Bina Desa

Memahami Dunia Pendamping dan Pendampingan (Refleksi Pemikiran Kartjono I)

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kementerian Desa), khususnya melalui Direktur Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) telah menggunakan kata “Pendamping” sebagai bahasa ungkap untuk mereka yang diasumsikan akan bekerja dengan tenaganya mendampingi pembangunan di desa. Salah satu yang paling riil disebutkan adalah para tenaga pendamping desa akan membantu mengawasi dan mendampingi tiap tahap pembangunan riil yang mencakup pengelolaan dana tak kurang dari Rp 16.5 triliun dana desa (setara 80 persen dari total DD Rp 20,766 triliun) untuk tahun 2015 yang telah disalurkan dari pusat ke rekening kas umum daerah Kabupaten/Kota.

Demikian kata dan ungkapan “Pendamping” sebenarnya telah lama memiliki nilai dan dipakai oleh kalangan penggerak, pelopor bahkan “Aktivis” yang bekerja bersama masyarakat desa khususnya untuk tujuan pembaharuan agrarian Indonesia sejak periode 1970an. Apa dan siapakah pendamping desa dalam idealisasi kerja social-budaya bagi pembangunan masyarakat desa?

Binadesa.co akan menghadirkan kembali percik pemikiran dan refleksi tentang pendamping dan kerja-kerja pendampingan yang tidak semata berlaku sebagai pengawas dan semata untuk tujuan pembangunan fisik pedesaan, tapi pembangunan kesadaran, keberpihakan, kritisisme dan keswadayaan masyarakat desa sendiri.

 

Pendamping dan Pendampingan

Fungsi dan peran pejuang adalah sebagai pendamping sosial masyarakat/komunitas/kelompok marginal atau sahabat rakyat. Sedangkan tujuannya, yaitu apa yang akan dicapai secara umum, adalah ikut mewujudkan demokrasi ekonomi dan demokrasi politik. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu ada pilihan-pilihan tentang cara mencapai tujuan tersebut. Tindakan memilih itu disebut policy atau kebijakan. Masalah berikutnya adalah dengan apa kita mencapai tujuan tersebut. Timbullah keperluan untuk menciptakan alat, yaitu berupa organisasi/panitia/ team, dsb.

Pendampingan sosial dengan strategi dampingan. Inti dari strategi dampingan adalah mengakui eksistensi kelomopok yang didampingi sebagai subyek, sehngga hubungan antara pendamping dengan kelompok yang didampingi adalah hubungan dwi subyek yang dialogis. Strategi dampingan dalam konteks peran pejuang sebagai pelaku aktif untuk ikut serta dalam proses transformasi merupakan pokok bahasan yang amat penting dilingkungan para pejuang.

Hubungan dwi-subyek yang dialogis tersebut mengandung makna bahwa kita harus mendekati masalah subyek yang kita dampingi dari perspektif pengembangan mereka, oleh mereka, dari dan untuk mereka dimana posisi pendamping adalah bersama mereka, menyatu dengan mereka dan mampu memasuki masalah mereka (empati).

Dalam hubungan dwi-subyek yang dialogis ini, maka yann menjadi obyek adalah amsalah, bukan kelompok yang didampingi. Dalam strategi dampingan ini, maka potensi-potensi perlu dikembangkan.

 

Jaringan Kerjasama (Network)

Yang dimaksud dengan jaringan kerjasama adalah hubungan kerjasama yang berkesinambungan antar subyek-subyek yang otonom dan independen, hubungan mana bersifat horizontal, multi center dan non-struktural, masing-masing peserta berfungsi saling berbagi (sharing) secara bersama meningkatkan pelayanan kepada kelompok dampingannya, dengan cara memperkuat kemampuan (kompetensi) pada dataran lokal, regional dan nasional, serta disemangati saling berbagi (sharing) dan kebersamaan dalam jaringan kerjasama tersebut, yaitu: (1) Hubungan kerjasama (dalam arti yang luas); (2) Berkesinambungan (unsur kontinuitas sangat penting); (3) Peserta sebagai subyek-subyek yang otonom dan independen; (4) Sifat hubungan horizontal, multi-center dan non struktural; (5) Fungsi masing-masing peserta saling berbagi; (6) Strateginya memperkuat visi, misi dan kemampuan bersama untuk meningkatkan pelayanan dan membangun aliansi (persetkutuan) dalam proses trasnformasi sosial; (6) Semangatnya kebersamaan dalam keaneka-ragaman.

