Makalah ini disarikan dari makalah Pidato Ketua Panitia Pengarah Konferensi Nasional Reforma Agraria 2014 “Mengidamkan Reforma Agraria, Mewujudkan Kemandirian Bangsa” oleh Noer Fauzi Rachman, PhD.*
Rakyat Indonesia secara keseluruhan selayaknya menyambut abad XXI dengan penuh kegembiraan dan optimisme, namun pada kenyataannya tidaklah demikian. Banyak kelompok rakyat miskin di seantero desa, pinggir kota, di pedalaman maupun pesisir pulau-pulau dilanda rasa risau. Mereka menanggung beban berat, karena penguasaan tanah pertanian, pesisir, dan hutannya semakin tidak menentu. Kami mencoba menguraikan secara padat krisis agraria yang melanda.
Salah satu penyebab krisis agraria yang menahun ini adalah konsentrasi penguasaan tanah yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan raksasa di bidang pertambangan, kehutanan dan perkebunan. Bagaimana bisa?
Putusan pejabat publik (Menteri Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Pertambangan dan Energi), yang memberi berbagai lisensi (Izin HPH/HPHTI, HGU, Kontrak Karya Pertambangan, dan lainnya), menjadi alas hukum perusahaan-perusahaan pemegang lisensi untuk menyingkirkan dan meminggirkan rakyat petani, nelayan, masyarakat adat dari tanah, sumber daya alam, dan wilayah hidupnya. Padahal mereka itu menggantungkan kelanjutan hidupnya dari cara mereka menguasai dan memanfaatkan tanah, sumber daya alam dan wilayahnya, dengan sistem pertanian keluarga, perladangan suku, wana-tani, pengembalaan suku, kebun-hutan bersama, hingga pengelolaan pesisir dan laut secara adat.
Sebagian di antara mereka ada yang sibuk untuk terus-menerus mempertahankan diri dan bertarung melawan perluasan konsesi-konsesi pertambangan, kehutanan dan perkebunan itu. Produktivitas mereka yang hidup di sistem-sistem produksi ini cenderung dibiarkan menurun begitu saja oleh pemerintah. Sebaliknya, kebijakan, kekuasaan, dan fasilitas pemerintah diarahkan untuk mempermudah jalan para perusahaan/investor memperbesar produksi komoditas global dari perusahaan-perusahaan pertambangan, kehutanan, dan perkebunan itu.
Selain karena konsentrasi penguasaan tanah, konversi tanah-tanah pertanian ke non-pertanian, perkembangan ilmu dan teknologi produksi, dan pertumbuhan penduduk miskin, telah ikut membuat kesempatan kerja di pertanian semakin sempit. Data sensus pertanian 2013 menunjukkan rumah tangga pertanian di Indonesia mencapai 26,13 juta, yang berarti telah terjadi penurunan sebesar 5 juta rumah tangga pertanian, dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian 2003. Jadi secara umum, dibanding dengan mereka yang membutuhkan pekerjaan, kesempatan kerja di sektor pertanian semakin menyempit dari tahun ke tahun. Minat bekerja pada bidang pertanian juga semakin menipis.
Krisis agraria sekarang ini dicirikan oleh tiga hal utama yang mencolok, yakni: ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam yang sangat tajam, konflik-konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang meletus di sana-sini dan tidak ada penyelesaiannya, serta kerusakan ekologis yang parah dan membuat layanan alam tidak lagi dapat dinikmati rakyat.
Ketiga perkara tersebut telah disebut secara lugas sebagai masalah nasional dalam Ketetapan MPR RI No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Satu mandat utamanya dari TAP MPR ini adalah penyelesaian pertentangan, tumpang tindih dan tidak sinkronnya berbagai perundang-undangan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang berlaku.
Ironisnya tidak ada satu pun Presiden Republik Indonesia yang menjalankan arah kebijakan dan mandat yang termuat di dalam Ketetapan MPR itu. Semenjak dibentuknya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 melalui UU Nomor 24/2003 sudah cukup banyak undang-undang mengenai agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang telah diuji konstitusionalitasnya, dan sebagian telah dibatalkan karena tidak sesuai dengan UUD 1945 yang berlaku. Salah satu yang paling banyak diuji adalah Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan. Dengan demikian, merupakan pekerjaan utama Presiden membentuk panitia negara untuk melakukan kajian (review) perundang-undangan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang bertentangan, tumpang tindih dan tidak sinkron satu sama lain.
***
Masalah kita yang lain adalah karakter pemburu rente pada pejabat publik di Pemerintah Pusat dan Daerah, yang umumnya diperoleh dari kewenangan pemberian lisensi-lisensi untuk usaha pertambangan, kehutanan, perkebunan, pertanian, perdagangan, dan lainnya, baik di Kementerian Pertambangan dan Energi, Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan lainnya, maupun di pemerintahan daerah.
Dalam konteks kewenangan kabupaten yang diterima sebagai hasil desentralisasi, sudah menjadi pengetahuan umum para pengamat otonomi daerah bahwa pemberian izin lokasi untuk perkebunan dan izin usaha pertambangan (batu bara, nikel, dsb.) sangat marak diberikan bupati sebagai upaya mendapatkan rente sebagai “kompensasi dari pengeluarannya ketika bertanding dalam pemilukada”.
