Bina Desa

Merefleksikan Pemikiran A.T. Mosher tentang Kesejahteraan Pedesaan, dan Pembaruan Agraria

Pembangunan tanpa didahuli pembaruan agraria (Agrarian Reform) apa jadinya? Apa kata dunia? Sementara dunia telah berusaha keras mengupayakan pembaruan agararia sebagai landasan pembangunan—bahkan itu oleh negara-negara yang pada akhirnya berhaluan kapitalisme dalam transformasi pembangunannya—Indonesia sebaliknya, justeru meninggalkan agenda pembaruan agraria yang merupakan landasan bagi pembangunan masyarakat adil-makmur.

Salah satu pemikir yang mengkaji secara holistik pembangunan termasuk merekomendasikan pentingnya pembaruan agraria adalah A.T Mosher (1910-1992). Seorang ekonom, tapi persepsi dan konsepsi teori pembangunannya sebagaimana disebut pakar politik agraria indonesia, Gunawan Wiradi, merupakan konsepsi pemikiran yang menyeluruh (holistik).

Gunawan Wiradi sendiri telah merujuk dan dalam beberapa kesempatan merefleksikan dan memaparkan pemikiaran A.T Mosher dalam karya-karya tulis agrarianya—utamanya menyangkut pembaruan agraria sebagai landasan pembangunan.

Pembaruan Agraria Sebagai Landasan Pembangunan

Menurut Gunawan Wiradi, cukup banyak karya-karya ilmiah (literature) yang dapat dipakai sebagai acuan yang mengedepankan masalah pembaruan agraria sebagai basis pembangunan, baik yang melihat dengan tekanan pada aspek social-ekonomi, maupun yang melihatnya dari segi social-politik. Salah seorang “pembela terdepan” (leading advocate) dari “modernisasi” pertanian, yaitu A.T. Mosher pun memberikan perhatian yang cukup serius terhadap masalah pembaruan agraria. Mengapa pemikiran Mosher harus ditinjau walaupun secara ringkas saja? Gunawan Wiradi memberikan beberapa alasan utamanya:

Pertama: Orde Bary lahir bersamaan waktunya dengan lahirnya gerakan Revolusi Hijau di Asia.

Kedua: dalam masa-masa awal Orde Baru itu buku-buku karya tulis A.T. Mosher sangat popular di berb agai Negara di Asia, termasuk di Indoensia. Bahkan di berberapa Negara dijadikan semacam “Buku Suci”-nya pembangunan pertanian dan pedesaan, jhususnya dalam konteks Revolusi Hijau.

Ketiga: konon, disadari atau tidak, strategi pembangunan Orde Baru itu menganut paradigm “modernisasi”. Logikanya, pikiran-pikiran Mosher tentu menjadi acuan. Namun ironisnya, masalah “land reform” yang juga dibahas Mosher tidak pernah masuk hitungan.

Perlu dicatat bahwa A.T. Mosher bukanlah seorang pakar yang berpikir sempit atau sektoral. Sekalipun beliau seorang ekonomi, kerangka berpikirnya adalah menyeluruh (holistic). Aspek-aspek non-ekonomi, khususnya social-budaya sangat diperhatikan.

Dalam pola berpikir yang demikian inilah Mosher menempatkan pembahasannya mengenai “land reform”. Memang, seperti dinyatakan Gunawan Wiradi, tidak seperti penulis-penulis lainnya (misalnya, Peter Dorner, 1972; atau Russell King, 1977; atau juga Rehman Sobhan, 1993), yang secara langsung (eksplisit) menyatakan bahwa pembangunan agraria seharusnya menjadi landasan pembangunan. Mosher sangat berhati-hati dalam hal ini. Namun kalau buah pikirannya dari berbagai bukunya itu kita rangkum dalam sebuah bagan kerangka, maka intinya tetap mendukung pandangan tentang relevansi pembaruan agraria sebagai dasar pembangunan.

Kesejahteraan Pedesaan

Pada hakekatnya, pemikiran Mosher tidak jauh berbeda, misalnya, dengan Peter Dorner. Dorner menyatakan bahwa, walaupun land reform itu bukan tujuan dan harus dipandang dalam kerangka keseluruhan persyaratan pembangunan, tetapi langkah pembaruan itu diperlukan justru agar konsisten dengan persyaratan tersebut. Land reform justru memberikan dasar yang mantap bagi masa depan pembangunan politik dan ekonomi (Dorner, 1972:17 ff).

Pemikiran Mosher, jika kita upayakan merinci secara ringkas saja, terkait relevansi pembaruan agraria kurang lebih sebagai berikut:

Pertama: Pengorganisasian dan perencanaan pembangunan diberi arti sebagai, antara lain “adalah… untuk mencapai perubahan yang tepat didalam “agri-milieu”’ (“is.. to achieve appropriate changes in the ‘agri-milieu”’ (Mosher, 1971:9). Tapi apa yang dimaksu dengan “Agri-mileu” (AM)? AM adalah kombinasi dari sejumlah faktor (yang merupakan “lingkungan umum-general environment” dalam konteks pembangunan secara keseluruhan), yang mempengaruhi, mengendalikan atau mendorong, bergeraknya kegaitan pertanian.

Kedua: Menurut Mosher, ada 14 unsur AM, mencakup aspek-aspek ekonomi (7 faktor), aspek politik (4 faktor), dan aspek sosial-budaya (3 faktor). Salah satu di antara semua itu adalah masalah “penguasaan lahan” (land tenure) (dipandang sebagai aspek politik).

Ketiga: Apa tujuan pembangunan? Tidak lain adalah “kesejahteraan” (welfare)! Dalam konteks pedesaan adalah “kesejahteraan pedesaan” (rural welfare). Dalam hal ini Mosher menekankan pentingnya “kepuasan” (satisfaction). Demngan demikian “sejahtera” itu bukan sekedar kesejahteraan secara fisik, tapi juga yang lain-lain.

Lebih jelasnya, ada empat komponen kesejahteraan, (lihat, Mosher, 1969;46 ff; juga Mosher, 1976:303 ff), yaitu: (1) Tingkat hidup layak secara fisik; (2) Adanya kenyamanan dalam hidup berkelompok; (3) Adanya kesempatan untuk turut berpartisipasi atau terlibat secara menyenangkan dalam persoalan-persoalan komunitas; dan (4) Adanya “ketahanan keluarga” (family security), yang untuk ini diperlukan adanya “hukum yang mengatur hak-hak manusia dan keluarga mengenai penggunaan tanah” (legal arrangnements governing the rights of men and families with respect to the use of land).

Jadi bagaimana, apakah Anda sudah sejahtera? Dan yang lebih penting bagaimana kita akan mengupayakan kesejahteraan bersama dalam agenda pembangunan indonesia? (SC)

*Disunting Sabiq Carebesth dari makalah Gunawan Wiradi berjudul “Reforma Agraria Sebagai Landasan Pembangunan” (2003)

Scroll to Top