Bina Desa

Kebijakan Agraria era 1950

Sempat terjadi nasionalisasi aset Belanda. Militer yang membuat proses  nasionalisasi aset asing ini tak dirasakan rakyat banyak

17 Agustus 1950 Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Republik Indonesia Serikat hasil perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 hanya dijalankan kurang lebih delapan bulan. Sistem pemerintahan pun berubah, berlandaskan UUD Sementara (UUDS-1950). Presiden hanya sebagai Kepala Negara, secara simbolis.Yang berkuasa adalah Kabinet di bawah pimpinan Perdana Menteri.

Sekalipun perang frontal rakyat Indonesia melawan Belanda sudah berakhir, namun gejolak bersenjata secara sporadis masih terjadi di mana-mana. Ada pemberontakan APRA, ada DI/TII, RMS, pemberontakan Andi Abdul Azis, dll. Dalam kondisi politik yang demikian itu, terutama dalam masa-masa awal periode ini, segala sesuatu menjadi sulit, dilematis, dan ambigu, khususnya dalam hal kebijakan pertanian dan agraria. “Di satu sisi, kita tetap ingin kembali kepada kebijakan yang telah digariskan sejak 1946 (distribusi tanah yang merata), namun di sisi lain, sekalipun telah kembali menjadi negara kesatuan, Indonesia tetap terikat untuk melaksanakan isi perjanjian KMB (kecuali soal bentuk negara),” ujar Gunawan Wiradi.

Meski begitu, Indonesia masih punya keterikatan dengan KMB. Pemerintah era itu sangat berhati-hati dalam mengambil berbagai kebijakan.  Barulah kabinet Wilopo era Demokrasi Liberal masalah agraria dan pertanian dirumuskan secara eksplisit. Pertama, memajukan tingkat penghidupan rakyat dengan mempertinggi produksi nasional. Kedua, melanjutkan usaha perubahan agraria.

Alhasil, Panitia Agraria Jakarta pun dibuat untuk mengganti Panitia Agraria Yogya yang bubar sewaktu Indonesia menjadi RIS. Tetapi, panitia agraria terus berganti-ganti seiring Demokrasi Parlementer-Liberal umur kabinet tak menentu, jatuh bangun. Walaupun yang berganti hanya yang berposisi sebagai ketua, sedangkan anggotanya hampir sama.

Di saat yang sama gejolak di berbagai daerah terus berlangsung, terutama di daerah perkebunan. Salah satu peristiwa konflik agraria yang tercatat sebagai peristiwa nasional adalah “peristiwa Tanjungmorawa”, yang akhirnya membuat Kabinet Wilopo pun jatuh. “Penafsiran terhadap isi perjanjian itu simpang siur sehingga, misalnya, ada gubernur yang mengambil kebijakan menyimpang dari kebijakan Menteri Dalam Negeri,” tulis Wiradi sembari mengutip Muhamad Tauchid, pakar agraria Indonesia dari Barisan Tani Indonesia.

Sementara itu, Konstituante hasil Pemilu 1955 yang diharapkan dapat dengan cepat merumuskan Undang-Undang Dasar yang baru soal agraria, ternyata “macet”. Dalam periode ini pula meledak pemberontakan PRRI/Permesta yang menguras tenaga, dana, dan pikiran.

Di sisi lain, selama 7 tahun itu (1950-1957), Pemerintah Indonesia gerah dengan Belanda yang tak kunjung menyerahkan Irian Barat ke pangkuan Indonesia sesuai perjanjian KMB. PBB pun tak mampu membujuk Belanda. Rakyat Indonesia marah dan kehilangan kesabaran. Padahal, Indonesia patuh membayar “hutang” hasil kesepatan KMB.

Menurut Wiradi, inilah yang membuat Indonesia pada November 1957 “membatalkan perjanjian KMB” secara sepihak dan kemudian menasionalisasi perkebunan-perkebunan asing. “Kok kita mampu ?!  Para ekonom jaman sekarang perlu ingat akan hal ini!  Ternyata kita tidak mati, tanpa mengundang modal asing. Ternyata tanpa hutang baru, kita juga tidak mati, bahkan mampu membayar hutang yang bukan hutang kita,” kata Wiradi mengingatkan.

Walaupun UU Agraria yang bersifat nasional sampai saat itu belum berhasil dirumuskan secara final, namun pada tahun 1958 itu pemerintah telah mengambil tindakan tegas untuk menghapuskan tanah-tanah partikelir, melalui UU No.1/1958. Namun sayangnya, entah karena pertimbangan apa, hampir semua perusahaan asing yang diambil alih itu, pimpinannya langsung dipegang militer. Inilah awal dari masuknya peranan ABRI ke dalam bidang ekonomi yang kemudian menjadi salah satu alasan Landreform tersendat. (*)

Scroll to Top