Tulisan berikut ini merupakan catatan perjalanan saudari Elisha Kartini Samon, perempuan lulusan salah satu Universitas di Roma Italia ini, sekarang merupakan peneliti dan Asia program staff untuk GRAIN. GRAIN adalah organisasi internasional yang bekerja untuk mendukung model pertanian berbasis komunitas dan keaneka ragaman hayati. Kesempatan penulis hampir 3 minggu dibulan September-Oktober 2016 berkeliling dan bertatap langsung, berdialog dengan petani dan kalangan masyarakat Kuba direkam dalam tulisan pendek dibawah ini. selamat menyimak, semoga memberi inspirasi.
Kuba, negara pulau di Laut Karibia yang berukuran separuh pulau Kalimantan dan berpenduduk 11 juta jiwa, merupakan satu dari segelintir negara di dunia yang mampu dengan bangga menyatakan bahwa mayoritas semua makanan yang dikonsumsi penduduknya diproduksi di dalam negeri secara agroekologi.
Situasi ini sangat berbeda dengan keadaan Kuba pasca kemerdekaan dari Spanyol di tahun 1898 dan berada di bawah kekuasaan Amerika Serikat sejak tahun 1902 dimana gambaran model dan praktek pertanian Kuba adalah lahan-lahan milik latifundia atau tuan tanah besar dengan modal Amerika Serikat, perkebunan monokultur tebu dan tembakau untuk diekspor ke Amerika Serikat. Pada masa itu, 73 persen tanah pertanian hanya dikuasai oleh 9,4 persen tuan-tuan tanah, dan 90 persen petani kecil hanya mendapatkan akses terhadap 26 persen sisa nya. Lebih dari seperempat persen total lahan pertanian pun berada pada penguasaan modal asing yang mayoritas produksi nya untuk kebutuhuan ekspor.
Model pertanian monokultur skala luas untuk kebutuhan ekspor ini mendorong eksploitasi sumber daya alam di negara kepulauan ini, hingga menjelang Revolusi 1959 Kuba telah kehilangan 87 persen tutupan hutan nya dan juga mengalami krisis air akibat hampir habisnya sumber air tanah.
Dampak dari system latifundia pun menyebabkan kesenjangan yang semakin meluas di kalangan penduduk Kuba, terjadi gejolak sosial terus-menerus khusus nya di daerah-daerah pedesaan dimana mayoritas penduduk hanya bisa menjadi buruh kebun. Kondisi kehidupan buruh kebun sangat buruk, dan terus-menerus mengalami ancaman penggusuran oleh tuan tanah.
Kesenjangan sosial yang begitu tajam ditambah kondisi politik yang memanas yang memicu terjadi nya Revolusi 1959 yang dipimpin oleh trio, Ernesto ‘Che’ Guevara, Fidel Castro dan Camilo Cienfuegos yang berhasil menggulingkan Presiden Batista pada Januari 1959 dan mendudukan Fidel Castro sebagai pemimpin tertinggi Kuba.
Hanya dalam waktu empat bulan pasca penggulingan Presiden Batista, Kuba yang kini berada dalam kepemimpinan Fidel Castro menyelenggarakan reforma agrarian tahap pertama nya. Dalam reforma agrarian tahap pertama ini, 1,2 juta hektar perkebunan milik tuan-tuan tanah dinasionalisasi dan didistribusikan kepada 100 ribu petani kecil dan buruh tani. Reforma agraria tahap kedua menyusul melalui undang-undang Reforma Agraria yang ditanda tangani pada 3 Oktober 1963, dilaksanakan dengan lebih tertata, dalam tahap kedua ini sejumlah hal dasar ditetapkan:
- Penghapusan secara radikal dan definitif atas sistem latifundia dan eksploitasi kapital atas tanah.
- Menekan batas maksimal kepemilkan tanah hingga 67 hektar dan menjadikan milik bersama lahan seluas 1,2 juta hektar.
- Memperkuat sistem pertanian negara menjadi 70 persen dari total lahan pertanian.
- Menetapkan dua pilar pembangunan pertanian: negara dan sektor perdesaan.
Program pembaruan agraria yang diterapkan bukan hanya sekedar redistribusi lahan-lahan perkebunan namun juga disertai dengan bantuan tekhnis baik berupa alat-alat pertanian bagi para petani dan juga program nasional untuk perbaikan kesuburan tanah dan peningkatan level air tanah.
