Analisis J Kristiadi di harian ini empat hari lalu menempatkan pemilahan dua paradigma sebagai pangkal kisruh desa dalam dua tahun terakhir: desa membangun dan (pemerintah) membangun desa.
Kesimpulan Kris berguna untuk memusatkan penyelesaian persoalan pada pemupukan pertemanan paradigma. Tujuannya, memantik implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa melalui soliditas antarpemimpin, antarkelembagaan, dan pola perilaku solidaritas di lapangan.
Thomas S Kuhn mengonsepkan paradigma sebagai cara pandang spesifik untuk memetik pemahaman lingkungan, bersikap, dan berperilaku secara khas. Kacamata berbeda memaknai pemberian uang dari desa kepada pendamping sebagai kesopanan berterima kasih, kacamata lain menuduhnya penyuapan.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (DPDTT) menghuni kamar paradigma desa membangun. Tak ada pintu penghubung ke kamar membangun desa oleh Kementerian Dalam Negeri.
Sayang, konsep Kuhn, yang amat dikenal di Indonesia, melalaikan basis kaidah diskontinuitas, yang lalu dikembangkan dalam analisis diskursus. Ia percaya paradigma yang satu putus-lepas dari paradigma lain. Namun, Michel Foucault menemukan tambahan interaksi paradigmatik lain: perang antarparadigma ataupun pertemanan antarparadigma.
Perang legalitas wewenang terekam dalam UU No 6/2014, peraturan perundangan turunannya, hingga peraturan presiden tentang otoritas tiap kementerian. Skornya sekitar 80 persen pasal kewenangan Kemendagri, 20 persen otoritas Kementerian DPDTT. Tak mengherankan beberapa pekan ini Menteri DPDTT mengalihkan medan perang lewat wacana revisi UU No 6/2014 agar kekuasaan terakumulasi hanya ke dalam kementeriannya.
Sebenarnya perang paradigma desa tak hanya menggaet kedua kementerian. Bappenas memasuki kancah saat mengumumkan Indeks Pembangunan Desa, yang berlainan dari Indeks Desa Membangun ciptaan Kementerian DPDTT. Pemda juga mengumpulkan berkas pendaftaran pendamping, bersaing dengan kompilasi berbasis laman Kementerian DPDTT.
Setelah pemisahan wewenang melalui peraturan perundangan gagal menyelesaikan kisruh pengelolaan desa, kini saatnya dibutuhkan pendekatan pertemanan paradigma. Juergen Habermas mengusulkannya melalui diskusi deliberatif yang dikembangkan di antara seluruh pelaku desa. Kepentingan setiap pihak yang berbeda-beda tetap diakui karena percuma berpura-pura tanpa hasrat kuasa. Namun, musyawarah deliberatif menundukkan ego ke bawah rasio bersama, yaitu tujuan memberi manfaat bagi ratusan juta warga desa.
Apalagi, kenyataannya ranah implementasi kebijakan tak pernah sesempit pasal peraturan perundangan. Sebagian kecil pegawai dua kementerian itu telah berupaya membangun irisan ruang publik di antara dua gelem- bung paradigma desa. Keterpaduan dibangun pada aspek kegi- atan dan subkegiatan lapangan, terjaga di kawasan transmigrasi dan daerah tertinggal.
Keterpaduan metodologis
Implementasi toleransi antarparadigma diusulkan Robert Ritzer melalui strategi menurunkan metaanalisis itu pada kadar metodologi. Tataran birokrasi, lembaga, dan perundangan nasional yang kaku dapat dipadu tataran interaksi tatap muka yang konkret, fleksibel, dan lokal.
Di tingkat nasional, Bappenas semula diserahi wewenang menciptakan ruang publik memadukan gerak kegiatan dan anggaran kedua kementerian. Sayang, legi- timasi mediasi pupus seiring terjunnya dalam persaingan pengukuran desa. Mengingat kedua kementerian pada menko berbeda, mestinya wahana deliberasi dapat muncul dalam bentuk rapat kabinet atau rapat terbatas. Di antara kementerian dan lembaga sendiri dapat dikembangkan kesatuan langkah. Preseden yang pernah diciptakan berupa surat keputusan bersama, panduan kegiatan bersama, dan pengelolaan proyek pembangunan bersama.
Unjuk jari aparat pemda di be- berapa rapat koordinasi sempat berisi usul agar akademisi turun gunung bersama-sama membangun ruang pertemanan paradigma desa. Dilakukanlah upaya harmonisasi peraturan perundangan, motivasi dalam diskusi di kementerian, juga praktik advokasi batas desa dan pengelolaan administrasi pemerintahan.
Titik kritis pertemanan paradigma terletak di persambungan aras nasional dan lokal. Manajemen wilayah sodaliti itu (isti- lahnya dipopulerkan Tjondronegoro) butuh kepiawaian memahami kausalitas peraturan dan wewenang pemerintah pusat, sambil mempraktikkannya sesuai dengan pola komunikasi dan sumber daya lokal.
Sejak Indonesia merdeka, wilayah sodaliti mewujud pada kecamatan sebagai bayangan daerah tingkat ketiga; sekarang pada desa. Selama Orde Baru, soladiti dipanggul kader kemente- rian yang diturunkan ke desa. Mereka berpraktik sebagai pialang budaya, membumikan kausalitas abstrak kebijakan jadi wahana prakarsa warga meningkatkan kesejahteraan umum.
Sayang, selama pelaksanaan proyek pemberdayaan masyarakat 1998-2014, kapasitas sodaliti dikubur oleh peran dominan konsultan pendamping. Untuk membangkitkannya, aparat kecamatan dan desa serta kader kementerian mendapat pelatihan yang berpusat pada kecerdikan kolaborasi personel, kelembagaan, dan administrasi.
Jika mulai akhir tahun ini aparat pemerintah, desa, dan warga di lapangan menguatkan pertemanan paradigma membangun desa dan desa membangun, perang diskursus di pemerintah pusat pupus legitimasinya.
———
Penulis adalah Ivanovich Agusta. Sosiolog Pedesaan IPB. Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 November 2015, di halaman 6 dengan judul “Dua Paradigma Desa”.