Konflik Agraria sepanjang 2011 tak kunjung reda, di beberapa dairah konflik laten yang seringkali melibatkan aparat keamaan memakan korban yang tidak sedikit. Di Kebumen dan Ogan hilir adalah yang terbaru. Kriminalisasi terhadap kelompok petani terus berlangsung.
Di Sumatera Utara, Sebuah bentrokan maut antara warga dengan petugas keamanan atau satpam PT Sumber Wangi Alam (SWA) di Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan, menyebabkan tujuh orang tewas.
Berdasarkan informasi yang diperoleh wartawan, peristiwa tersebut terjadi Kamis (21/04/2011). Tujuh orang tewas terdiri tiga orang warga dan empat orang satpam perusahaan. Korban yang tewas itu Syafei (18) dan Matchan bin Sulaiman (21). Sedangkan satu warga lainnya belum diketahui identitasnya. Sedangkan pihak satpam perusahaan pun hingga kini belum diketahui identitas korban yang tewas.
Bentrokan ini kemungkinan besar dipicu oleh konflik lahan antara warga dengan pihak perusahaan. Sebab di akhir tahun 2010 lalu, warga Desa Sungai Sodong Kecamatan Mesuji Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) melakukan panen di perkebunan sawit milik PT Sumber Wangi Alam (PT SWA). Bahkan, saat itu, panen yang dilakukan warga di kebun inti PT SWA seluas 298 hektar, diawasi satu pleton anggota Brimob.Pihak perusahaan pernah menangkap warga yang mencuri sawit, tapi warga kemudian menyandera karyawan perusahaan dan meminta teman-teman yang ditangkap dibebaskan.
Peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan TNI juga terjadi pada tanggal 2 Maret 2011 terhadap warga petani Peura yang mayoritas perempuan, juga belum berhenti. Sebaliknya terus terjadi dan semakin gencar, dan semakin dalam melibatkan perseteruan dalam masyarakat sehingga berpotensi konflik sosial.
Sementara itu di Yogyakarta pada Minggu, 1 Mei 2011, Tukijo, pejuang petani pesisir Kulon Progo, juga diberitakan di culik oleh Polisi terkait sengketa pasir besi.
Di Urat Sewu Kebumen, konflik petani dengan TNI juga berlangsung, warga merasa terintimidasi dan trauma pasaca bentrokan. Warsono mengatakan, status penggunaan lahan Pelatihan TNI-AD di Setrojenar itu pinjam pakai sejak tahun 1980-an, masyarakat disana secara turun temurun telah mengupayakan pertanian dan Agrowisata rakyat yang dikelola oleh pemuda Desa. Persoalan meruncing ketika Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menerbitkan Perda Tata Ruang tahun 2010 lalu dengan menetapkan Lahan Pesisir Urut Sewu sepanjang 22,5 Kilometer, meliputi 3 Kecamatan (Kec. Mirit, Ambal dan buluspesantren), 15 Desa, sebagai Kawasan Pertahanan dan Keamanan. Hal ini diperuncing lagi kemudian dengan munculnya izin lokasi tambang pasir besi di Kec. Mirit, yang notabene masuk kedalam wilayah kawasan HANKAM.
Sementara itu, Deputi V BPN RI Bidang Pengkajian dan Penyelesaian Konflik dan Sengketa Pertanahan Aryanto Sutadi menyatakan, bahwa menurut laporan yang diterimanya dari kator perwakilan BPN Kebumen, TNI tidak mempunyai alas Hak dilahan yang disengketakan dengan warga tersebut, dan memang dilahan tersebut tidak ditemukan alas hak atas tanah tersebut. Sehingga lahan tersebut secara teori masuk kategori tanah Negara.
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mensinyalir ada dugaan bisnis militer yang melibatkan salah seorang purnaiwaran TNI di balik sengketa lahan antara TNI dan Warga di Urut Sewu, Desa Sentrojenar, Kebumen, Jawa Tengah. Menurut Krisbiantoro, advokasi Hukum dan HAM Kontras, ada dugaan kuat salah satu alasan TNI tetap ngotot latihan di tempat itu karena bisnis militer dengan PT Mitra Niaga Cemerlang di lahan sengketa yang mengandung pasir besi tersebut.
“Ada dugaan kuat komisarisnya (PT Mitra Niaga Cemerlang) salah satu petinggi dari TNI. Jadi kita menduga kuat adanya bisnis militer di situ,” ujarnya di kantor Kontras, Jakarta, Rabu (20/4).
