Oleh : Aliza Yuliana*
Tiga Tahun Pemerintahan Jokowi belum memperlihatkan keseriusan dalam mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan berlapis yang dihadapi perempuan dalam pemilikan, penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber agraria. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan belum mengintegrasikan prinsip keadilan gender, menempatkan perempuan sebagai subyek pemangku kepentingan, termasuk perempuan kepala keluarga, bahkan tidak ada keterwakilan kepentingan perempuan dalam kelembagaan atau tim-tim yang dibentuk. Selain itu, tidak ada jaminan kesetaraan hak dalam pemilikan dan penguasaan tanah, maupun mendapatkan manfaat antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana diatur dalam UU Pokok Agraria serta TAP MPR No. IX/2001. Pelaksanaan “Reforma Agraria” versi Jokowi belum menjawab persoalan mendasar perempuan atas sumber agrarianya. Ketidakseriusan ini juga dilihat dengan tidak adanya keterlibatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ataupun keterwakilan kepentingan perempuan dalam komposisi kelembagaan RA. Ini menunjukkan bahwa reforma agraria belum dilihat sebagai agenda utuh untuk menjawab persoalan ketimpangan, termasuk ketimpangan gender.
Ketidakseriusan ini juga tercermin pada proses maupun substansi Konferensi Tenurial 2017 bertemakan “Mewujudkan Hak-hak Rakyat: Reformasi Penguasaan Tanah dan Pengelolaan Hutan di Indonesia” pada 25-27 Oktober 2017 di Jakarta yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kantor Staf Presiden tersebut. Gender hanya dijadikan jargon tanpa menjadi perspektif secara susbtantif. Hal itu dapat dilihat di antaranya dari: (1) Tidak adanya panel khusus yang membahas strategi dalam mengintegrasikan prinsip dan pendekatan yang berkeadilan gender dalam Reformasi Tanah dan Hutan di Indonesia, (2) Tidak ada satupun presentasi pemerintah yang mengangkat situasi dan persoalan ketimpangan mengenai gender maupun perempuan dalam kepemilikan, penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber agraria, (3) Minimnya pelibatan organisasi perempuan dalam kepesertaan sehingga berimplikasi pada proses, hasil dan rekomendasi konferensi ini, (4) Gender dan perempuan hanya diletakkan pada rekomendasi, bahkan prinsip keadilan gender hanya ditetapkan sebagai perhatian. Tidak ada strategi atau rencana aksi yang jelas untuk mengintegrasikan dan menerapkan prinsip keadilan gender bagi pelaksanaan kebijakan RAPS dan usaha yang berbasis tanah/hutan.
Padahal persoalan ketimpangan struktur agraria menjadi berlapis dihadapi oleh perempuan di tengah sistem negara dan sistem sosial yang timpang dan tidak adil bagi perempuan. Perempuan masih terdiskriminasi dan termarjinalisasi, khususnya dalam hal penguasaan dan kepemilikan atas tanah, kepemilikan properti dan aset-aset ekonomi, dan/atau menikmati manfaatnya serta dalam hal akses dan kontrol dalam pengambilan keputusan dan pendapatan ekonomi.
Data BPN 2016 menunjukkan hanya 15,88% dari 44 juta bidang tanah yang teridentifikasi dimiliki oleh perempuan. Bahkan di Desa Sei Ahas Kalimantan Tengah misalnya, tidak ada surat tanah yang dikeluarkan oleh Desa atas nama perempuan. Sementara di Desa Barati, Kecamatan Pamona Tenggara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, perbandingan penguasaan tanah di Barati sendiri masih didominasi oleh laki-laki dengan perbandingan 90:10. Keterbatasan kontrol perempuan atas sumber daya juga berdampak pada keterbatasan akses dan kontrol perempuan atas pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupannya, serta meningkatkan kerentanan perempuan dari diskriminasi, kekerasan, beban berlapis dan penindasan, baik di tingkat keluarga maupun publik.
Dalam situasi yang timpang ini, perempuan juga harus berhadapan dengan perampasan tanah dan konflik agraria yang kerap melibatkan aparat keamanan. Hilangnya tanah sebagai sumber kehidupan perempuan, berdampak pada meningkatnya beban perempuan dalam memastikan keberlanjutan kehidupan keluarga dan komunitasnya, termasuk ketersedianya pangan. Perempuan terpaksa bekerja serabutan menjadi buruh cuci, buruh tani, buruh harian lepas, berdagang, demi memenuhi ekonomi keluarga, dengan tetap mengerjakan pekerjaan domestik.
Reforma agraria seharusnya mampu menyelesaikan konflik agraria, menghapus ketimpangan, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, keadilan agraria bagi perempuan tidak akan terjadi tanpa upaya strategis negara yang lintas sektor dan menyeluruh, termasuk strategi dan tindakan afirmatif untuk menghilangkan hambatan-hambatan sosial dan budaya yang dialami oleh perempuan akibat ketimpangan relasi kuasa dan peran gender perempuan dalam struktur sosial.
Menurut Puspa Dewy, Ketua Solidaritas Perempuan, Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender serta mengatasi kesenjangan dan ketimpangan gender dalam kepemilikan, penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah, perlu ada upaya strategis negara melalui kebijakan dan rencana aksi yang mengintegrasikan prinsip, pendekatan, dan mekanisme yang adil gender.
Melalui Konferensi Tenurial 2017, Solidaritas Perempuan merekomendasikan 7 point pokok agar kepada Pemerintah yaitu, pertama menerapkan prinsip dan pendekatan yang berkeadilan gender melalui kebijakan dan rencana aksi untuk pelaksanaan Reforma Agraria, yang memastikan perempuan sebagai subyek pemangku kepentingan, keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan mulai dari perumusan kebijakan, perencanaan, persiapan, pelaksanaan, monitoring hingga evaluasi, serta memastikan keterwakilan perempuan dan kepentingan perempuan dalam kelembagaan pelaksanaan Reforma Agraria. Kedua, menerapkan aturan perlindungan perempuan, dengan memastikan prinsip inklusif, sensitif dan responsif gender, dan secara khusus dalam hal analisis resiko dan dampak, keterbukaan informasi, konsultasi dan partisipasi, persetujuan, pengajuan keluhan, serta keamanan dan keselamatan. Ketiga, Melakukan peningkatan kapasitas sosial dan tindakan afirmatif sebagai upaya menghilangkan hambatan sosial dan menciptakan kondisi pendukung bagi perempuan untuk berdaya dan aktif berpartisipasi dalam setiap proses pengambilan keputusan. Keempat, menetapkan alokasi anggaran gender (Gender Budget) dalam perencanaan dan pelaksanaan Reforma Agraria. Kelima, menerapkan analisis gender dan data terpilah gender dalam penentuan subyek dan obyek Refoma Agraria, terakhir perlunya mekanisme penyelesaian konflik yang sensitif dan responsif gender, dengan memastikan upaya pemulihan terhadap dampak materil dan immateril yang langsung dan tidak langsung, yang dialami perempuan akibat konflik agraria, serta kriminalisasi dan kekerasan yang menyertainya.###
Jakarta, 28 Oktober 2017
*Penulis adalah pegiat di Solidaritas Perempuan, dapat dihubungi melalui aliza@solidaritasperempuan.org