Oleh : Ki Subekti*
Konsep pendampingan di Indonesia erat dengan keberadaan Sekretariat Bina Desa, yang selanjutnya akan disingkat SBD. Pada periode tahun 1980 – 1990 Bina Desa udah memulai melakukan pergelokan pemikiran tentang pendampingan. Dipunggawai oleh empat sekawan yang secara langsung berhubungan dengan jaringan teman-teman aktifis gerakan rakyat, ialah Romo Dikjstra (alm/aktifis Katolik), Kartjono (alm/aktifis Nasional), Abas Mu’in (aktifis NU) dan Yuni Suwarto (alm/aktifis HMI).
Pada periode 1980 – 1990, SBD mempunyai program pendidikan musyawarah atau lebih dikenal dengan DIKMUS. Kartjono adalah tokoh paling utama dalam menjaga nilai-nilai dikmus. Disisi lain, Yani Suwarto yang berangkat dari Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP) Surakarta pun sedang mengembangkan model pendidikan alternatif. Kedua pendidikan tersebut mempunyai dasar filosofi yang sama, yaitu budaya musyawarah masyarakat pedesaan.
Dalam catatan perjalanannya, Yani Suwarto yang memutuskan hijrah ke SBD menambah kuat proses dikmus. Hal tersebut bermuara dari adanya kerja sama Bina Desa dengan KUPLAN Bogor untuk mengadakan Pendidikan Kaum Marjinal.
Terdapat 2 pendidikan yang dijalankan, yaitu gelombang pertama diperuntukkan bagi staf Bina Desa dan gelombang kedua diperuntukkan bagi aktifis jaringan Bina Desa di daerah (Pulau Jawa, Pulau Sumatera, dan Pulau Sulawesi). Adapun syarat menjadi peserta adalah tinggal dan hidup bersama dengan kaum marjinal baik di kota, dengan buruh, petani, nelayan, dan perempuan. Pada gelombang kedua terdapat 21 orang yang mengikuti pendidikan, namun hingga akhir tersisa hanya 18 orang. Penulis dan Bening Sugianto merupakan perwakilan dari Bengkulu.
Seingat penulis, pendidikan yang dilaksanakan selama satu bulan penuh diantaranya dengan pemberian materi perwujudan manusia ciptaan Tuhan, pengpangkalan manusia, nilai-nilai kesetaraan, prinsip-prinsip dialog, langkah-langkah pendampingan dan refleksi aksi.
Pendidikan kaum marginal difasilitasi oleh fasilitator senior ialah Peter Hugo, kader Paolo Frerie pakar pendidikan pembebas Brazil (konsultan pendidikan PBB untuk negara sedang berkembang) dan sebagai co-fasilitator ialah Uce (mantan pendamping Suku Asmat Papua) dan Marya, aktifis perempuan.
Penulis bersama alumni gelombang dua kembali ke daerah masing-masing untuk hidup dan tinggal bersama rakyat. Penulis kembali ke pemukiman transmigrasi swakarsa benting dan Desa Pondok Kubang Kecamatan Pondo Kelapa, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Penulis tinggal dan hidup bersama warga Desa Bengkulu selama 13 Tahun (1983 – 1996).
Selama 13 tahun menetap di Bengkulu, penulis telah bertugas menjadi Kepala Unit Pemukiman Transmigrasi (KUPT) hingga Kepala Desa. Terdapat temuan yang menarik saat penulis menjadi kepala desa ialah sekelompok warga transmigrasi akan membangun gereja katolik secara swadaya. Saat berkoordinasi dengan pimpinan proyek transmigrasi responnya tidak apa-apa mendirikan gereja, tetapi proyek tidak menyediakan lahan untuk geraja. “Bila warga mau mendirikan di lahan sendiri, ya tidak apa-apa,” pungkasnya di tahun itu.
Muhadi sebagai ketua kelompok meminta izin kepada penulis sebagai kepala desa. Saat itu situasinya bertemu di jalan dan selalu sedia membawa stempel KUPT serta pensil. Maka, penulis menyetujui pendirian gereja katolik di pemukiman transmigrasi swakarsa yang merupakan proyek uji coba lengkap satu unit pertama di Indonesia. Hingga tahun 2007 terjadi gempa di Bengkulu, penulis sempat dipertemukan kembali dengan panitia pendiri gereja. Ada kalimatnya yang penulis ingat hingga sekarang “Tulisan pensil bapak jadi riwayat hidup kami,” di sela obrolan tempo dulu.
Selama melakukan pendampingan inilah kerja-kerja alumni KUPLAN, hidup dan tinggal bersama rakyat marjinal yang menjalankan prinsip-prinsip kesetaraan (dwi subyek). Bina Desa pun memfasilitasi refleksi 3 bulan sekali selama 3 tahun. Seiring berjalannya waktu, pendamping ataupun alumni KUPLAN bersama Bina Desa mengembangkan program pendampingan di seluruh Indonesia. Dapat dikatakan bahwa aktifis gerakan reformasi tahun 1998, sebagian besar pernah menerima pendidikan kaum marjinal. Dengan adanya proses pendampingan yang terus berjalan secara massif, maka akan terjadi gerakan rakyat pada aspek sosial, politik, ekonomi dan aspek budaya yang secara alami melahirkan kedaulatan rakyat.
Penulis merasa penting untuk menuliskan apa yang masih diingat atas perjalanan hidup yang separuhnya dilakoni menjadi seorang pendamping. Dalam pikiran tersebut pun menjadi refleksi bahwa Bina Desa mempunyai hutang sejarah dengan gerakan kaum marjinal di Indonesia. Sekarang yang sedang berlangsung adalah “Sesat Bersama” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akhir kata, penulis memohon pembaca memberikan saran agar kerangka pikir dan tulisan ini menjadi luas serta sistematis. Salam!
*Penulis yang akrab dipanggil Ki Bekti, sekarang ini hidup bersama warga di Cianjur. Lahir pada tahun 1954 dan ± 36tahun telah melakoni hidup menjadi seorang pendamping.