Jaringan kerjasama menuntut syarat-syarat yang amat berat, yaitu etik kebersamaan yang harus diwujudkan dalam realitas kehidupan keseharian, ialah: (1) Berpikir kritis (mampu menganalisis realitas diri dan lingkungan) dan berpengetahuan obyektif (mengetahui realitas diri dan lingkunganya); (2) Rendah hati; tidak sombong; (3) Berfikir inklusif, sebagai lawan dari berfikir ekslusif; (4) Empati pada yan lain ikut merasakan (tidak bermentalitas orang luar/outsider); (5) Disiplin, pandai memadukan ketertiban dan keluwesan; (5) Bersahaja/sederhana tidak berlebihan dan konsumeristis, melainkan fungsional dalam kewajaran; (7) Bermoral, bisa menjadi (dan tidak hanya memberi) teladan; (8) Bertanggung-jawab, satunya kata dan perbuatan; (9) Jujur, terhadap diri sendiri maupun orang lain.

 

Refleksi Bersama

Satu-satunya jaminan bahwa etik tersebut dilaksanakan sebagaimana mestinya adalah adanya mekanisme pengawasan bersama melalui refleksi bersama berdasarkan pengalaman.

Refleksi bersama yang terus menerus merupakan salah satu upaya penting untuk dapat mengembangkan jaringan kerjasama, karena dari refleksi terus menerus tadi akan tercipta iklim dan sikap yang tulus: (1) Saling mengakui keberadaan yang lain; (2) Saling menghormati dan menghargai; (3) Saling terbuka; (4) Merasa saling membutuhkan dan saling memiliki; (5) Akomodatif atas kehadiran yang lain; (6) Tidak terjebak dalam aktivisme maupun verbalisme; (7) Mampu mengatasi ketegangan antara idealisme dan realitas; (8) Kita harus tetap menjadi realitas dan jangan sampai menjadi mithos.

14Dan lain-lain iklim, sikap dan situasi yang perlu diciptakan melalui refleksi, sehingga iklim, sikap dan situasi tersebut, kondusif (tersedianya syarat-syarat) untuk mengembangkan jaringan kerjasama pada semua dataran, dan membangun saling pengertian dan kerjasama antara organisasi/lembaga kemasyarakatan dengan pemerintah pada semua tingkat, dan dengan lembaga-lembaga/organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain.

Pendampingan sosial bisa dilakukan oleh siapa saja yang terpanggil karena ada pemihakan (komitmen) dengan kaum marjinal (bisa melalui lembaga/organisasi dan bisa secara individual). Pendampingan sosial adalah suatu strategi, antara lain untuk mengembangkan partisipasi masyarakat pada semua tahap perkembangan (tahap pemikiran, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemanfaatan, penilaian dan pengembangan) dan pada semua tingkat (lokal/nasional/kelompok/komunitas). Pemihakan merupakan faktor dominan yang sangat mewarnai seluruh perilaku pendamping (hubungan pemihakan dengan analisis sosial).

 

Partisipasi Mempunyai Peran Sentral

Sasaran dari setiap upaya pengembangan masyarakat antara lain adalah swadaya untuk menuju kemandirian. Swadaya maknanya adalah mendasarkan pertama-tama danutamanya pada kekuatan/potensi sendiri. Bantuan dari luar sifatnya adalah tambahan. Bukan yang pokok. Sedangkan mandiri pada dasarnya berarti mampu memilih, menentukan dan memutuskan sendiri apa yang baik buat dirinya. Kalau ada faktor dari luar sifatnya adalah membantu dan mempengaruhi, dan bukan yang menentukan.

