagai konsideran atas terbitnya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 169/1963 tertanggal 26 Agustus 1963 tentang Penetapan 24 September sebagai Hari Tani. Beberapa hal bisa dijabarkan dari konsideran yang menegaskan sikap UUPA yang membela petani-petani gurem di pedesaan. Pertama, semangat revolusioner yang anti imperialisme, terutama dalam hal pertanahan, merupakan esensi dasar pemikiran perekonomian nasional untuk mengatasi kolonialisasi pertanahan semenjak penjajahan. Kedua, rakyat tani sebagai jutaan subyek ekonomi yang harus mampu membebaskan diri dari eksploitasi ekonomi, sehingga menghindarkan diri dari penghisapan manusia atas manusia. Ketiga, land reform adalah sebuah keharusan sebagai instrumen kebijakan utama. Keempat, tanah sebagai alat ekonomi menuju keadilan dan kemakmuran.
Mandat sejarah dan konstitusional itu pada sejarahnya kemudian mengalami pasang surut oleh provokasi ekonomi politis kapitalisme yang puncaknya menganjurkan konsep ekonomi pembangunanisme (developmentalisme), dan masyarakat mencapai kegemilangan semu yang pada akhirnya menuju kemelaratan total dalam praktek pencanangan program Revolusi Hijau.
Dan Sajogyo melalui karya klasiknya pada tahun 1973 berjudul “Modernization without Development in Rural Java” melakukan evaluasi-kritik terhadap Revolusi Hijau. Telaahnya ini yang semula merupakan paper untuk lokakarya FAO di Bangkok, mnunjukkan bahwa Revolusi Hijau hanya menguntungkan petani golongan atas dan mempercepat proses proletarisasi petani gurem. Karya ini menjadi rujukan utama dalam kajian Green Revolution yang terjadi di berbagai benua, yang dikaitkan dengan gejala diferensiasi sosial pedesaan.
Selanjutnya, pada 1976, tatkala isu Reforma Agraria atau land reform masih dianggap tabu, Sajogyo secara halus tapi teguh mengusulkan kembali perlunya pemerintah memberikan akses permanen buruh tani di desa-desa pada tanah melalui program penyediaan tanah kolektif. Profesor Sajogyo menulis, “… (J)ika pemerintah punya kebijaksanaan berpandangan jauh, potensi golongan buruh tani (kepala keluarga) sebanyak itu di Jawa dapat dimobilisasi. Caranya? Dengan land reform!”
Pada 1980, Sajogyo memberi kontribusi gagasan yang disebut dengan Ekologi Pedesaan. Melalui buku ini, beliau hendak menunjukkan dua hal. Pertama, bahwa untuk memahami pedesaan di Indonesia, selain keniscayaan keragaman sejarah, karakteristik, serta lapisan dan dimensi sosial ekonomi dan budayanya, diperlukan pemahaman relasional yang baik antara “bentang alam” dan “bentang sosial” sebagai potret utuh pedesaan di Indonesia itu sendiri.
