Persoalan pangan dan agraria beberapa dekade terakhir tampak diabaikan oleh elit pengambil kebijakan. Kedaulatan bangsa yang salah satunya bisa dilihat dari kedaulatan pangan kini jauh panggang dari api. Kedaulatan yang berarti juga hak eksklusif atas kemandirian negara dalam menghormati, memenuhi dan menjaga keamanan dan ketahanan pasokan pangan rakyatnya. Kini diserahkan dengan brutal kepada institusi “anonim” bernama modal dan investasi. Liberalisasi sumberdaya agraria secara sistematis juga terjadi melalui jalur konstitusi.
Negara Gagal
Kesan pengabaian (ignorisasi) terhadap dunia agraria kini berdampak dengan tingginya nilai impor pangan. Ironisnya hal ini malah di anggap lumrah. Tidak hanya oleh elit kekuasaan pembuat keputusan, tetapi juga oleh kalangan intelektual sekelas profesor dan doktor. Alasannya karena perubahan iklim yang menyebabkan gagal panen dan produksi menurun, melonjaknya jumlah penduduk maupun meningkatnya konsumsi, serta tingginya laju konversi lahan baku pertanian pangan terutama untuk properti dan lahan non sumber pangan.
Argumentasi apologis tersebut seringkali dipakai memberi dalil diperbolehkannya impor komoditas pangan seperti beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi. Tidak puas dengan ijtihad halal impor, pemerintah dan ahli pikirnya bahkan menerapkan bea masuk import 0 %. Padahal yang terjadi, misalnya terkait alih lahan, adalah praktek global perampasan tanah (land grabbing). Dan praktek ini telah menyebabkan konflik agraria meningkat, seperti terjadi di Mesuji Lampung atau di Kebumen atau di Jambi.
Laporan Serikat Petani Indonesia (SPI) menyebutkan, terjadi 144 kasus pelanggaran hak asasi petani. Angka ini belum termasuk kasus gizi buruk, dimana hingga Desember 2011 lalu tercatat 686 kasus. Sementara itu KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) pada 2011 mencatat terdapat 163 kasus konflik agraria di seluruh Indonesia dengan korban 22 orang petani tewas.
Kedaulatan Bangsa dan Perut Lapar
Akibatnya sangat nyata, negara gagal melindungi dan menghormati hak rakyatnya sendiri. Korbannya, petani dan rakyat kecil. Sementara kemiskinan struktual terutama petani di pedesaan akibat fragmentasi lahan yang kian nyata.
Kegemaran negara meliberalisasi secara membabi-buta sektor-sektor strategis dan menjadi hajat hidup orang banyak seperti sektor agrarian, telah mengakibatkan terhalangnya hak rakyat atas sumber agraria dan sumber pangan. Dimana kemudian aksi masyarakat membela hak-haknya itu ditanggapi negara dengan idiom “subversif”.
Ini berarti telah terjadi pelanggaran HAM oleh dunia usaha (capital violence) yang didukung aparat negara yang dilindungi undang-undang, atau pelanggaran HAM oleh hukum (judicial violence). Alih-alih dunia usaha memenuhi kedaulatan pangan dan energi nasional seperti di canangkan pemerintah, yang terjadi justeru sumberdaya dijadikan kutukan oleh elit kepada basis massanya. Target swasembada beras dengan rincian surplus 10 juta ton pada 2014 yang di canangkan pemerintah pun menguap di udara.
Kegagalan negara itu bisa dilihat dari dua sebab. Pertama: kebijakan negara yang selalu menomorduakan persoalan pertanian pangan. Serta menjadikan pertanian sebagai sapi perahan bagi industrialisasi padat modal yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Termasuk orientasi ekspor pangan melalui percepatan produktivitas agroindustri bermodal besar yang melibatkan investor-investor kakap seperti tampak pada program MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Dimana cara ini sama sekali meninggalkan upaya peningkatan ekonomi sektor agraris yang berorientasi nilai tambah bagi masyarakat tani miskin di pedesaan. Demam liberalisasi ekonomi melalui kebijakan konstitusional yang berorientasi investasi modal asing telah menyebabkan negara buta terhadap soal pertanian pangan. Praktek korporatisasi pangan tersebut telah nyata merampas hak eksklusif rakyat atas pangan dan energi.
Kedua: cara pandang sebagian orang bahwa hidup tidak hanya ngurusi pangan, adalah tipu daya kultural kelas elit kepada kelas massa kebanyakan. Tidak hanya ngurusi pangan adalah idiom bagi mereka yang kaya yang dengan sumber pendapatannya bisa dengan mudah mencukupi kebutuhan pangannya. Tapi bagi rakyat kebanyakan, yang miskin dan berpendapatan kecil, pangan adalah soal hidup dan mati. Kalau tidak ada pangan dan lapar bagaimana bekerja, menjaga spiritualitas, bersolidaritas dan bermasyarakat sebagaimana terdapat dalam hampir semua pedesaan di Indonesia. Maka jika soal pangan yang menjadi hajat hidup tidak bisa dijangkau, tidak hanya perut yang lapar, tapi juga melemahnya bangunan sosial-kebudayaan yang merupakan tiang penyangga kebangsaan.
Mengurai Krisis
Menghadapi krisis pangan yang makin nyata bermetamorfosis menjadi krisis multidimensi. Secara teknis, negara, dalam hal ini Presiden Yudhoyono dan jajarannya, juga segenap politisi di parlemen harus mendukung percepatan cetak sawah baru, meningkatkan daya saing produksi pertanian, penguatan organisasi tani, intensif dan perlindungan dari dampak iklim, perbaikan irigasi dan infrastruktur dasar lainnya. Serta perlindungan akses pasar, dan terutama mendistribusian lahan bagi petani penggarap dari tanah-tanah terlantar.
Secara kultural, negara harus merubah cara pandangnya dari pembangunan berorientasi liberal, menjadi pembangunan pedesaan dan sektor pertanian sebagai acuan tanpa mengabaikan industrialisasi. Intinya sebagai negara agraris, sektor pertanian harus di utamakan. Percayalah petani kita pekerja keras dan cerdas, misalnya cara pertanian alami dan pencarian nuftah dan pemulian benih, sejak dahulu kala petani kita pandai dalam menentukan benih yang tidak hanya meningkatkan produktifitas tapi juga ramah secara ekologi. Ketimbang mempercayakan kepada agro-korporasi industri benih transgenik yang keuntungannya lebih besar mengalir ke pemilik modal.
Akhirnya “Pembangunan yang baik cukup pangan dan gizi baik.” Kalimat yang dulu terdengar sederhana dan kini menjadi krusial itu di ungkapkan pakar pertanian dan sosiologi pedesaan Alm. Prof. Sajogyo. Sebagai “guru” pertanian dan sosiologi pedesaan, beliau selalu berpesan agar “mencari sumber pemahaman pembangunan bangsa dari kelas paling miskin di antara yang miskin.” Pembangunan bangsa yang meninggalkan visi kerakyatan dan mengabaikan hajat hidup penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Hanya akan menjadi pembangunan semu, yang hanya mementingkan nilai dari “angka“ pertumbuhan. Pertumbuhan seperti ini jika krisis ekonomi financial global menerpa, akan segera menguap.[]
Tabloid Prioritas – See more at: http://www.prioritasnews.com/2013/01/02/masa-depan-kedaulatan-pangan/#sthash.reW8CjMw.dpuf