Secara kongkrit, dalam operasionalisasinya yang terjadi adalah: (1) Masalah harus diidentifikasikan masyarakat sendiri, tidak boleh diidentifikasikan oleh faktor luar. Faktor luar hanyalah berfungsi membantu (fasilitasi). Bukan intervensi atau mendominasi; (2) Kebutuhan harus ditentukan pula oleh masyarakat sendiri, tidak boleh ditentukan oleh faktor luar, lagi-lagi faktor luar hanya membantu (fasilitasi), bukan intervensi, mendominasi atau menentukan kebutuhan mereka; (3) Pilihan dan keputusan apa yang baik menurut masyarakat, yang menyangkut hajat hidupnya, harus dibuat sendiri. Juga dalam hal ini, kalau ada faktor, luar berlaku pula bahwa faktor luar tidak boleh menentukan atau membuatkan  pilihan dan keputusan mengenai apa yang baik, yang menyangkut hajat hidup masyarakat;

Itulah inti dari keswadayaan dan kemandirian yang perlu ditumbuhkan dan dikembangkan melalui pendampingan sosial. Semuanya ini adalah dalam rangka pembangunan masyarakat yang berkesinambungan untuk transportasi.

Dalam upaya untuk menciptakan terwujudnya pembangunan masyarakat yang berkelangsungan akan ternyata bahwa masalah partisipasi masyarakat mempunyai peran sentral. Sebab pembangunan masyarakat berkelangsugnan pada dasarnya adalah pembangunan oleh, dari dan untuk masyarakat dengan dampingan dari pendamping-pendamping yang memahami persoalan-persoalan masyarakat dengan bertitik tolak dari kebutuhan masyarakat. Berhubung masalah partisipasi mempunyai peran sentral dalam hal ini, maka diperlukan suatu proses yang menjadi prasarat dari terjadinya partisipasi masyarakat yang menunjang pembangunan berkelangsungan tersebut. Partisipan tersebut ialah persiapan sosial untuk pembangunan masyarakat yang berkelangsungan.

Maka jelaslah bahwa jaminan akan keberhasilan dari suatu program sangat tergantung dari keberhasilan dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat. Dan keberhasilan dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat ini sangat tergantung dalam menumbuhkan partiasipasi masyarakat ini sangat tergantung dari persiapan sosial yang dilakukan oleh masyarakat dengan didampingi oleh para pendamping.

Adapun dasar pemikiran dalam strategi pendampingan ini adalah: (1) Pembangunan masyarakat yang berkelangsungan hanya bisa terjadi apabila segala hasil pembangunan masyarakat tersebut adalah dirasakan sebagai karya masyarakat itu sendiri; (2) Bahwa masyarakat merasa bahwa hasil pembangunan masyarakat tersebut adalah milik mereka; (3) Bahwa untuk bisa menimbulkan rasa demikian itu maka partisipasi masyarakat secara nyata dalam pembangunan masyarakat tersebut harus hadir pada semua tahap dalam proses, yaitu: (a) Pada tahap pemikiran (jadi bukan orang luar yang memikirkan apa yang baik bagi mereka, apa masalah mereka serta apa kebutuhan mereka, melainkan mereka sendiri); (b) Pada tahap pengambilan keputusan; merekalah yang harus memutuskan segala hal yang mereka pikirkan tersebut diatas; (c) Pada tahap perencanaan; merekalah yang harus merencanakan apa yang mereka lakukan; (d) Pada tahap pelaksanaan; merekalah yang harus membuat rencana operasional, pengadaan tenaga, pembagian tugas, penjadualan, dan sebagainya; (e) Pada tahap pengawasan; merekalah yang harus melakukan dan mendesain  tentang cara-cara pengawasan bersama; (f) Pada tahap penilaian (evaluasi); mereka jugalah yang harus melakukannya menurut cara mereka dan dalam kerangka pikir mereka tentang pengertian-pengertian, manfaat, keberhasilan, kegkagalan, pengalaman dan sebagainya; (g) Pada tahap melihat kedepan; mereka yang harus mencoba meyakinkan diri mereka bahwa mereka mampu, bahwa mereka siap untuk melanjutkan dan meningkatkan karya mereka untuk kepentingan mereka sendiri, oleh mereka sendiri, serta dari mereka sendiri, secara bersama-sama dengan kemampuan mereka pula untuk memafnaatkan semua sumberdaya di lingkungan mereka dan sekitar mereka 9baik yang berdekatan maupun berjauhan).

