Kematian tujuh warga Sei Sodong, Ogan Komering Ilir (OKI), akibat konflik agraria menambah daftar panjang korban konflik agraria di tanah air. Padahal, baru sepekan lalu 13 petani Kebumen tertembak saat berhadap-hadapan dengan aparat TNI yang juga dikarenakan konflik agraria.
Biasanya, setelah jatuh korban, aspek pidana dari konflik ini segera ditindaklanjuti. Namun, akar masalah utama berupa konflik agraria akan tertinggal di belakang tanpa penanganan berarti. Sehingga, setiap saat potensi letupan konflik masih terus ada.
Di Negara kita, selain peradilan umum tidak ada institusi khusus yang dapat menyelesaikan konflik agraria. Padahal, konflik agraria yang tengah terjadi sekarang sebagian besar adalah peninggalan masa Orde Baru yang represif yang ditopang oleh sistem administrasi pertanahan yang buruk dan penuh korupsi.
Itulah sebabnya, dalam kasus-kasus pertanahan yang ada, pengadilan seolah hanya diminati oleh para pengusaha dan aparat pemerintah. Sementara masyarakat lebih memilih melaporkannya ke lembaga seperti Presiden, DPR dan Komnas HAM. Mengapa? Menurut pengalaman, dokumen-dokumen agraria yang dimiliki masyarakat sebelum tanahnya diakuisisi oleh perusahaan kerap tidak berguna dalam pembuktian di peradilan. Padahal, pemalsuan dokumen dalam proses peralihan hak dan pemaksaaan oleh aparat keamanan lumrah terjadi dalam proses peralihan tanah masyarakat.
Untuk menjembatani hal ini, sebenarnya Komnas HAM bersama sejumlah LSM pada tahun 2003 pernah mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA). Sebuah badan ad hoc yang bertugas menyelesaikan sengketa agraria masalalu dan diharapkan mampu memberikan keadilan pada masa-masa transisi (transitional justice).
Bersamaan dengan dibentuk KNuPKA juga diusulkan kepada pemerintah untuk segera menjalankan reforma agraria nasional untuk menciptakan struktur agraria yang adil sesuai perintah UUPA 1960 dan Tap MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Namun, sudah kita ketahui bersama bahwa usulan pertama tersebut ditolak oleh pemerintah SBY pada tahun 2005. Pemerintah lebih memilih untuk membentuk kedeputian di BPN yang secara khusus untuk mengkaji dan menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan melalui Perpres No.10/2006 tentang BPN. Setelah lima tahun berjalan, nampaknya penyelesaian konflik agraria oleh BPN masih jalan di tempat. Salah satu sebabnya: masalah dalam bidang pertanahan disumbangkan oleh kinerja BPN selama ini, tentu sulit mengharap perubahan bisa didapat dari lembaga ini. Terlebih lagi, melalui perpres tersebut, lembaga ini diminta presiden menyelesaikan konflik agraria dengan kewenangan yang lemah, tanpa merubah cara pandang, minus partisipasi dan keterlibatan masyarakat.
Sementara, terkait usulan supaya pemerintah segera menjalankan reforma agraria, langkah pemerintah juga sangat lambat. Reforma Agraria belum beranjak dari ranah wacana sejak dijanjikan oleh presiden SBY pada awal tahun 2007 hingga sekarang.
Maraknya Korupsi
Minimnya realisasi dua agenda besar dibidang agraria di atas makin diperburuk dengan masih tingginya perilaku korupsi khusunya penyuapan di bidang-bidang agraria (pertanahan, pertanian dan kehutanan). Padahal, korupsi selama ini adalah salah satu penyumbang utama sebab-sebab konflik agraria yang terjadi di kemudian hari. Perilaku korupsi di lingkungan birokrasi telah menyebabkan begitu mudahnya terbit izin dan hak bagi perusahaan-perusahaan untuk mendapatkan konsesi tanah yang luas di tengah lautan petani gurem dewasa ini.
Masih maraknya korupsi di lembaga agraria setidaknya tercermin dari: (1) baru-baru ini KPK berniat melayangkan surat kepada presiden untuk menegur kepala BPN yang dinilai lamban dalam mengambil langkah-langkah nyata dalam pemberantasan korupsi di internal lembaga ini (detik.com); (2), Dalam laporan akhir tahun 2010 Ombudsman Republik Indonesia menyebutkan BPN berada pada peringkat ketiga sebagai lembaga yang paling banyak dikeluhkan masyarakat karena sistem pelayanannya; (3) Menurut laporan Satgas Anti Mafia Hukum, dari 4301 aduan yang masuk ke Satgas, kasus pertanahan juga menduduki posisi yang paling tinggi yakni 22 persen.
Bisa jadi laporan masyarakat kepada Satgas Anti Mafia Hukum masih didominasi laporan kasus-kasus lama dari masyarakat sejak yang selama ini mandeg dan dokumennya telah berserak di BPN, Parlemen Komnas HAM, Polisi dan Pengadilan tetapi belum ada langkah penyelesaiannya yang adil. Mengingat hal yang demikian, patutlah presiden membuka dan mempertimbangkan kembali usulan pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) yang menjadi jalan bagi penyelesaian sengketa masa lalu. Jika langkah tersebut tidak dilakukan sulit membayangkan ada langkah penyelesaian terhadap konflik agraria dengan mengedepankan niali-nilai keadilan social dan keberpihakan kepada korban.
Langkah jangka pendek lain yang seharusnya segera di lakukan adalah pelibatan Komisi Informasi Publik, Masyarakat Sipil dan Komisi Pemberantasan Kosrupsi (KPK) dalam menyelesaikan konflik agraria yang terus menumpuk tanpa penyelesaian. Sebab, selama ini dokumen-dokumen yang seharusnya bias diakses publik seperti proses keluarnya HGU, HGB, HTI, HPH dari BPN dan Kementerian Kehutanan masih sangat tertutup. Langkah semacam ini tentu dapat memperkuat peran penyelesaian sengketa dan konflik agraria yang diakibatkan oleh maraknya korupsi di lembaga yang terkait dengan agraria.
Terakhir, kewajiban pemerintah untuk segera melaksanakan pembaruan agrarian dengan program utama land reform dan akses reform berupa kredit murah, infrastruktur pertanian, pendampingan dan pasar yang menguntungkan mutlak diperlukan untuk menghentikan ketimpangan struktur agrarian nasional yang sangat memperihatinkan.
Iwan Nurdin
Sekertaris Jenderal KPA