Bina Desa

Pentingnya Kepemimpinan dalam Reforma Agraria

Mohamad Shohibuddin*

Dalam satu kesempatan, Kepala BPN RI Joyo Winoto pernah menyatakan bahwa 56% aset negeri ini yang terkait dengan sumbersumber agraria dikuasai oleh hanya 0,2% penduduk.

Di pihak lain, sementara rata-rata penguasaan tanah oleh petani kian merosot.Saat ini tercatat 7,3 juta ha tanah yang diindikasikan telantar, di mana 1,3 juta ha di antaranya berupa tanah perkebunan subur yang dikuasai oleh perusahaan dalam bentuk HGU. Ketimpangan agraria bukanlah gejala tunggal, melainkan berkorelasi dengan beragam manifestasi agrarian injustice lainnya. Insidensi kemiskinan sampai kini masih dominan di perdesaan.Padahal, di wilayah inilah pangan diproduksi dan berbagai komoditi ekspor dari sektor pertanian, kehutanan, pertambangan dan perikanan berasal. Demikian juga keresahan agraria merebak di mana-mana. Menurut data BPN, sampai 2007 terdapat 7.491 sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air.

Angka ini belum termasuk konflik di wilayah kehutanan,kawasan konservasi, kawasan pertambangan, daerah aliran sungai, wilayah tradisional tangkapan ikan, dsb. Degradasi lingkungan biasanya juga ditemukan di wilayah sengketa dan konflik agraria terjadi. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa ketidakadilan agraria berdampak pada krisis sosial-ekologi yang lebih luas. Di balik berbagai manifestasi agrarian injustice di atas, patut dicermati kekuatan-kekuatan ekonomi politik yang melahirkannya. Kapitalisme global dewasa ini, yang menghidupkan kembali cara kerja accumulation by dispossession, adalah kekuatan utama di balik agrarian injustice ini.

Sebagai misal,kekuatan itulah yang menggerakkan ekspansi kelapa sawit yang spektakuler dalam 10 tahun terakhir. Secara global, kekuatan ini pula yang melatari gelombang besar land grab, yakni pengadaan tanah skala besar di negara-negara selatan untuk outsourcingproduksi pangan dan bioenergi seiring krisis pangan dan energi di tingkat dunia beberapa waktu lalu.

Mendesak

Paparan di atas menunjukkan urgennya pelaksanaan reforma agraria di Indonesia untuk dua tujuan. Pertama, sebagai bentuk kebijakan korektif atas kondisi ketimpangan agraria yang terjadi saat ini.Pada peringatan 50 tahun UUPA hari Kamis lalu (21/10), Kepala BPN RI menyatakan bahwa pemerintah memerlukan 6 juta ha untuk meningkatkan gini ratio penguasaan tanah oleh rakyat sebesar 0,37 yang lebih berkeadilan.Padahal saat ini pemerintah baru memperoleh 142.159 hektar tanah untuk dibagikan ulang.Bahkan pada saat yang sama Presiden SBY terlihat menangis melihat kondisi yang sebenarnya sudah lama terjadi.

Masalah tanah menjadi tantangan yang harus dijawab oleh RPP tentang Reforma Agraria yang sedang digodok saat ini,terutama menyangkut penetapan sumber-sumber tanah objek reforma agraria. Kedua,selain sebagai kebijakan korektif, reforma agraria seharusnya menjadi satu moda baru pembangunan alternatif yang lebih berkeadilan. Presiden Soekarno saat mencanangkan land reform menyatakan,Revolusi Kemerdekaan adalah tahap pertama menuju transformasi masyarakat Indonesia yang bebas dari l’explotation de l’homme par l’homme.Dan hal itu hanya bisa dilakukan melalui land reform.

