Bina Desa

Prof. Achmad Sodiki: “Negara menyewakan tanahnya sendiri pada rakyat. Ini seperti era Raffles.”

Mantan Hakim Konstitusi RI Tahun 2008 s/d Tahun 2013 Prof.Dr. H.Achmad Sodiki , SH., dalam pernyataanya sebagai ahli dalam sidang gugatan (judcial review) Undang-Undang 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan) mengatakan betapa negara ini masih tak juga berpihak pada petani. Petani menunggu janji-janji, tapi tak pernah dipenuhi. Petani jadi kuli—kini bahkan jadi kuli di negeri orang.”Sekarang jadi kuli di negeri sendiri saja susah..”

 

“Sejarah indonesia adalah sejarah penderitaan, dan yang paling menderita adalah petani. Terutama akibat politik penjajahan. Sampe sekarang petani masih menjadi kuli di negeri sendiri.” Katanya dalam paragraf pembuka kesaksiannya yang dibacakan di hadapan sidang panel Mahkamah Konstitusi (17/3) Judcial review Undang-Undang 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan)

Sekarang, menurut Achmad Sodiki, era kolonial masih berlanjut di era modern; betapa mudah perusahaan dapat tanah lewat HGU dan izin, tapi petani betapa sulitnya untuk dapat lahan pertanian. Petani pun akhirnya jadi buruh tani, jadi TKI; 291 di anataranya sekarang terncam pidana mati. “Sekrang jadi kuli di negeri sendiri saja susah, sedih rasanya petani malah harus jadi TKI di negeri orang.” Kata Prof.Dr. H.Achmad Sodiki , SH., yang juga merupakan Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.

Prof.Dr. H.Achmad Sodiki , SH. Lebih lanjut menjelaskan perspektif historisnya. UULandreform era Sukarno menjadi era pembebasan hak atas tanah, sayangnya kemudian untuk klaim pembangunan oleh rezim Suharto agenda lenadreform tak lagi genuine dan tanah petani hanya diganti dengan ganti rugi yang rendah. Era SBY juga ada janji redistribusi 8 sampai 11 jt Hektar tanah, tapi Landreform plus akhirnya nyaris tak terdengar lagi, petani di bohongi lagi. “Kenapa kalo untuk perusahaan ada dan mudahnya ribuan hektar, tapi untuk petani negara sangat pelit?!” kecamnya.

Negara kok menyewakan tanah..

Pasal 58 Undang-Undang 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan) ini yang lebih menekankan pada sistem sewa untuk petani tentu ironis. “Negara menyewakan tanahnya sendiri pada rakyat. Ini seperti era Rafless.” Kata Prof.Dr. H.Achmad Sodiki , SH.

Negara bukan pemilik tanah jadi bagaimana hendak menyewakan tanah pada rakyat? Bukankah UUPA memasukan hak sewa sebagai hak sementara yang akan di hapus, lah kok UU ini malah hendak menghidupkan lagi sistem sewa?

“Itu akan merugikan petani. Apalagi UU Pasal 58 tidak menyebut jelas siapa petani yang akan mendapatkan kemudahan akses seperti disebut pasal 58, apa petani gurem apa petani berdasi di kota yang ga menggarap lahan pertanian?” terangnya.

Ada relasi modal, kuasa, dan jaringan yang tidak bisa membuat petani kecil disamakan dengan petani kaya atau korporasi pertanian. “Pasal UU 71 ini juga secara limitasi membatasi lahirnya kelembagaan petani, UU ini menggiring hanya pada 4 bentuk kelembagaan tani yang difasilirasi pemerintah. Padahal petani butuh kelembagaan petani yang bebas yang dibentuk oleh petani sendiri sesuai dengan kebutuhan petani sendiri dan bukan kepanjangan tangan dari kepentingan politik negara.” Terang Prof. Sodidki.

Bagaimana juga dengan serikat petani? Yang ironisnya malah tak tercakup dalam pasal tersebut. Kata “berkewajiban” bagi petani untuk ikut 4 model kelembagaan petani, hal itu bertentangan dengan pasa 28 UUD 45 tentang kebebasan berserikat.

“Petani sampai kini masih sabar menunggu hak mereka untuk dapat hak milik atas tanah yang selalu diingkari. Petani butuh hak milik dan kejelasan hukum agar bisa mengelola dan menggarap tanah untuk kesejahteraan tani sendiri dan bukan hak sewa semata.” Pungkas Prof.Dr. H.Achmad Sodiki , SH. (*)

Rep: SC

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top