Bina Desa

Negara Belum Sepenuhnya Akui Hak-hak Petani

(Jakarta: Bina Desa/19/010) Beberapa kalangan dari petani, NGO, gerakan pemuda berkumpul di kantor nasional Serikat Petani Indonesia (SPI) dalam agenda memperingati hari Hak Asasi Petani (HAP). Mereka merekam dan merefleksikan masih banyak dan berlajutnya kasus-kasus agraria, dan lebih sering petani menjadi korban. Mereka menuntut agar Negara sepenuhnya mengakui Hak Asasi Petni dan membentuk badan penyelesaian kasus tanah petani.

“Yang penting sekarang adalah bagaimana mendorong agar adanya pengakuan terhadap HAP (hak asasi petani), karena sampai sekarang semangatnya masih sama, karena belum ada pengakuan dari negara terhadap HAP sampai saat ini sementara konflik structural agraria tengah dan masih terus berlangsung.” Ujar Nanang Hari yang hadir dalam acara tersebut mewakili Bina Desa Sadajiwa.

Kalangan petani dan pembela kaum tani meminta pemerintah membentuk badan penyelesaian kasus-kasus tanah yang di hadapi petani dengan perusahaan-perusahaan milik negara atau swasta, dan memberikan tanah ke petani kecil tak bertanah.

“Salah satu hasil konferensi Cibubur adalah akan dibentuknya institusi khusus yang menangani kasus-kasus sengketa agraria, dan difollow-up dengan rencana pembentukan Komisi Nasional Untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA) namun ditolak oleh Pemerintah saat itu. Ide ini juga dibawa ke Komnas HAM, namun tidak mendapat respon yang jelas. Ketika ide ini diterima oleh BPN, maka dibentuklah deputi khusus Penyelesaian Konflik Agraria, namun badan ini tidak implementatif. Wakil Ketua Komnas HAM juga bejanji akan membentuk desk khusus untuk menyelesaikan kasus-kasus agraria, namun sampai sekarang tidak terlaksana.” Jelas Agus Ruly Ketua Departemen Politik Hukum dan Keamanan Serikat Petani Indonesia (SPI)

Acara yang berupa diskusi ini membicarakan mengenai capaian-capaian dan kemajuan tentang pengakuan Hak Asasi Petani baik itu di tingkat nasional maupun internasional.

Menurut Ikhwan, Ketua Departemen Luar Negeri SPI menjelaskan untuk tingkat internasionalnya telah dicapai kesepakatan mengenai kerangka Hak Asasi Petani di dewan HAM PBB (tepatnya termaktum dalam Dokumen A/HRC/13/L.17 tentang resolusi hak atas pangan). “Walaupun tidak secara eksplisit menyatakan HAP seperti draftnya, tetapi tetap bisa digunakan sebagai basis terhadap perjuangan internasional kaum tani dalam mempromosikan dan menegakkan hak-hak mendasarnya—karena substansinya yang kurang lebih sama,” ujar Ikhwan.

Gunawan dari IHCS (Indonesian Human rights Committee for Social Justice) juga mengungkap hal senada, “Pencapaian di PBB itu sudah cukup maksimal dan patut dibanggakan. Oleh karena itu, upaya di tingkat nasional  yang bisa kita lakukan adalah mengusulkan undang-undang (UU) baru dalam legislasi nasional—seperti UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010-2014,” papar Gunawan.

“Dan, yang paling mendesak, agar rancangan undang-undang (RUU) ini masuk dalam prioritas 2011, dengan cara menyiapkan draft naskah akademik RUU ini agar RUU ini bisa cepat dibahas di DPR,” ungkapnya lagi.

Selain SPI (Serikat Petani Indonesia), IHCS (Indonesian Human rights Committee for Social Justice), Yayasan Bina Desa Sadajiwa, konsolidasi ini juga dihadiri dan didukung oleh Aliansi Petani Indonesia (API), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), KRKP (Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan), FPPI (Front Pemuda dan Pelajar Indonesia), dan lainnya. Rencananya pertemuan ini akan digelar bergilir di beberapa lembaga yang terlibat diskusi ini di Jakarta. (pubin/bindes/XXI/sabiq/010)

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top