Dalam arti ini, reforma agraria harus dipahami sebagai satu moda pembangunan terpadu yang di dalamnya mesti terintegrasi berbagai bidang dan sektor pembangunan lainnya. Oleh karena itu, reforma agraria semestinya adalah kombinasi antara mengoreksi struktur agraria lama yang timpang dan tidak adil, dan pada saat yang sama menghasilkan landasan bagi sistem perekonomian dan moda pembangun-an baru yang lebih produktif dan berkeadilan. Membatasi reforma agraria pada aspek pertama saja akan membuatnya sebagai program karitatif belaka, sementara kekuatan ekonomi politik yang melahirkan ketidakadilan agraria terus berlangsung dengan berbagai dampak seperti diuraikan di atas.

 

Butuh Visi

Kebijakan reforma agraria, oleh karena itu,membutuhkan penanganan yang cermat dan hatihati karena menyangkut perombakan struktur kekuasaan ekonomi- politik. Di sinilah faktor kepemimpinan yang cerdas dan tegas amat dibutuhkan di semua jenjang yang merefleksikan segenap hubungan kekuasaan yang ada,mulai dari tingkat lokal hingga nasional, baik di kalangan gerakan sosial maupun pada ketiga pilar negarabangsa: eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Tanpa kepemimpinan semacam itu,reforma agraria akan terus jalan di tempat: dicoba dibuka pada satu pintu untuk ditutup di pintu lainnya! Sektoralisme di pusat maupun egoisme kedaerahan di daerah adalah dua gembok digdaya yang sering dipakai untuk memalang pintu itu. Untuk mengambil inspirasi mengenai pentingnya kepemimpinan di semua aras ini, bagian terakhir tulisan ini hendak mengangkat bagaimana kepemimpinan menjadi faktor penting dalam pelaksanaan land reform inisiatif lokal pada tahun 1947.

Meski ini adalah kasus land reform lokal (yakni di Desa Ngandagan Jawa Tengah), tapi keberhasilan desa ini dalam menjawab persoalan krisis agraria dan kemiskinan patut dijadikan bahan pembelajaran bersama. Sebab, inilah tepatnya persoalan yang belum sepenuhnya bisa dijawab oleh pemerintah nasional sampai sekarang. Saat Soemotirto menjabat lurah pada 1946, dia menghadapi krisis agraria yang akut di desanya.Lebih 70% sawah dikuasai oleh orang luar. Banyak warga desa menjadi “bandit perdesaan” untuk mempertahankan hidup. Ikatan feodal terus bertahan melalui pemberian hak garap tanah oleh kuli baku (petani pemilik tanah) kepada petani tunakisma (petani tanpa lahan).

Dengan cara demikian,terciptalah ikatan patronase: sang klien diharuskan bekerja pada patronnya tanpa upah dan menggantikannya kerja-wajib (kerigan) kepada desa, dan untuk itu mereka memperoleh hak garap atas lahan sawah seluas 90 ubin (0,128 ha).Dari sinilah asal mula julukan buruh kulidan sawah buruhanmuncul. Menghadapi masalah tersebut, Soemotirto meneruskan praktik penyisihan 90 ubin sawah buruhan, namun menariknya di bawah pengelolaan desa. Pemerintah desa selanjutnya membagi ulang tanah yang terkumpul ini kepada warga miskin tak bertanah.

Untuk ini, ukuran standar sawah buruhan yang semula 90 ubin dipecah dua menjadi 45 ubin sehingga dapat dibagi kepada penerima potensial yang lebih banyak. Hal ini berarti penetapan batas minimum penguasaan tanah sawah yang lebih kontekstual dengan kondisi lokal. Semenjak itu, tak satu pun rumah tangga yang tidak memiliki akses atas tanah pertanian. Redistribusi tanah di lahan basah ini selanjutnya disertai dengan pengaturan hubungan agraria yang lebih adil. Untuk ini Soemotirto mengharuskan tanah dikerjakan sendiri oleh pemiliknya,dan pada saat yang sama melarang semua bentuk hubungan penyakapan tanah dan hubungan perburuhan di bidang pertanian.