Menurut saya, cara memahami dan menjalani fungsi pejabat pemerintahan demikian itu sangat mirip dengan yang dipraktikkan oleh para pejabat pemerintah kolonial Hindia-Belanda dengan kebijakan agraria kolonial yang diskriminatif, meski kita hidup di zaman paska-kolonial. Jelas sekali hal ini sepenuhnya adalah penyimpangan dari arti “publik” sesungguhnya dari “pejabat publik”. Ini adalah juga pengkhianatan terhadap cita-cita para pendiri Negara-Bangsa, dalam hal bagaimana Negara Republik Indonesia seharusnya bekerja melalui para pejabatnya.
Kita ingat bahwa para pendiri Negara-Bangsa Indonesia, termasuk Soekarno dan Mohamad Hatta, telah meletakan dasar-dasar baru pengaturan agraria nasional yang berdasarkan kritik terhadap cara politik agaria kolonial bekerja. Soekarno dengan fasih mengkritik bagaimana kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi (dan imperialisme negara-negara Eropa yang membentuk dan memelihara kapitalisme) menyengsarakan rakyat Indonesia dan menjadi musuh dari segenap usaha perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam pidato di BPUPK pada 1 Juni 1945, ia dengan jelas dan jenius menunjukkan bagaimana Negara Republik Indonesia mesti difungsikan sebagai Ibu Pertiwi yang memangku rakyat sebagai warga negaranya. “Apakah kita mau Indonesia merdeka, yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, serta merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?” Mohammad Hatta pun demikian pula, ia telah meletakan dasar-dasar yang melarang tanah (dan sumber daya alam) untuk diperlakukan sebagai komoditi (barang dagangan) belaka. Inilah sebagian konteks dari perumusan pasal 33 UUD 1945 yang orsinil, yakni, “Bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya, dikuasai Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Menghadapi krisis agraria yang gawat di awal abad 21 ini, kami mengidamkan Pejabat publik yang sanggup untuk memimpin tim “operasi bedah” atas dasar diagnosa yang tepat. “Operasi bedah” demikian itu, dalam ilmu dan praktik kebijakan pembangunan, disebut sebagai land reform. Setelah land reform, pemerintah perlu membantu petani dengan menyediakan segala fasilitas untuk membuat pertanian rakyat itu produktif, dan memastikan layanan alam berlangsung secara berkelanjutan. Ini semua disebut sebagai reforma agraria. Reforma agraria ini bukanlah idaman baru. Yang jelas, idaman ini memiliki akar yang dalam pada aspirasi para pendiri bangsa yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia sebagai “jembatan emas”. Setelah melewati jembatan emas itu, kita semestinya bisa “leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi”.
Sudah saatnya kita berpikir dan bertindak dengan leluasa dan mandiri untuk menyusun masa depan, “menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi”. Dalam Pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945 di depan Sidang Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan, Bung Karno menyebut kemerdekaan sebagai “jembatan emas”. Yang artinya, di seberang jembatan emas itulah, kita pikir segala apa yang harus kita pikir, dan kita selenggarakan apa yang harus kita lakukan, demi apa yang menjadi cita-cita luhur bangsa. “Di seberang jembatan emas itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat,” demikian Bung Karno menegaskan.
Mengapa kita mesti leluasa dan mendiri? Oleh karena dalam kita memikirkan apa yang menjadi kepentingan kita sendiri, tidak boleh ada sedikitpun kekangan, ancaman, atau segala jenis tindasan, yang membuat jiwa kita tidak merdeka. Kita tidak boleh ragu untuk meninggalkan apa yang lama, dan memasuki apa yang baru. Cara-cara dalam menyelenggarakan negara, yang membuat kita tidak kunjung berhasil dalam mencapai apa yang menjadi cita-cita proklamasi, harus berani kita tinggalkan.
Cara-cara lama hanya akan mempertahankan kedudukan kita sebagai: Pertama, menjadi “pasar penjualan daripada produk-produk negeri penjajah atau negeri-negeri luaran di tanah air kita”. Kedua, “Indonesia menjadi tempat pengambilan bahan-bahan pokok bagi industriil kapitalisme di negeri penjajah atau negeri-negeri lain”. Dan ketiga, “Indonesia menjadi tempat investasi daripada modal-modal penjajah dan modal-modal asing yang lain”.
Betapa benar yang disampaikan oleh Presiden Soekarno pada sidang pleno pertama Dewan Perantjang Nasional (1959) di Istana Negara, 28 Agustus 1959. Lebih dari itu, betapa ironisnya bahwa Indonesia masih berkedudukan persis sama di tahun 2014, setelah enam puluh sembilan tahun berjalan melewati “jembatan emas” kemerdekaan. Indonesia seharusnya tidak lagi berkedudukan demikian.
Satu terminal perjalanan yang patut untuk dijadikan rujukan imajinasi kita apakah kita sudah menempuh jalan yang benar adalah di ulang tahun ke-100 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang akan datang pada tahun 2045. Kita musti benar-benar mengusahakan agar 30 tahun yang akan datang itu, kita tidak lagi melanggengkan kedudukan Indonesia sebagai “Een natie van koelies en een koelie onder de naties”, “A nation of coolies and a coolie amongst nations”.
Lintasan baru itu musti dimulai dengan menyatakan berhenti dari segala cara pembangunan yang mengancam keselamatan rakyat, merusak produktivitas rakyat, menghancurkan layanan alam, dan membuat kesejahteraan rakyat merosot. (*)
*Noer Fauzi Rachman, PhD : Direktur Eksekutif Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi Agraria Indonesia. Pengajar Mata Kuliah “Politik dan Gerakan Agraria”, Program S2 Sosiologi Pedesaan, Institute Pertanian Bogor. Penulis buku Land Reform dari Masa Ke Masa. Perjalanan Kebijakan Pertanahan Indonesia 1945-2012.