Dalam hubungan ini maka peran pendamping benar-benar hanyalah mendampingi dalam arti membantu untuk mengungkatkap pikiran mereka, membantu merumuskan apa yang sebenarnya ada didalam pikiran, perasaan dan yang akan mereka lakukan, membantu dalam hal bagaimana sebaiknya segala       gagasan, rencana tersebut bisa menjadi kenyataan. Namun meskipun perannya adalah mendampingi, sesungguhnya mempunyai makna yang sangat besar bagi masyarakat karena mereka merasa ada teman yang membantu memecahkan persoalan-persoalan mereka. Memang harus disadari sejak awal bahwa kualifikasi pendamping benar-benar harus memenuhi syarat-syarat sesuai dengan keadaan masyarakat, misalnya rasa menyatunya dengan masyarakat yang kuat, kemampuan berdialog dengan masyarakat  secara tepat (dimana masyarakat dilihat dan dihadapi sebagai subyek dan bukan sebagai obyek, sedangkan obyeknya adalah persoalan-persoalan masyarakat), dan kemampuan untuk menjawab dan mengatasi persoalan-persoalan praktis dan teknis, dan sebagainya.

Kerangka rencana operasional pendampingan meliputi beberapa tahapan, ialah: (1) Persiapan sosial (latihan, pengorganisasian, dan sebagainya); (2) Pendiskusian bersama (pemikiran bersama) tentang masalah dan kebutuhan masyarakat; (3) Penyusunan program mengatasi masalah dan kebutuhan dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan; (4) Perencanaan bersama antara masyarakat yang dibantu oleh pendamping; (5) Pelaksanaan program, oleh masyarakat; (6) Pengawasan jalannya program oleh masyarakat sendiri; (7) Monitoring jalannya program oleh para pendamping; (8) Evaluasi bersama oleh masyarakat dan pendamping) yang meliputi: Manfaat dari program tersebut; Pengalaman yang mereka peroleh dalam proses program tersebut; Keberhasilandan kegagalan yang dialami; Hambatan-hambatan yang dirasakan; Hambatan-hambatan yang dipunyai untuk proses selanjutnya.

Semangat dan komitmen untuk perjalanan selanjutnya, meliputi: (1) Tingkat keberanian untuk mengambil prakarsa sendiri untuk selanjutnya, memutuskan sendiri hal-hal yang menjadi urusan mereka, merencanakan sendiri, melaksanakan sendiri apa yang emreka putuskan dan rencanakan, menilai kemanfaatan dari hasil yang mereka peroleh, mampu menyimpulkan keberhasilan dan kegagalan serta mengetahui cara mengatasinya dan bsia belajar dari pengalaman atas keberhasilan dan kegagalan tersebut; (2) Merasakan manfaat keswadayaan  dan kemandirian berdasarkan karya dan pengalaman mereka tersebut; (3) Merasa bisa melanjutkan sendiri dan mampu mencari sumberdaya yang diperlukan baik dari mereka sendiri maupun dari luar. (SC)

kws*Kartjono, adalah salah satu pendiri dan Direktur Ekskutif Bina Desa periode 1970-1990-an.

 

 

Scroll to Top