Yang Lain, Saatnya Pastikan “Partisipasi Kaum Muda” Bukan Hanya Jargon Pemerintah Belaka.
Disadur dari halaman daring Kamus Berbahasa Bahasa Indonesia (KBBI), muda/mu·da/ mempunyai beberapa makna, seperti: 1. belum sampai setengah umur; 2. belum sampai masak (tentang buah-buahan); 3. belum cukup umur (tentang tumbuhan, binatang); 4. belum sampai waktunya untuk dipetik (dituai dan sebagainya): buah nangka ini masih terlalu — untuk dipetik. Sementara pemuda, baik laki-laki dan perempuan, dimaknai sebagai, orang yang masih muda. Melalui UU Kepemudaan, pemuda adalah mereka yang berada dalam rentang usia 16-30 tahun. Kalau Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan pemuda sebagai mereka yang berusia 15-24 tahun. (lihat: https://kbbi.web.id/muda )
Pemuda, atau dalam hal ini saya tulis anak muda, perempuan dan laki-laki, punya hak yang sama dengan yang tidak lagi muda. Sama-sama berhak untuk berpartisipasi. Partisipasi kaum muda dalam ruang publik juga menjadi salah satu indikator Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) yang diluncurkan pada tahun 2018.
Dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, pemerintah juga menampung aspirasi anak dan kaum muda melalui pertemuan konsultasi. Selain di tingkat nasional, pemerintah daerah juga sudah mendorong partisipasi anak dan kaum muda dalam perencanaan di tingkat daerah, salah satunya dengan melibatkan forum anak dan fasilitatornya dalam musyawarah perencanaan dan pembangunan (Musrenbang) baik di tingkat desa, kecamatan, maupun kabupaten/kota. (lihat: https://www.kajianpustaka.com/2020/01/partisipasi-masyarakat.html )
Partisipasi aktif kaum muda dalam pembangunan merupakan upaya menampung pendapat dan aspirasi orang muda tentang permasalahan dirinya dan sekitarnya untuk kemudian dipertimbangkan ke dalam penyusunan kebijakan. Salah satu wujud memastikan partisipasi bermakna kaum muda dalam pembangunan ialah secara sadar melibatkan mereka dengan tujuan yang jelas, relevan dengan kehidupan mereka, dan melalui medium yang ramah dengan kaum muda. Partisipasi yang bermakna menurut Arnstein’s Ladder dicapai dengan 8 tingkatan partisipasi, yaitu: (1) Manipulasi; (2) Terapi; (3) Menginformasikan; (4) Konsultasi; (5) Koordinasi; (6) Kemitraan; (7) Mendelegasikan; (8) Mengontrol Warga. (lihat: https://www.citizenshandbook.org/arnsteinsladder.html )
Lalu pertanyaannya; (1) Bagaimana cara anak muda dapat berpartisipasi secara bermakna di desa? dan; (2) Mengapa anak muda harus pulang ke desa?
Di dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, ada tiga poin penting dalam pembangunan desa; rekognisi, otorisasi, dan distribusi. Tiga poin ini menjadi pilar bagi Desa untuk mewujudkan pembangunan lintas sektoral, baik sumber daya insani, budaya, maupun infrastruktur.
Pertama, rekognisi artinya Desa diberikan pengakuan dari negara sebagai bagian teritori yang sah secara hukum. Desa memiliki alat pemerintahan yang demokratis dan wewenang untuk melakukan pembangunan secara mandiri. Adanya pengakuan ini memberikan legitimasi bagi Desa untuk melakukan inovasi pembangunan dengan mengoptimalkan kekayaan lokal yang dimilikinya.
Dengan demikian Desa membuka ruang sebesar-besarnya kepada anak muda untuk berperean aktif dalam pembangunan desa yang adil, berdaulat, sejahtera dan berkelanjutan. Ayo pulang, garap lahan-lahan pertanian dengan metode Pertanian Alami. Pertanian Alami sungguh lekat dengan pengetahuan-pengetahuan lokal yang juga merupakan salah satu bentuk kekayaan lokal yang harus terus dijaga dan diwariskan. Ciptakan inovasi-inovasi berbasis pendekatan “mampu merawat ekologi” agar desa yang lestari itu dapat dinikmati generasi kini dan mendatang.
Kedua, otorisasi memberikan kebebasan bagi pemerintah Desa untuk melaksanakan pembangunan Desa secara mandiri. Pemerintah Desa yang dipimpin oleh Kepala Desa menjadi instrumen dari dinamika politik Demokrasi Desa yang memiliki wewenang dan tanggungjawab terhadap keberlanjutan ekosistem desa. Kepala Desa dipilih langsung oleh masyarakat desa dengan masa jabatan selama enam tahun dan bisa menjabat selama tiga periode memiliki keluasaan untuk membangun desa dengan maksimal. Anak muda, yang merantau ke kota untuk sekolah dan telah menyelesaikannya, pulanglah untuk seminimal mungkin terlibat secara aktif atau masuk dalam ranah forum-forum musyawarah tingkat desa. Atau kalau perlu, ambil peran dalam susunan-susunan strategis di desa. Misal, jadi Sekretaris Desa atau Kepala Desa sekalian.
Ketiga, distribusi ditandai dengan adanya Dana Desa yang ditransfer ke Desa. Tercatat, pada tahun 2021 terdapat 72 Triliun Dana Desa didistribusikan ke 74.953 Desa yang tersebar di Indonesia. Adanya Dana Desa memberikan keleluasaan bagi Desa untuk melakukan pembangunan pada berbagai sektor, baik pertanian, perdagangan, infrastruktur, sumber daya manusia maupun pariwisata. Dengan rata-rata setiap Desa menerima 1 Milyar Dana Desa, diharapkan berbagai potensi Desa bisa dioptimalkan manfaatnya, terutama untuk mendongkrak perekonomian dan meningkatkan kompetensi masyarakat Desa. Partisipasi bermakna mendorong, anak-anak muda untuk terlibat dari mulai memberikan rekomendasi hingga pelaksanaan program-program kerja yang bersama-sama dirumuskan. Misalnya memulai usaha kolektif untuk mendorong keterlibatan perempuan dan laki-laki secara setara dengan proses pemasaran yang diampu anak muda dengan memanfaatkan kedekatan generasi muda pada teknologi digital. Atau ide desa wisata ekologi, yang mengenalkan praktik Pertanian Alami pada khalayak dari anak usia dini hingga orang-orang tua.
Partisipasi bermakna juga perlu menggunakan medium yang sesuai dengan perkembangan generasi, dalam hal ini anak muda. Jika seorang anak muda, memilih tidak kembali lagi ke desa dengan alasan yang beragam, dan diikuti oleh lebih banyak lagi anak muda. Siapa yang akan berpartisipasi dan memastikan partisipasi bermakna dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan pembangunan desa? Ini menjadi alasan kuat bagi anak muda, yang merantau untuk bersekolah pun bekerja di kota, untuk pulang ke desa. Partisipasi baru akan berjalan jika anak muda hadir dan mengikuti rangkaian prosesnya. Salah dua alasan yang lain adalah, pembangunan bottom up (atau pembangunan dari bawah ke atas) dapat terlaksana jika diinisiasi oleh mereka yang merasakan sendiri. Rumusan kebijakan atau rumusan perubahan perlu dilandasi atas apa yang dirasakan oleh masing-masing anak muda yang kembali ke desa. Anak muda, ayolah pulang ke desa. Yang lain, saatnya pastikan “partisipasi kaum muda” bukan hanya jargon pemerintah belaka. [/RF]