Bina Desa

Indonesia Dibombardir Sekutu, Reforma Agraria di Awal Kemerdekaan Jalan Terus

Politik Pertanian/Agraria di Indonesia, berprinsip, “Pemilikan tanah yang sangat luas oleh seseorang di mana terdapat jumlah penggarap yang besar, adalah bertentangan dengan dasar perekonomian yang adil. Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-seorang untuk menindas dan memeras hidup orang banyak.

“Soal agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia”

Ungkapan Muhammad Tauchid itu memastikan bahwa urusan agraria itu tak bisa ditawar-tawar. Ia adalah soal hidup matinya bangsa, terkait dengan inti penghidupan manusia. Makanya, sudah sedari  awal kemerdekaan, persoalan ini menjadi prioritas para pendiri Republik Indonesia, betapapun gentingnya situasi pada saat itu. Sebagai soal yang genting, lika-liku dan koroniknya di awal kemerdekaan juga menjadi hal yang bisa dibilang krusial.

17 Agustus 1945. Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Alih-alih bebas dari penjajahan Jepang, Indonesia dibombardir oleh tentara sekutu. Kemudian, ini disebut periode “revolusi fisik”, yakni masa-masa perang dan damai silih berganti. Sekalipun demikian, isu soal pertanian dan agraria langsung digagas oleh pendiri bangsa waktu itu.

Dialah Wakil Presiden Muhammad Hatta, seperti yang ditulis Gunawan Wiradi, dalam Politik Pertanian/Agraria di Indonesia, berprinsip, “Pemilikan tanah yang sangat luas oleh seseorang di mana terdapat jumlah penggarap yang besar, adalah bertentangan dengan dasar perekonomian yang adil. Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan orang-seorang untuk menindas dan memeras hidup orang banyak.”

Ucapan tersebut memang bukan isapan jempol belaka. Hal itu dituangkan dalam kebijakan politik yang tegas. Belum ada satu tahun umur RI, pemerintah sudah melaksanakan “land reform” skala kecil dalam wilayah terbatas. Melalui Undang-Undang no.13/1946, pemerintah menghapuskan hak-hak instimewa yang dimiliki para elit desa di desa-desa “perdikan” di daerah Banyumas. Tanah-tanah mereka yang luas-luas tersebut dipotong separo, meski lewat kompensasi pemerintah, untuk didistribusikan kepada petani yang tak punya tanah.

Tak sampai di sana. Upaya pemerintah untuk menciptakan pemerataan distrubusi tanah terus-menerus dilakukan. Buktinya, pada awal tahun 1948, melalui UU Darurat no.13/1948, pemerintah juga menghapuskan “hak-hak konversi” dari perusahaan-perusahaan tebu yang berada di daerah dua kesultanan Yogya dan Solo, dan tanahnya didistribusikan kepada petani tunakisma alias petani tak bertanah itu.

Menurut Wiradi, hal tersebut bagian dari upaya di tengah persiapan membentuk UU agraria yang bersemangat kemerdekaan mengganti UU agraria bernafas kolonial dan feodal. “..pada tahun 1948 itu juga mulai membentuk panitia negara untuk mengembangkan pemikiran dan mempersiapkan perumusan Undang-Undang baru di bidang agraria, guna menggantikan UU Agraria Kolonial 1870 – Panitia ini dikenal sebagai Panitia Agraria Yogya,” tulisnya dalam makalahPolitik Agraria di Indonesia dari Masa ke Masa.

Namun menurut Wiradi, kondisi tersebut berbalik saat Agustus 1949 diadakan gencatan senjata antara Indonesia-Belanda dan disusul konferensi Meja Bundar. Hasilnya konferensi itu menjadi rancu sampai saat ini. “Padahal, setelah Indonesia merdeka, pemerintah R.I mentolerir pendudukan rakyat terhadap tanah perkebunan Belanda yang telah ditinggalkan, paling tidak untuk sementara, menunggu sampai nantinya dilaksanakan reforma agraria    ,” ungkapnya mengutip keterangan Muhamad Tauchid. Bagaimana kelanjutan Reforma Agraria zaman kini? (*)

reforma-agraria

Scroll to Top