Seperti banyak negara di seluruh dunia, Kuba pun sempat masuk ke dalam era Revolusi Hijau di awal tahun 1970an. Kuba pun memasuki periode mekanisasi sistem pertanian yang ditopang dengan pemanfaatan pupuk dan pestisida kimia besar-besaran, benih hibrida serta pembaruan areal monokultur skala luas dengan segala implikasi nya di tengah sistem negara sosialisme. Dampak dari Revolusi Hijau dan industrialisasi pertanian di Kuba dari tahun 1970an hingga akhir 1980an Kuba mengimpor 28 persen kebutuhan pupuk dan 82 persen kebutuhan pestisida nya, dan akibat pertanian monokultur yang dikembangkan, 50 persen dari kebutuhan pangan keluarga berasal dari impor. Sebagai salah satu poros sosialisme pada periode Perang Dingin, 70 persen dari perdagangan Kuba bergantung dari Uni Soviet dan negara-negara anggota blok sosialis lainnya.
Runtuhnya Uni Soviet dan berakhirnya Perang Dingin di awal 1990an sangat memukul negara pulau di Karibia ini. Embargo Amerika Serikat terhadap Kuba yang diberlakukan sejak pasca Revolusi 1959 dan diperketat di tahun 1962 ditambah dengan hilangnya partner dagang utama mereka menyebabkan kondisi Kuba sangat terpuruk.
Impor bahan makanan jatuh hingga 50 persen, impor bahan bakar minyak hilang lebih dari 53 persen dan ketersediaan pupuk dan pestisida turun drastis lebih dari 80 persen. Barang-barang seakan menghilang dalam semalam seperti yang diungkapkan oleh salah seorang penduduk desa di Guera de Mellena, sebuah desa di Propinsi Artemisa 45 menit perjalanan dari kota Havana.
Tingginya ketergantungan pertanian Kuba terhadap input eskternal dan impor pangan menyebabkan mereka menghadapi tantangan besar pasca runtuhnya blok sosialis untuk meningkatkan produksi pangan nasional secara signifikan. Kondisi negara yang kacau balau menyebabkan pada tahun 1991 pemerintah Kuba mengumumkan “Periode Khusus dalam Masa Damai”, memberlakukan situasi seperti masa perang, melakukan pengketatan ekonomi besar-besaran (austerity) dengan prinsip untuk tetap mempertahankan hasil revolusi politik dan sosial.
Secara komprehensif, langkah-langkah austerity yang dilakukan pada sektor pangan dan pertanian mencakup desentralisasi produksi khususnya komoditas yang berada di tangan BUMN besar, fase baru transformasi pertanian, insentif besar bagi petani yang memasarkan produknya serta peningkatan sumber daya manusia dalam upaya untuk mencari solusi dan inovasi bagi produksi pertanian berkelanjutan. Asosiasi Petani Nasional Kuba (ANAP) menjadi ujung tombak dalam pelaksanaan program ini, dimana proses pencarian solusi dan inovasi produksi pertanian dilakukan dengan metode pertukaran petani yang dikenal sebagai metode Campesino a Campesino (dari petani ke petani).
“Kami tidak punya pilihan lain selain beralih ke pertanian agroekologi. Dari masalah besar kami kini memiliki solusi besar” demikian disampaikan Rilma Roman, kepala kerjasama internasional ANAP. Praktek pelaksanaan pertanian agroekologi kini dilakukan secara menyeluruh di Kuba, dan saat ini lebih dari sepertiga petani Kuba telah bertransformasi menjadi petani agroekologi yang sama sekali tidak bergantung pada input eksternal untuk produksi pertaniannya.
Lebih lanjut sistem distribusi pangan di Kuba dikelola oleh 2 koperasi utama, yang bertugas untuk pertama dan utama menjamin ketersediaan pangan secara berkualitas dan gratis bagi 3 institusi: rumah sakit, sekolah dan panti jompo, serta mengatur pembelian dan distribusi pangan bagi seluruh penduduk Kuba untuk memastikan kebutuhan pangan seluruh penduduk terpenuhi. Sejak 1997 hingga hari ini, Kuba bisa dengan bangga menyatakan sebagai satu dari sedikit negara di dunia yang mampu mencukupi hampir sebagian besar kebutuhan pangan negara nya secara mandiri. Lebih lanjut negara ini mampu mempertahankan dasar negara sosialisme seperti yang tertulis dalam konstitusi nya, walaupun secara pembangunan fisik Kuba seakan tertinggal dari banyak negara namun negara ini memiliki angka buta huruf yang lebih rendah dari negara tetangga nya Amerika Serikat serta memiliki salah satu layanan kesehatan terbaik di seluruh dunia. (###)