Penjabaran undang-undang agraria 1960:5. Dari judulnya saja, yakni “Peraturan dasar pokok-pokok agraria” jelas bahwa undang-undang ini baru memuat prinsip-prinsip dasar keagrariaan. Oleh sebab itu berbagai ketentuan di dalamnya masih perlu dijabarkan lebih lanjut dalam undang-undang yang lebih khusus lagi. Salah satu penjabaran itu adalah undang-undang 1960:56 perihal penetapan luas maksimum tanah pertanian (yang salah-kaprah disebut undang-undang land reform). Pada masa itu pertanian rakyat diprioritaskan sehingga dibutuhkan landasan hukum bagi tindakan pemerintah untuk mengambil kelebihan tanah agar bisa dibagikan kembali (redistribusi) kepada para petani penggarap dan petani tak bertanah. Sayang sekali sebelum prinsip-prinsip dasar lainnya dalam undang-undang agraria 1960:5 tersebut sempat dijabarkan dalam berbagai undang-undang khusus pemerintahan Soekarno digulingkan pada tahun 1966. Akibatnya, gerakan reforma agraria hilang dari percaturan politik, bahkan lebih menyedihkan lagi tabu untuk dibicarakan karena dicoba dikait-kaitkan dengan komunisme.
Disfungsi instansi agraria. Pemerintah sudah mulai melaksanakan program land reform sejak 24 September 1961 dengan membentuk panitia-panitia agraria yang bertugas melakukan pendaftaran pemilikan tanah-tanah yang luasnya melebihi batas maksimun yang dibolehkan undang-undang serta tanah-tanah guntai (absentee, pemiliknya tidak hadir). Tercatat sekitar dua puluh tujuh ribu orang pemilik sawah yang luas tanahnya melampaui batas maksimum dengan total luas tanah-lebih mencapai satu juta hektar yang siap dibagikan kembali (redistribusi) kepada para petani tak bertanah di sekitarnya. Proses selanjutnya tidak pernah jelas, begitupun data akurat mengenai ini. Tugas pendataan jumlah tanah-lebih di seluruh Indonesia terbengkalai dan data yang tersedia sukar dipercaya sejak pemerintahan beralih kepada rezime Orde Baru yang telah menjungkirbalikkan fungsi instansi agraria.
Objek reform. Dalam arti sebenarnya yang menjadi objek reform itu meliputi: tanah-lebih, tanah guntai, bekas tanah partikelir dan bekas tanah swapraja yang beralih kepada negara, tanah yang ditumbuhi hutan, tanah yang dipakai untuk perkebunan besar dan lain-lainnya. Tekanannya bukan terletak pada distribusinya melainkan menata ulang peruntukannya (redistribusi), diserasikan sedemikian rupa agar kaum petani miskin dan tak bertanah memperoleh hak mereka secara merata dan berkeadilan. Selama ini masyarakat umum telah keliru memahami seakan-akan land reform identik dengan distribusi tanah, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul adalah: tanah siapa dan tanah apa yang akan dibagi-bagi? (bersambung ..6)
*Disunting berdasar buku “Transformasi Agraria dan Transisi Agraris” karya Gunawan Wiradi (Bina Desa, 2011)
Editor: SC