Dari rentetan peristiwa konflik agrarian yang terjadi, setidaknya menunjukan betapa lemahnya komitmen para pengambil kebijakan terhadap komitmen agenda reforma agrarian seperti pernah di Janjikan pemerintah melalui agenda program PPAN. Progam Pembaruan Agraria Nasional (redistribusi lahan untuk penduduk miskin dan kedaulatan pangan) yang dicetuskan pemerintah pada medio 2006, terbukti tidak bisa berjalan karena menabrak kebijakan sektoral sebelumnya (perkebunan, kehutanan, infrastruktur, sumberdaya air dan lain-lain).
“Ketika Progam Pembaruan Agraria Nasional dijalankan yang diawali dengan pendataan obyek Landreform (lahan yang akan diredistribusikan) dan subyek landreform (penduduk yang akan dapat tanah), seharusnya presiden memerintahan polisi, tentara, dan instansi-instansi pemerintah pengelola perkebunan, kehutanan, pertambangan dan sumber-sumber agraria lainya untuk menghentikan konflik agraria: menghentikan penangkapan dan penggusuran serta mencegah kekerasan.”
Kriminalisasi terhadap perjuangan rakyat, tidak semata-mata akibat adanya “celah hukum” yang dimainkan aparat penegak hukum, melainkan juga akibat keterlibatan aparat (kepolisian, polisi hutan, TNI, jaksa dan hakim) dalam konflik agraria, sehingga lebih mencerminkan praktik kolusi dan korupsi. Alhasil, petani bukan saja dibayang-bayangi ancaman kriminalisasi, namun juga tindak kekerasan aparatur negara dan pam swakarsa (milisi).
Hanya saja, tidak sedikit kasus yang tidak cukup diketahui oleh publik. Sehingga, banyak korban yang kemudian mengalami perasaan ketakutan/ trauma, dan ujung-ujungnya akan berdampak pada hancur gerakan petani secara sistematis.
Konflik agraria yang terus terjadi makin mempertegas betapa timpangnya struktur penguasaan agraria yang selama ini diwacanakan para penggerak dan aktivis reforma agraria. lebih dari itu, fakta gencarnya konflik ayang ada di wilayah agrarian juga menunjukan lemahnya institusi yang ada untuk mengurusi sengketa yang ada. BPN, Perhutani khususnya, tak bisa berbuat banyak, bahkan dinilai banyak kalangan justeru ikut bertanggung jawab terhadap konflik yang ada terkait pengurusan izin penggunaan lahan yang sebagain di berikan kepada korporasi bisnis. Reforma agrarian yang sejati haruskan ditunda lagi?
Butuh Komisi Ad Hoc Penyelesaian Konflik Agraria
Sementara itu menyikapi hasil audiensi Komnas HAM dengan Presiden, di mana Presiden punya komitmen yang cukup jelas untuk menyelesaikan berbagai konflik agraria, memunculkan wacana tentang mekanisme seperti apa yang tepat untuk mencari jalan menyelesaikan konflik-konflik ini secara integratif. “Menyikapi hal itu, IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice) memandang diperlukan Komisi Ad Hoc untuk penyelesaian konflik agraria,” kata Sekjend IHCS Gunawan di Yogyakarta, Selasa (17/5). Berdasarkan investigasi, pemantauan dan penanganan kasus oleh IHCS, konflik agraria membentang di berbagai sektor: pertambangan, kehutanan, perkebunan besar, fasilitas umum, industri, kelautan, pertanian, pesisir, transmigrasi, sumber daya air, dan urban agrarian conflict.
Sesungguhnya konflik agraria bersifat struktural dan bukanlah kasus baru, melainkan kasus lama warisan kolonialisme Belanda dan tentara pendudukan Jepang serta militerisme Orde Baru. “Dampak dari konflik agraria ini tidak saja kekerasan struktural dan kemiskinan strukural, tetapi juga ketidakpastian status hukum, yang berarti juga terhalanginya kepastian hukum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Gunawan. Gunawan memandang perlunya mekanisme baru guna menyelesaikan konflik pertanahan warisan masa lalu dan pemenuhan hak-hak petani korban (rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi). “Untuk itulah diperlukan sebuah komisi ad hoc untuk penyelesaian konflik agraria dan pelaksana reforma agraria,” tegasnya**