Bina Desa

Merombak Sistem Pertanian

Oleh : Gunawan*

Perubahan judul dalam Prioritas Progam Legislasi Nasional Tahun 2018, yaitu dari RUU tentang Perubahan UU 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman menjadi RUU Tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, menunjukan semangatnya mengganti undang-undang bukan sekedar perbaikan dan pengaturan yang lebih komprehensif mengingat ada banyak undang-undang terkait pertanian, seperti UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU Hortikultura, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani serta UU Perkebunan. Justru yang belum ada adalah UU Pertanian.

Namun menyusun suatu produk hukum sistem budidaya tanaman memerlukan kehatian-hatian. Karena masalah pertanian atau sistem budidaya tanaman pertanian dalam perkembangannya menyangkut kepada dua hal yang mendasar.

Pertama. Terkait dengan hak petani, bahwa budidaya tanaman pertanian telah dilakukan oleh petani sejak manusia mengenal konsep pertanian jauh hari sebelum peradaban manusia mengenal konsep kekuasaan berupa kerajaan maupun negara. Sehingga ketika kemudian negara menciptakan pengaturan sistem budidaya tanaman, sudah seharusnya tidak boleh melanggar hak petani karena merupakan bentuk dari represi terhadap pengetahuan tradisional dari petani dan masyarakat adat yang bersifat turun temurun.

Kedua. Upaya negara membangun sistem budaya tanaman pertanian dalam perkembangannya tidak hanya sebagai upaya mewujudkan kedaulatan negara atas sumber-sumber agraria dan kekayaan alam nasional untuk kemakmuran warga negarannya, tetapi juga dipengaruhi oleh dinamika gerak modal internasional di bidang pertanian, pangan dan perbenihan yang menginginkan liberalisasi atau hilangnya peran negara dalam pertanian dan pangan.

Dari dua poin tersebut di atas menimbulkan pertanyaan. Apakah tetap dipertahankan frasa sistem budidaya yang menitikberatkan pada mekanisme perizinan dan sertipikasi benih ? Dan apa makna frasa berkelanjutan ? melanjutkan pertanian kimiawi dengan menjadikan pertanian organik menjadi sub budidaya pertanian ? atau perubahan dari pertanian kimiawi ke pertanian alami ?

 

Revolusi Hijau

Di dalam pelaksanaanya, UU 12/ 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman telah dipergunakan untuk melakukan diskiriminasi dan kriminalisasi terhadap para petani yang melakukan pemulian tanaman berupa pencarian, pengembangan dan mengedarkan benih. Pasal-pasal yang mendiskriminasi dan mengkriminalisasi dalam undang-undang tersebut kemudian oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Putusan tersebut mengakibatkan tidak dilarang perorangan petani kecil yang melakukan kegiatan berupa pencarian dan pengumpulan plasma nutfah untuk dirinya maupun komunitasnya sendiri, dan tidak dilarang pengedaran hasil pemuliaan yang dilakukan oleh perorangan petani kecil dalam negeri untuk komunitas sendiri yang tidak lebih dahulu dilepas oleh Pemerintah.

Alasan-alasan yang dipergunakan Mahkamah Konstitusi dalam menyusun pendapat-pendapatnya adalah, pertama, petani kecil sebetulnya telah melaksanakan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah dalam kegiatan pertaniannya semenjak lama, bahkan dapat dikatakan juga menjadi pelestari karena dengan pola pemilihan tanaman sebetulnya petani telah memilih varietas tertentu yang dianggap menguntungkan. Kedua, khusus varietas hasil pemuliaan dalam negeri yang dilakukan oleh perorangan petani kecil, yang mata pencaharian mereka dari hasil pertanian, bahkan secara turun temurun berkecimpung dalam dunia pertanian adalah tidak mungkin atau bahkan mustahil akan melakukan sabotase pertanian, sebab hal itu berarti melakukan sabotase terhadap kehidupan sendiri. Perorangan petani kecil pada umumnya justru mewarisi atau memiliki kearifan lokal di sektor pertanian yang dapat ditumbuhkembangkan untuk ikut memajukan sektor pertanian.