Konsep pemikiran Sajogyo makin meruncing pada keharusan melakukan reforma agraria sebagai pijkan dasar pembangunan yang mensejahterakan rakyat banyak kehususnya rakyat pedesaan yang selama ini terabaikan. Gagasan Sajogyo tampak jelas, sebagaimana pernah dinyatakan sahabat belai Prof. Francis Wahono yaitu terdapat salah satunya dalam kata pengantar Masri Singarimbun dan D.H. Penny (terj. Ir. Sulaeman Krisnandhi, MSc). 1976. Penduduk & Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa. Jakarta: Bhratara Karya Aksara: “Kecuali perlu membedakan siapa golongan yang kurang mampu (dalam arti penghasilan kurang m,aupun pangan kurang) dari golongan lain yang serba-cukup, kebijaksanaan pembangunan, khususnya di bidang pertanian, perlu memahami deistribusi penguasaan atas tanah pertanian…..(G) olongan dengan kurang dari 0.1 hektar atau tak bertanah samasekali berjumlah 3.6 juta atau 31 %. Golongan dengan kurang dari 0.2 hektar atau tak bertanah ditaksir berjumlah 4.7 juta atau 40 %. Ini data tahun 1963, lebih besar kemungkinan bahwa golongan tak-bertanah dan yang paling gurem itu telah bertambah lebih pesat selama 12 tahun dibanding golongan relatif-cukup (di atas 0.5 hektar) yang jumlahnya secara mutlak mungkin tak banyak bertambah.” (Sajogyo 1976:16-17)
Kemudian Sajogyo berbicara pertama mengenai golongan petani yang di Jawa menguasai rata-rata 1.2 hektar, petani dengan kelas ekonomi cukup, yang berjumlah pada tahun 1963, 3.8 juta. Petani 1.2 hektar lah yang sebenarnya menikmati gelontoran petro dollar dalam bentuk subsidi modernisasi pertanian atau Revolusi Hijau. Nah, bagaimana nasibnya dan mau diapakankah para petani gurem dan tak bertanah yang hanya menguasai tanah maksimum kurang dari 0.2 hektar, yang pada tahun 1963 di Jawa jumlahnya 4.7 juta atau tepatnya boleh jadi 5 juta?
Saya tidak ingin memberikan jawaban atas pertanyaan itu atau berusaha menggaris bawahi gugus pemikiran Sajgoyo, jadi baik bila saya kutipkan di sini jawaban Sajogyo sekaligus sebagai penutup tulisan singkat ini. Lanjut Sajogyo: “Jika dibiarkan masing-masing mencari hidup di desa ikatan mereka dengan bapak pemimpin, juga majikan pemberi kerja dan upah, adalah alternatif nyata yang belum ada gantinya. Tapi jika pemerintah punya kebijaksanaan berpandangan jauh, potensi golongan buruh-tani (kepala keluarga) sebanyak itu di Jawa dapat dimobilisasi. Caranya? Dengan loandreform! Landreform itu justru dikenakan pada golongan yang paling gurem, misalnya yang menguasai kurang dari 0.2 hektar: tanah mereka dibeli pemerintah, kemudian dititipkan sebagai “tanah negara” yang diurus oleh Badan Usaha Buruh Tani (BUBT) di desa. Uang pembelian tanah itu sebagian dijadikan modal Badan Usaha Buruh Tani, baik modal untuk usaha bersama maupun modal yang dipinjamkan pada anggota untuk usaha perorangan. Jika 5 juta orang itu rata-rata punya 0.1 hektar yang dinilai Rp 0.2 juta se-hektar, biaya ganti rugi sebesar Rp 100 miljar. (Sebagai perbandingan, pada tahun 1976, rencana biaya subsidi desa se-Indonesia selama Pelita II Rp 76.5 milyar). Modal BUBT itu kecuali berasal dari uang ganti-rugi pemerintah, juga dari tambahan kredit untuk susuatu usaha BUBT yang memerlukan modal tambahan: modal bertani atau usaha lain. BUBT itu dapat juga berfungsi sebagai pemborong pekerjaan, di mana para anggota tampil ke depan, dalam hal proyek-proyek padat-karya maupun pasaran tenaga-kerja umum di desa. Latihan ketrampilan diusahakan sehingga menambah potensi anggota memperoleh pekerjaan dengan upah lebih baik.” (Sajogyo 1976: 17-18).
Bagi Sajogyo, masyarakat desa paling lemah dan yang miskin dari yang paling miskin harus di bela, harus menjadi riwayat yang terus menjadi penjaga dan pengingat bagi setiap usaha menyusun teori-teori pembangunan, mau pun implemntasi kebijakan praksisnya. Mereka manusia-manusia pedesaan, laki-laki dan perempuan, jangan sekali-kali di abaikan. Itulah garis besar pesan seoarang ekonom dan sosiolog paling populis dan jujur yang pernah dimiliki bangsa ini Sri Kusumo Kampto Utomo, atau yang lebih kita kenal sebagai Prof. Sajogyo. You never walk alone Prof…Selamat Jalan.***