Sebab,dua hubungan itu dianggap sebagai mekanisme bagi sebagian kecil orang memperoleh keuntungan dengan mengandalkan keringat orang lain. Selain itu, pada masa lalu hubungan penyakapan ini menyebabkan banyak petani di desa ini kehilangan tanahnya melalui ikatan gadai dan hutang piutang. Sebagai gantinya, diterapkan satu mekanisme hubungan produksi baru yang egaliter yang didasarkan atas tukar menukar tenaga kerja atau grojogan dalam istilah lokal. Nilai tenaga kerja yang dipertukarkan dihitung menurut jumlah curahan hari.Tanpa disadari, ini mengejawantahkan prinsip land for the tillers,bahwa tanah hanya untuk mereka yang mengerjakannya.

Pelaksanaan prinsip ini bahkan lebih radikal dibandingkan UU Perjanjian Bagi Hasil yang ditetapkan 14 tahun kemudian. Namun luas sawah yang berlainan menyulitkan pertukaran tenaga kerja yang adil. Hal ini diatasi dengan kebijakan lainnya, yakni optimalisasi lahan kering yang belum banyak dimanfaatkan karena dimiliki pejabat Kecamatan pada masa kolonial. Atas kebijakan Soemotirto, tanah itu dibuka menjadi ladang dan diredistribusi melalui mekanisme grojogan: petani bersawah luas diharuskan membayar hutang hari kerja kepada petanibersawah sempit dengan membantunya membuka ladang.

Dampak positifnya: ketimpangan penguasaan tanah di lahan sawah dikurangi dengan tambahan penguasaan ladang. Demikianlah,melalui berbagai langkah pembaruan ini kepemimpinan Soemotirto berhasil mewujudkan akses atas tanah yang adil dan hubungan agraris yang egaliter di antara rakyatnya.

 

Kepemimpinan yang Cerdas

Kebijakan land reform yang kompleks amat memerlukan kepemimpinan dengan visi kuat dan determinasi tinggi. Kepemimpinan Soemotirto memberi banyak pelajaran mengenai hal ini.Kendati perangkat hukum mengenai land reform belum tersedia, pun dukungan finansial dari pemerintah, namun ia berani melakukan inovasi mewujudkan prinsip-prinsip land reformseperti: tanah memiliki fungsi sosial, tanah untuk penggarapnya, keadilan dalam hubungan agraria,dan pemanfaatan tanah terlantar.

Land reform Desa Ngandagan juga mewakili aspirasi kemerdekaan saat itu yang dalam lingkup lokal berhasil diwujudkan. Satu dekade sebelumnya, desa ini masih pekat dengan suasana kolonial dan feodal. Hanya dalam waktu singkat, aspirasi dan martabat baru muncul di tengah warga desa dalam tempaan Revolusi Kemerdekaan di era 1940-an. Melalui tempaan inilah rakyat Ngandagan mewujudkan secara konkret apa artinya masyarakat petani menjadi merdeka dan warga negara Indonesia. Kepemimpinan Soemotirto dan aspirasi kebangsaan ini merupakan inspirasi dan cermin yang amat berharga bagi para pemimpin bangsa ini.

Seperti dikemukakan Wiradi (2009), land reform amat dimungkinkan asal dipenuhi dua syarat: kepemimpinan yang demokratis tapi tegas dan berwibawa, dan dukungan penuh dari rakyat. Menjadi tugas semua pemimpin bangsa, baik yang ada di badanbadan negara, masyarakat sipil, maupun di kalangan serikat tani sendiri,untuk mewujudkan kedua syarat tersebut; dan di atasnya, menjalankan agenda reforma agraria.(*)

 

Mohamad Shohibuddin

Dosen Kajian Agraria IPB, Fellow pada IYLP Leiden University, Belanda

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top