Banyak orang mengenal Bung Hatta sebagai seorang pejuang dan proklamator kemerdekaan. Tapi yang tidak banyak dikenal oleh anak-anak muda sekarang ini adalah bahwa Bung Hatta itu juga seorang bapak koperasi Indonesia. Sumbangsih Bung Hatta terhadap pemikiran demokrasi mengandung dua inti pemikiran, ialah cita-cita negara hukum yang demokratis dan penolakan terhadap individualisme yang dijabarkan dalam konsep koperasi.
Dalam penolakanya terhadap individualisme, Bung Hatta beranggapan bahwa kedaulatan rakyat ciptaan Indonesia harus berakar dalam pergaulan sehari-hari yang bercorak kolektivisme. Beliau menyatakan bahwa cita-cita perjuangan Indonesia adalah menciptakan terlaksananya dasar-dasar perikemanusiaan dan keadilan sosial. Demokrasi politik saja dianggapnya tidak melaksanakan persamaan dan persaudaraan, karena disebelah demokrasi politik harus berlaku pula demokrasi ekonomi yang secara tegas beliau katakan bahwa koperasi adalah sebagai bentuk dari bangun perusahaannya.
Dalam sumbangsih pemikiran Bung Hatta yang terkenal dalam koperasi adalah ajakan untuk mengembalikan semboyan ‘dari demonstrasi ke organisasi”. Organisasi adalah pangkal kekuatan. Organisasi yang dibangunkan oleh kapitalisme kolonial hanya dapat kita lawan dengan organisasi pula, yaitu organisasi kooperasi (Hatta : 1951).
Pernyataan tersebut telah mendorong polemik dan mengundang banyak kritik dari kaum konservatif kanan maupun kiri. Pemikiran Hatta merujuk pada pandangan bahwa koperasi adalah merupakan sebuah sistem, dan meminjam istilah Dawam Raharjo—sebagai sistem demokrasi ekonomi atau post kapitalisme— yang kemudian dituangkan dalam konstitusi kita terutama pasal 33 sebelum direvisi saat ini.
Penegasan sikap Hatta ini juga dapat kita lihat dalam konstelasi politik yang terjadi pada saat dia memiliki pengaruh kuat dalam pemerintahan baik sebagai wakil Presiden maupun Perdana Menteri. Pemerintahan Soekarno-Hatta tidak membentuk satu urusan koperasi dalam satu departemen apalagi menggabungkannya dengan sektor Usaha Kecil Menengah, tapi menjadi bagian integral dari sistem ekonomi yang kemudian diejawantahkan dalam kementrian perkonomian rakyat.
Koperasi dalam dimensinya secara makro-ideologis itu adalah bagian integral dari penyelenggaraan sistem ekonomi. Sebab suatu sistem ekonomi yang baik itu tidak hanya adil, tapi bagaimana disusun supaya menjadi adil, dan cara-cara koperasi yang demokratis itulah yang kemudian disebut oleh Bung Hatta sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi ekonomi kita.
Sesungguhnya, pelencengan yang terjadi justru dimasa Orde Baru (Orba) berkuasa, rezim Orba telah melakukan proses pengebirian koperasi dengan dibina dalam satu kementrian tersendiri dan digabung dengan skala bisnis usaha kecil dan menengah. Dengan satu alasan bahwa koperasi itu adalah perintah konstitusi maka kesenjangan struktural yang terjadi akibat warisan pemerintahan kolonial itu harus diselesaikan dengan cara melakukan pembinaan (baca : pembinasaan) terhadap koperasi dengan dibentuklah Departemen Koperasi dan UKM yang didukung oleh para ekonom-ekonom konservatif Orde baru pada masa itu.
Parahnya lagi, seakan koperasi itu tidak boleh besar, dan hanya mengurusi hal-hal kecil semata-mata, sementara sektor-sektor besar dijarah oleh pemerintahan despot dan pebisnis kapitalis besar dalam pola patron-klien antara penguasa dan pengusaha kapitalis. Koperasi terus “dibina” dalam satu kementrian sendiri yang digabung dalam skala usaha kecil dan menengah.
Mahfum bahwa, rezim fasis diberbagai belahan dunia dan termasuk rezim Orba sebagai variannya adalah sangat tidak suka bilamana koperasi ini berkembang dan jadi kekuatan lawan tanding dari kapitalisme seperti yang diharapkan Bung Hatta karena akan turut mengancam kekuasaan seorang despot. Sebab didalam sistem koperasi itu juga sekaligus diajarkan sistem pendidikan demokrasi. Kepentingan kaum fasis ini bertemu dengan kaum pebisnis kapitalis yang tentu tidak mau melihat istana bisnis mereka terancam oleh kekuatan demokrasi ekonomi koperasi.
Dalam sejarah perkoperasian dunia, pemerintahan fasis bahkan melakukan upaya-upaya represif seperti menangkap para aktivis koperasi dan melarang publikasi. Sedangkan di Indonesia dibunuh dengan “pembinaan” dan diberikan bantuan-bantuan sebagai racun kemandirian. Hingga pada akhirnya putuslah urat nadi keberanian koperasi untuk bangkit melawan. Hal ini dapat kita lihat pada perkembangan perkoperasian kita saat ini, yang sebagian besar hanya menjadi sub-ordinat dari kepentingan kapitalisme dan negara.
Kita dapat pelajaran penting dalam masa rezim Orba, koperasi dianak emaskan diberikan banyak fasilitas dan kemudahan, tapi tentu dengan tujuan yang sentral : membunuh prakarsa dan kemandirianya. Koperasi dan terutama adalah Koperasi Unit Desa (KUD) yang dibentuk secara top-down kini telah mati suri dan hanya koperasi yang genuine yang dibangun dari bawah dan dilandaskan pada prinsip kemandirian seperti Koperasi Kredit (Credit Union) misalnya yang pada akhirnya memiliki masa depan dan menuai perkembangan yang baik saat ini.
Koperasi-koperasi kita pada umumnya, masih saja selalu merintih kepada pemerintah. Hal ini juga terlihat dari kondisi organisasinya di tingkat nasional, Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) yang di klaim anggotanya hingga 32 juta orang itu juga masih mengandalkan kucuran bantuan dari APBN yang jumlahnya lebih dari 100 milyard itu. Koperasi yang awal mulanya berangkat dari suatu semangat kemandirian dan ingin melepas ketergantungan terhadap sistem kapitalisme itu justru menunjukan ketergantungan yang berlebihan. Jauh semangat menolong diri sendiri itu dari kenyataanya.
Kita tahu ada banyak persoalan yang membuat koperasi tidak berkembang karena keberadaan Kementrian Koperasi dan UKM ini seperti : Pemborosan anggaran pemerintah yang lebih baik ditujukan untuk membangun infrastruktur penting untuk pertumbuhan ekonomi; proses cuci tangan layanan masyarakat terhadap anggota koperasi dari departemen-depatermen teknis seperti kementrian perdagangan, perindustrian, pertanian, hukum dll ; dijadikanya ruang politisasi karena kementrian koperasi dan UKM ini lekat dengan istilah demokrasi dan kerakyatan; jadi tempat berlindungnya para rentenir yang berkedok koperasi karena lembaga keuangan mereka tidak mau tunduk dibawah pengawasan ketat bank sentral dsb-dsb.
Persepsi inilah yang kemudian saya anggap sebagai salah satu sesat pikir ekonomi kita yang kemudian menjadikan koperasi kita tidak berkembang dengan baik dan terkurung dalam sistem yang sempit yang dipandang dalam dimensi mikro-organisasi atau bisnis semata-mata.###