Reorientasi Pembangunan
PEMBANGUNAN Indonesia harus lebih inklusif melalui pengembangan industrialisasi dan pertanian untuk keluar dari pertumbuhan ekonomi rendah.
Hasil kajian sejumlah lembaga penelitian memperlihatkan, pilihan strategi pembangunan pasca reformasi ternyata tidak menjawab permasalahan Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi sekitar 6 persen tidak cukup menyerap tenaga kerja muda yang setiap tahun masuk ke pasar kerja. Produktivitas tenaga kerja juga rendah karena sebagian besar adalah sektor informal dan atau tidak memiliki kandungan teknologi.
Persoalan besar penciptaan lapangan kerja dan pemerataan kesejahteraan tidak terjawab dalam strategi pembangunan 10 tahun terakhir. Indonesia butuh pertumbuhan ekonomi di atas 10 persen untuk menyerap tenaga kerja yang bertambah setiap tahun.
Pemerintah terlalu fokus pada eksploitasi komoditas tambang dan minyak sawit. Devisa dari ekspor komoditas kurang diinvestasikan pada pembangunan infrastruktur fisik yang diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan berkelanjutan.
Pengembangan sektor pertanian dan industri manufaktur praktis tertinggal. Impor bahan pangan terus meningkat. Impor barang konsumsi juga meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah kelas menengah. Indonesia terlambat menguasai ilmu dan teknologi serta inovasi untuk melayani kebutuhan tersebut.
Hampir separuh jumlah penduduk Indonesia hidup langsung dari pertanian, sebagian besar di tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Sensus Pertanian 2013 memang mencatat jumlah rumah tangga petani gurem, terutama dengan penguasaan lahan 0,1 hektar, turun 25 persen. Namun, jumlah mereka masih 55,33 persen dari total rumah tangga pertanian pengguna lahan.
Sayangnya, hasil awal sensus tidak menyebutkan jumlah buruh tani. Bukan tak mungkin petani gurem melepas lahannya dan beralih menjadi buruh tani. Sejumlah peneliti mencatat, ketimpangan kepemilikan lahan yang dicerminkan dari rasio gini lahan mencapai lebih dari 0,7, lebih buruk dari rasio gini pendapatan sebesar 0,41.
Pembangunan ke depan harus lebih inklusif serta fokus pada pertanian dan perdesaan. Sektor pertanian yang didorong adalah yang menyerap banyak tenaga kerja dan menjadikan petani mandiri, bukan sebagai buruh perkebunan besar, demi pemerataan kemakmuran.
Pemerintah harus memberikan insentif fiskal kepada industri berbasis pertanian yang mengaitkan hulu dan hilir agar menyerap tenaga kerja pertanian yang tingkat pendidikannya sebagian besar tidak lulus SMP.
Apabila pilihan pembangunan abai terhadap isu pertanian, industrialisasi, dan penyerapan tenaga kerja, Indonesia sulit keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Kerusuhan sosial, seperti yang kini terjadi di Amerika Latin, adalah peringatan dini bagi kita.
Sumber: Tajuk Rencana Kompas “Reorientasi Pembangunan” (3/4)
Saya tertarik dengan tulisan anda mengenai ekonomi pertanian . Saya juga mempunyai tulisan yang sejenis mengenai ekonomi pertanian yang bisa anda kunjungi di
<a href="http://ps-agrie.gunadarma.ac.id/"> klik disini </a>