Bina Desa

Membangun Masyarakat Sejahtera Melalui UU Perlindatayan dan UU Desa

Suwarto Adi, Anggota Pembina Bina Desa (Foto: Achmad Yakub)

Membangun Masyarakat Sejahtera Berdasarkan UU Perlindatayan (1) dan UU Desa

 Oleh Suwarto Adi (2)

 

Pengantar

Tujuan dasar kedua UU (No 19/2013, tentang perlindungan dan pemberdayaan petani, No. 7/2016 tentang Pelrindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam dan dan No. 6/2014, tentang Desa) meningkatkan kehidupan petani dan nelayan menjadi lebih sejahtera. Salah satu dasar untuk mencapai kesejahteraan adalah pemerintah mesti menerapkan prinsip good governance, tata pemerintahan yang baik. Good governance atau GG adalah prinsip global yang hendak diterapkan pada negara-negara demokratis baru di Afrika dan Asia. Harapannya, negara-negara baru itu akan mengikuti cara Barat dalam mengelola pemerintahan dan mengundang keterlibatan masyarakat.

Apakah GG berhasil mengubah negara-negara demokrasi baru di Asia dan Afrika lebih maju dan sejahtera? Jawabnya: tidak seluruhnya. Meski begitu, GG juga membawa manfaat yang tidak kecil. Lahirnya pemimpin-pemimpin yang bersih, efisien dan anti-korupsi adalah hasil dari penerapan prinsip GG ini di pemerintahan. Hasil akhirnya, walau belum seluruhnya, rakyat menjadi sedikit lebih sejahtera.

Tulisan ini tidak akan membahas keseluruhan ketiga UU yang disebut di atas. Tapi, berdasarkan beberapa pasal dari kedua UU itu, kita mencoba melihat peluang membangun masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Sebelum melihat UU secara kritis, kita akan membahas konsep GG yang menjadi dasar bagi lahirnya kedua UU tersebut.

Good Governance: Tata Pemerintahan yang Baik (3)

Secara prinsipil, istilah GG lahir dari pemikiran Foucault, pemikir Prancis melalui konsep governmentality, yang dirumuskan sebagai memerintah adalah ketepatan menempatkan dan menyusun sesuatu sedemikian rupa yang mengarah kepada tujuan yang memuskan. Maka, rasionalitas bagi pemerintah adalah penduduk. Hanya untuk kepentingan orang (penduduk) sebuah pemerintahan diperlukan. Pemerintah diciptakan untuk menjaga kelangsungan kehidupan penduduk, dan bukan sebaliknya.

Berkaitan dengan strategi perlindungan, selain beberapa sarana dan prasarana pendukung, pada pasat 7 (2) ditambahkan kata asuransi. Bahkan, dalam UU No. 7/2016, tentang perlindungan nelayan dibedakan jenis asuransinya: ada asuransi usaha di laut –yang penuh risiko—dan asuransi jiwa. Secara normatif, UU ini mencerminkan suatu kemajuan yang luar biasa, yang diterangi oleh konsep tata kelola yang baik. Pemerintah dibentuk untuk menuju pada kepuasan rakyat yang dilayani –istilah Presiden: “Negara hadir”.

Bahkan, untuk mengurangi kerugian atau biaya siluman dalam usaha pertanian, pasal 32 menyatakan penghapusan ekonomi biaya tinggi. Caranya, menghapus berbagai biaya pungutan yang tidak sesuai dengan UU. Perwujudan dari pasal 7 (2) di atas. Biaya-biaya “kecil” inilah ladang korupsi bagi para pegawai rendahan. Ini menjadikan biaya hidup mahal. Seperti banjir, tidak terasa, tiba-tiba sudah sampai leher. Kalau tidak bergerak, kita akan mati.

Singkatnya, kalau pemerintah makin efisien, terbuka, terkontrol, dan rakyat bisa terlibat mengawasi akan lahir pemerintah yang bertata kelola baik. Semua itu, akan menjadikan masyarakat mendapat kepuasan: dilayani dan mendapat kesempatan ambil bagian dalam pembangunan. Namun, hal itu bukan tanpa jebakan. Nanti kita bahasi di belakang.

