Oleh: Sabiq Carebesth*
Di tengah tren pertumbuhan ekonomi yang tetap optimistik pada kuartal akhir 2012, ekonomi Indonesia sesungguhnya sedang dilanda kegalauan mendasar antara pertumbuhan yang ajaib di satu sisi, dan kemelaratan “mendadak” yang makin rentan di sisi yang lain. Tak hanya itu, target pertumbuhan juga riskan meleset karena gejolak ekonomi global.
Badan Pusat Statistik menyatakan perekonomian Indonesia tahun lalu hanya tumbuh 6,23 persen atau meleset dari target yang ditetapkan pemerintah sebesar 6,3 persen. Kepala BPS Suryamin menyatakan perlambatan pertumbuhan tersebut disebabkan gejolak ekonomi global yang menyebabkan neraca perdagangan sepanjang tahun mengalami defisit. Jika krisis global berlanjut dan neraca perdagangan mengalami defisit pada 2013, Indonesia akan sulit untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 6,5 persen hingga 6,8 persen. (Tempo, 5/2)
Kegalauan ekonomi riil Indonesia makin mendekati dilema bila melihat fakta pertumbuhan ekonomi yang terkesan anonim dan hanya manis di angka, berhadapan dengan kemelaratan faktual yang ditunjukan dengan tingginya angka kelaparan dan kurang gizi yang sepadan timpang dengan angka meningkatnya jumlah kekayaan segelintir orang akibat pertumbuhan ekonomi yang tengah berlangsung.
Mari kita renungkan, ada berapa banyak restoran dengan makanan dan jajanan enak di Indonesia sekarang? Siapa yang punya? Yang pasti “angka” pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi sekarang ini bersumber dari konsumsi masyarakat yang kian tumbuh tinggi. Soalnya, berapa yang bisa membeli dan menkonsumsi pangan dengan layak dan bergizi, apa lagi enak dan cepat saji sekaligus mahal?
Restoran di mall-mall kian menjamur sementara daya beli masyarakat Indonesia juga menunjukan peningkatan yang signifikan. Tak heran bila penyumbang utama dari pertumbuhan ekonomi selain dari investasi asing, rupanya bersumber dari sektor pangan/konsumsi. Rasio ekonomi dari konsumsi masyarakat didasari faktor alamiah bahwa Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar ke-4 dunia, yaitu 240 juta jiwa. Dengan penduduk besar, berarti daya dukung konsumsi masyarakat terhadap pertumbuhan juga semakin besar. Terbukti, dalam tiga tahun terakhir, rata-rata distribusi konsumsi masyarakat terhadap pembentukan PDB mencapai 57 persen.
Soalnya sekarang, berapa orang yang bisa makan enak dan bergizi dari akibat laju pertumbuhan ekonomi? Faktanya pertumbuhan itu hanya manis di angka. Di pedesaan anak-anak kurang gizi, kelaparan masih rentan, daya beli yang tinggi hanya bagi mereka kelas menangah kota, tapi tidak demikian bagi petani di desa.
***
Sederhananya, pembangunan yang baik cukup pangan dan gizi baik, ujaran ringan dan sederhana yang kini baru terasa polemik dan bobotnya itu terucap dari Prof. Sajogyo semasa hidup beliau sebagai pencetus pentingnya gizi bagi rakyat. Kenyataan itu sekarang tak terbantah, soal pangan dan gizi baik masih menjadi persoalan yang rentan bahkan diambang krisis menghawatirkan. Dibanding negara-negara ASEAN, kualitas gizi Indonesia masih jauh dari cukup.
Maka tak mengherankan kemudian bila kesenjangan Indonesia kini adalah yang terburuk sepanjang sejarah negara ini dengan koefisiensi Gini (indikator pengukur kesenjangan) yang sudah mencapai batas aman yaitu 0,41. Sementara berdasarkan data Global Hunger Index (GHI) atau index kelaparan Global, selama 9 tahun terakhir menunjukan Indonesia paling buruk dalam mengatasi kelaparan. Dalam kurun 2003-2012 posisi Indonesia dalam indeks Kelaparan Global hanya turun 0,47 persen yaitu dari 12, 47 menjadi 12 persen. Kinerja yang bahkan jauh lebih buruk dibanding Laos dan Kamboja yang notabene dalam beberapa dekade lalu pertumbuhan ekonominya berada jauh di bawah Indonesia.
***
Melihat fakta tersebut, ancaman krisis pangan nyatanya masih mengintai Indonesia, yang kalau tidak di atasi dengan serius sesungguhnya akan berubah menjadi bencana bagi kedaulatan pangan dan akhirnya akan berdampak juga pada gejolak sosial politik, yang jelas saja, hal itu bukan sesuatu yang baik bagi iklim investasi yang selama ini di andalkan pemerintah untuk mendongkrak PDB.
Ancaman krisis pangan memang nyata, secara faktual, dengan laju pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun, pada 2015 penduduk Indonesia diperkiran mencapai 255 juta jiwa. Penduduk sebanyak itu memerlukan asupan makanan berupa beras dengan produksi setara padi 68, 47 juta ton gabah kering giling. Itu dengan asumsi konsumsi beras per kapita 135, 1 kg per kapita per tahun. Untuk memenuhi beras sebanyak itu, dibutuhkan lahan pertanaman padi 13,38 juta hektar. Namun pada 2015 hanya tersedia lahan 13,20 juta hektar. Lahan itu saja masih tergerus alih fungsi seluas 0,55 juta hektar sehingga terjadi defisit 0,73 juta hektar. Singkatnya, Indonesia akan mengalami defisit lahan pangan seluas 730.000 hektar pada tahun 2015.
Kenyataan tersebut mestinya menjadi catatan bagi orientasi pembangunan yang selama ini berkiblat pada industrialiasi berorientasi ekspor; dengan sepenuhnya mengabaikan ekonomi riil di sektor-sektor dimana orang miskin bertahan hidup seperti sektor pertanian pangan.
Kebijakan pembangunan liberal sebagaimana tampak dalam pembiayaan APBN 2013 dengan tingkat anggaran tinggi untuk infrastruktur dan di sisi yang lain efisiensi bahkan pengendalian subsidi yang ketat untuk masyarakat miskin, sesungguhnya tidak hanya menunjukan orientasi kebijakan pembangunan pemerintah yang bersifat lepas tangan, tetapi juga meninggalkan jutaan rakyat miskin dalam kubangan labirin dimana mereka dibiarkan bersaing sendiri dengan modal dari investasi korporasi kakap MNC/TNC.
Jika ancaman kurang gizi dan krisis pangan dibiarkan, ditempatkannya posisi Indonesia dalam peringkat ke 63 dari 178 dalam daftar Indeks Negara Gagal, atau sejajar dengan Somalia, bisa benar-benar bermakna pemerintahan hari ini gagal. “Kemelaratan” faktual dalam tingginya angka kelaparan dan kemiskinan yang dibiarkan berkutat dalam ketimpangan bisa menjadikan prestasi pertumbuhan ekonomi pemerintah hari ini berjalan di tempat hampa, dan pekerjaan utama untuk mensejahterakan rakyat dan menciptakan tata ekonomi yang ditujukan bagi sepenuhnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan konstitusi, sesungguhnya sedang menyimpang dalam rel pembangunan yang salah arah.[]
*Sabiq Carebesth, Pengamat Ekonomi Politik Pangan dan Redaktur Jurnal Sosial Agraria “AGRICOLA” Yayasan Bina Desa, Jakarta.