Bina Desa

Kronik Berunding dan simpang Reforma Agraria Awal

Pasca proklamasi 1945, Hatta menggagas tanah bekas perkebunan Belanda harus diambil alih oleh rakyat. Ironisnya, ia pun yang menjadi ketua delegasi perjanjian KMB yang membuat rakyat harus mengembalikan tanahnya kepada Belanda. Reforma agrarian terutama memang soal politk?

Pasca Indonesia merdeka, Pemerintah Indonesia punya semangat kuat melakukan reforma agraria sejati. Bersamaan dengan itu, Indonesia terjebak pada posisi sulit, perang atau berunding melawan Belanda dan sekutu. Di tengah tekanan kelompok pejuang yang ingin Indonesia berperang untuk mencapai kemerdekaan  100 persen, Pemerintah Indonesia memilih tindakan kontroversial: berunding dengan penjajah. Konstelasi politik inilah yang juga berpengaruh terhadap politik agraria Indonesia.

Sebab, setiap kali terjadi perundingan, terjadi pula pengurangan wilayah RI. Persetujuan Linggarjati melahirkan pengakuan de facto eksistensi RI hanya meliputi Jawa dan Sumatra. Ketika Belanda melanggar Linggarjati dan perang lagi, kemudian berunding lagi, lahir persetujuan Renville. Wilayah R.I mengkerut lagi. Renville dilanggar, perang lagi, hampir seluruh Indonesia diduduki tentara Belanda. Terjadi perang gerilya. Lahir perundingan “Roem van Royen” di bawah pengawasan PBB, yang kemudian mengantar kepada berlangsungnya Konferensi Meja Bundar (KMB).

Menurut Gunawan Wiradi, perundingan tersebut memang, dipandang dari satu sisi, misalnya perjanjian Linggarjati itu secara strategis menguntungkan Indonesia. “Karena, walaupun hanya berupa pengakuan de facto atas Jawa dan Sumatra, namun “pengakuan” itu sendiri kemudian menarik perhatian dunia, dan memberi peluang kepada Indonesia untuk bermanuver dalam pentas internasional,” ujarnya dalam makalah Politik Agraria dari Masa ke Masa.

Namun jika dilihat dari sisi lain, lanjut dia, perundingan-perundingan tersebut dari Linggarjati, Renville sampai Roem-Royen, ternyata semua itu  prinsip isinya sama, yakni menuju kepada isi KMB yang sangat merugikan Indonesia sebagai negara merdeka. “Belanda menggunakan istilah “penyerahan” kedaulatan. Bukan “pengakuan” keda

KMB

ulatan. Kedaulatan tidak diserahkan kepada Republik Proklamasi tetapi kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). RI Proklamasi hanya sebagai negara bagian,” terangnya.

Dalam perjanjian KMB itu semuanya merugikan Indonesia seperti mewajibkan Indonesia harus mengganti biaya perang Belanda dalam menyerang Indonesia. Itu menjadi hutang Indonesia. Dan, yang paling pokok dalam kaitannya soal program reforma agraria adalah rakyat harus kembali menyingkir dari tanah yang didudukinya sejak proklamasi. Perkebunan-perkebunan besar yang diduduki rakyat harus dikembalikan kepada pemegang haknya semula, yaitu kaum modal swasta Belanda.

Menurut Wiradi, hal tersebut di atas jelas mempengaruhi dan mempersulit kebijakan pertanian dan agraria yang telah digariskan sebelumnya. “Yang ironis adalah bahwa Ketua delegasi Indonesia dalam KMB itu adalah Bung Hatta, yang notabene jauh hari sudah mencanangkan bahwa perkebunan-perkebunan besar itu dahulunya tanah milik masyarakat (dan karenanya perlu dikembalikan kepada masyarakat),” jelas Wiradi. Reforma agrarian terutama memang soal politik?  (SC)

 

Scroll to Top