Rumusan kebijakan sosial sejatinya adalah soal politik; dalam arti tak melulu berdasarkan pada apa yang berlangsung dari kondisi sosial; karena sifatnya tak pernah “benar-benar”; kondisi sosial dan kebijakan sosial berlangsung selalu dengan ambivalensi dan paradoks; tak jarang kebijakan publik kerap justeru berlaku karena ada kepentingan dari cara pandang kelompok-kelompok yang “jinak-jinak merpati” di kekuasaan; kerap juga karena ada tekanan asing.
Singkatnya tak pernah benar-benar kondisi sosial itu bebas nilai atau begitu sederhana. Nyatanya realitas sosial dan politik kerap merupakan hasil transisi (kadang juga transaksi) dari pertarungan beragam konstruksi cara pandang dan kepentingan.
Apa kita tak bisa swasembada pangan? Setidaknya beras dan kedelainya yang memang mudah diproduksi dan ada system manajemen stok di sini, tapi faktanya walau kita bisa surplus, impor komoditas pangan kerap tetap sengaja digelontorkan. Berduyun-duyun produk pangan itu mengisi pasar tradisional yang rentan bergejolak. Yang terjadi adalah, di balik impor komoditas pangan kerap terpasang banyak perangkap dalam sebuah lubang hitam dimana aktor-aktor yang mahir pat-gulipat kong-kalikong bisa bertukar kepentingan. Asal tahu saja, dalam sekali impor, keuntungan importir jumlahnya bukan jutaan melainkan triliyunan. Siapa yang tak tergoda untuk dengan mudah memutuskan; impor aja deh…
Kita menjadi bangsa pengimpor bahan pangan nomor wahid di dunia. Setiap tahun kita mengimpor sedikitnya 1 juta ton beras (terbesar di dunia); 2 juta ton gula (terbesar kedua); 1,5 juta ton kedelai; 1,3 juta ton jagung; 5 juta ton gandum; dan 600.000 ekor sapi.
Padahal suatu negara-bangsa dengan penduduk lebih besar dari 100 juta orang tidak mungkin bisa maju, makmur, dan berdaulat bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor. Benar kiranya ujaran Presiden RI pertama, Bung Karno saat berpidato pada acara peresmian Gedung Fakultas Pertanian IPB di Bogor pada 1952, ”pertanian dan pangan adalah masalah hidup-matinya sebuah bangsa.”
Misalnya ketika pemerintah membuat aturan pembatasan kuota impor dengan dalih melindungi produsen nasional holtikultura, pada saat yang sama bea masuk impor justru digratiskan alias 0 persen. Dilain pihak, ketika Amerika merasa keberatan dengan aturan pembatasan impor dan pemberian subsidi, buru-buru kementan dan kemendag sepakat mencabut aturan pembatasan kuota: dan silakan ekspor sebanyak-banyaknya kami akan impor sesering-seringnya. Nasib rakyat baik produsen atau konsumen kecil, nanti saja dipikir lagi!
Padahal kalau kita cermati, AS sebagai kampiun negara industri ternyata sekitar 50% dari keseluruhan ekspornya berupa komoditas dan produk pertanian dan pangan, lagi pula mereka memberikan subsidi yang besar pada petanianya. Anda masih mengira perdagangan dunia kepitalistik yang bersandar pada aturan WTO adil?
Pada 2010, impor hortikultura mencapai 1,5 juta ton dengan nilai 1,2 miliar dolar AS meningkat menjadi 2,05 juta ton dan nilainya mencapai 1,6 miliar dolar AS pada 2011. Sementara, pada 2012, volume impor menembus angka 2,2 juta ton dengan nilai perdagangan mencapai 1,8 miliar dolar AS. Surat Persetujuan Impor (SPI) untuk semester II Tahun 2013 menunjukan total impor 13 produk hortikultura tersebut sebanyak 260.064 ton.
Naiknya angka impor ini, menyebabkan neraca perdagangan hortikutura Indonesia negatif. Data Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) menunjukan tahun 2010, neraca volume dan nilai perdagangan defisit sebesar 1,1 juta ton dengan nilai 902 juta dolar AS. Sedangkan, pada 2011, defisit neraca volume dan nilai perdagangan hortikultura mencapai 1,6 juta ton dengan nilai mencapai 1,1 miliar dolar AS. Untuk 2012, periode November-Desember saja, sudah terjadi defisit 1,7 juta ton dengan neraca nilai perdagangannya sebesar 1,3 miliar dolar AS. (KRKP, 2013)
***
Kerugian yang ditimbulkan akibat ketergantungan kita pada bahan pangan impor pun bukan alang-kepalang. Penghamburan devisa, menyengsarakan petani, belum lagi dugaan korupsi yang akan kian memandulkan sektor pertanian serta kelautan dan perikanan yang seharusnya menjadi keunggulan kompetitif bangsa. Inilah lubang hitam dari kemiskinan disini: orientasi pembangunan yang kapitalistik dan super liberal, sambil pada saat yang sama, mengabaikan basis agraris bangsa sendiri dengan program instan, tak bervisi dan rentan korupsi.
Apa yang bisa kita tempuh? Lahan-lahan pertanian, perkebunan, dan perikanan yang subur serta produktif (kelas I) tidak boleh lagi dikonversi menjadi kawasan industri, permukiman, infrastruktur, dan peruntukan lainnya. Sebaliknya harus dijadikan sebagai lumbung pangan nasional.
Kita juga perlu memperhatikan pentingnya nilai tambah. kita harus memperkuat dan mengembangkan industri hilir di seluruh sentra produksi pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan agar kita memperoleh nilai tambah, penyediaan lapangan kerja, dan multiplier effects ekonomi yang lebih besar dan luas.[SC]