Petani harus mendapat izin dalam pencarian, pengembangan dan pendistribusian benih “idaman” petani, dilakukan setelah Indonesia di masa awal Orde Baru mulai mempergunakan “benih unggul” dari perusahaan-perusahaan transnasional yang bekerjasama dengan BUMN, bisnis militer dan bisnis keluarga pejabat.

Menurut Harold Crouch (Militer dan Politik di Indonesia; 1986), pada tahun 1968 pemerintah Indonesia menyusun perencanaan “Bimas Gotong Royong”, yang meminta perusahaan-perusahaan asing untuk memperkenalkan “Revolusi Hijau” secara luas. Perusahaan-perusahaan asing bertugas menyediakan bibit, pupuk dan masukan-masukan lainnya, antara lain pemberantasan hama.

Baru kemudian guna mengatur izin dan sertipikasi perbenihan disusunlah UU Sistem Budidaya Tanaman. Kemudian sebagai konsekuensi keterlibatan Indonesia dalam organisasi perdagangan dunia, WTO, Pemerintah Indonesia menyusun UU 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman untuk melindungi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di bidang tanaman.

Mekanisme perizinan dan sertipikasi dalam kedua produk hukum seperti tersebut di atas sangat sulit diikuti petani, sehingga petani pemulia tanaman rawan terkena tuduhan menyebarkan benih tanpa izin dan sertipikasi liar.

Akibat teori dan praktek Pembangunanisme dan Revolusi Hijau di pertanian serta pelaksanaan UU Sistem Budidaya Tanaman, dampaknya tidak hanya diskriminasi dan kriminalisasi terhadap petani, akan tetapi pembatasan akan hak petani tersebut mengakibatkan di lahan pertanian sudah tidak lagi mempraktekan pertanian alami dan berkurangnya petani dalam kemampuan melakukan pemuliaan tanaman atau benih.

 

Transformasi Pertanian

Materi Rancangan UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan seharusnya mentransformasikan sistem budidaya tanaman yang berbasis industri ke pertanian alami yang berbasis pertanian yang ramah ekologi dan perlindungan hak petani pemulia tanaman atau benih, serta mencipatakan keserasian antara budidaya tanaman pertanian dengan tanah, air, lingkungan hidup, perubahan iklim dan kebutuhan konsumen sehingga akan memajukan pertanian keluarga, pemenuhan hak-hak petani, perbaikan lingkungan hidup dan tersedianya sumber pangan yang beragam, berkualitas serta berbudaya sehingga terwujud sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat.

Pertanian alami juga akan mengurangi secara drastis ekonomi biaya tinggi produksi pertanian yang selama ini tergantung dari benih, pupuk dan pestisida produksi pabrik. Dengan pertanian alami dan petani pemulia tanaman akan membawa perubahan di APBN terkait alokasi untuk subsidi benih dan pupuk.

 

Pembahasan di DPR

RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan mencoba mengatur dari lahan hingga pasca panen. Pengaturan soal lahan sama dengan yang diatur dalam UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kalau sudah diatur di UU yang lain kenapa kembali diatur ?

Dalam soal benih. Mengadopsi putusan Mahkamah Konstitusi bahwa petani tak perlu izin dalam mencari, mengembangkan dan mengedarkan benih. Tapi RUU ini kasih batasan bahwa petani mengedarkan benihnya sendiri hanya sebatas pada kelompoknya. Tentu kata kelompok lebih sempit dari pada yang dipergunakan Mahkamah Konstitusi, yaitu komunitas. Pasal pidananya pun panjang. Apakah karena tetap dipergunakannya frasa sistem budidaya sehingga terkait dengan rezim perizinan ?

 

 

*Penulis adalah pegiat di IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice)

Scroll to Top