Untuk konteks nelayan, hampir sama dengan UU Perlindungan petani. Sebab, UU No. 7/2016, cetak birunya mirip dengan UU No. 19/2013. Ada beberapa perbedaan sedikit di sana sini, tetapi esensi dasarnya sama: melindungi nelayan, memberikan sarana dan prasarana, asuransi supaya mereka berdaulat dan mandiri guna menuju kesejahteraan.

Yang menarik adalah persoalan reforma agraria. Pasal 56 (UU 19/2013) menyatakan demikian:

  • Konsolidasi lahan Pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a merupakan penataan kembali penggunaan dan pemanfaatan lahan sesuai dengan potensi dan rencana tata ruang wilayah untuk kepentingan lahan Pertanian.
  • Konsolidasi lahan Pertanian diutamakan untuk menjamin luasan lahan Pertanian bagi Petani sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) agar mencapai tingkat kehidupan yang layak.
  • Konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
  1. pengendalian alih fungsi lahan Pertanian; dan
  2. pemanfaatan lahan Pertanian yang terlantar.

Bagian ini bisa menjadi salah satu penyelesaian bagi persoalan reforma agraria (RA) di Indonesia. RA yang ditempuh melalui pemberian sertifikat itu penting. Tetapi, hal itu tanpa kekuatan bersama komunitas akan menjadikan pemilik tanah bisa dengan gampang menjual tanahnya kepada perusahaan besar. Kalau itu terjadi, perusahaan besar secara hukum bisa menguasai lahan petani/negara secara legal.

Konsolidasi ini bisa menjadi model RA yang berbasis komunitas. Sebab, lahan-lahan itu akan “dikuasai” oleh masyarakat dan digunakan secara bersama-sama demi kesejahteraan semua pihak yang ada di wilayah tersebut. Kalau hal itu bisa mendukung, semua petani akan “menguasai” lahan sekurang-kurangnya 2 hektar, kemungkinan besar kesejahteraan petani bisa terwujud. Pilihannya adalah penguasaan kolektif atau kepemilikan individual?  Untuk mewujudkan itu, pemerintah daerah mempunyai kewenangan (pasal 58). Pemerintah mau cara gampang: bagi sertifikat saja, atau menghendaki cara berkelanjutan: membentuk kelembagaan masyarakat yang kuat secara sosial dan budaya yang menjamin semua penduduk mempunyai ‘kepenguasaan” lahan pertanian minimal (2 ha)?

Catatan Penutup

Kalau UU dijadikan acuan dalam melakukan gerakan, sebenarnya petani mempunyai dasar untuk membangun kekuatan bersama demi kesejahteraan bersama. Demikian juga, pemerintah yang baik yang menekankan GG akan mempunyai kesempatan menjadikan rakyat lebih makmur dan sejahtera. Apakah kedua pihak siap?

Artinya, pemerintah harus siap menerapkan prinsip pelayanan kepada masyarakat untuk membangun ekonomi desa dan petani yang kuat. Sebaliknya, kalau petani atau masyarakat siap berorganisasi, siap bermusyawarah maka kesempatan akan terbuka lebar untuk membangun dan memandirikan desa dan dirinya.

Namun jangan lupa, jebakan-jebakan dari UU ini adalah para pelaku pasar. Dengan peran negara yang mesti menjamin perdagangan, kalau masyarakat tidak cerdas, dan hanya mengejar keuntungan sesaat, maka pengusaha dan perusahaan nakal bisa memanfaatkannya. Koperasi di jadikan PT, lahan tanah disewakan kepada PT, maka petani hanya akan jadi penonton pasif. Ibarat sepak bola kita hanya menonton, tetapi yang bermain dan menjadi kaya adalah para pemilik perusahaan. Sebab, mereka menjadi bintang sepakbola dan dibayar mahal untuk permainannya. Mana yang kita pilih: mau jadi pemain atau penonton? [***]

untuk tulisan lengkapnya bisa dibaca disini Membangun Masyarakat Sejahtera Berdasarkan UU Perlindatayan dan UU Desa

 

Catatan Kaki:

(1) Perlindatayan merupakan singkatan dari Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan Nelayan. Hal ini merujuk kepada  UU  No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (perlintan), UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam (.Red)

(2) Anggota Pembina Yayasan Bina Desa, Jakarta

(3) Lihat lebih detail dalam Suwarto Adi, Ornop dan Dilema Demokrasi, UKSW, 2009. hlm. 15-22

Scroll to Top