[anti-both]
[ezcol_2third id=”” class=”” style=””]
Oleh : Gunawan Wiradi
When tillage begins, Other arts follow. The farmers therefore, are the founders of civilization Daniel Webster (in Lewis C. Henry (ed), 1955)
PENDAHULUAN
Bagi mereka yang sudah terbiasa mengikuti wacana masalah agraria, isi tulisan pendek ini bukanlah barang baru. Hal-hal yang dikemukakan disini hampir semuanya sudah pernah saya tulis dalam berbagai publikasi. Artikel singkat ini disajikan dengan dua tujuan utama, yaitu ;
Pertama, sebagai sumbangan tulisan bagi terbitnya edisi khusus publikasi Bina Desa dalam rangka merayakan ulang atahun ke-35 Bina Desa.
Kedua, uraian ini sekedar merupakan penjelasan ulang mengenai beberapa konsep agar pemahaman terhadap maknanya tidak menyimpang, dan penggunaan istilahnya bisa lebih tepat. Hal ini saya anggap penting karena rupanya masih ada diantara kita yang, sengaja atau tidak, menggunakan istilah-istilah dalam masalah agraria yang agak menyimpang, sehingga memperumit masalahnya.
Kita semua tahu bahwa transformasi adalah suatu proses perubahan dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain, dari susunan masyarakat tertentu berubah menjadi suatu susunan masyarakat yang berbeda. Secara sederhana, inilah pengertian umumnya. Tetapi dalam wacana teoretik di bidang agraria, istilah transformasi agraria mengacu secara khusus kepada suatu konsep yang lahir dari suatu proses sejarah tertentu. Karena itu, ada baiknya disini ditinjau lebih dulu sejarah pertanian secara umum, walaupun dengan amat ringkas, dan tidak menyeluruh melainkan beberapa aspek saja yang dianggap relevan, tanpa kronologi yang tertib.
I. SEPINTAS TINJAUAN SEJARAH KUNO
(1) Dalam sejarah peradaban manusia, khususnya yang menyangkut masalah pertanian (dalam arti luas), setidaknya dikenal ada empat kejadian, gejala atau proses, yang biasa disebut dengan istilah revolusi pertanian, yaitu :
(a). Neolithic Revolution (ribuan tahun S.M)
(b). Belgo-English Revolution (awal abad 17)
(c). Agricultural marketing Revolution (1920-an)
(d). Green Revolution (akhir dasa-warsa 1960-an dan awal 1970-an)
Tentu tidak semua itu dulas satu persatu disini.
Butir (b) dan (c) sama sekali tak akan dibicarakan, sedangkan butir (d) akan disinggung seperlunya saja yang relevan dengan topik tulisan ini.
(2) Revolusi Neolithic
Seorang pakar pernah mengatakan bahwa seharusnya kita tidak boleh melupakan bahwa kerja manusia mengolah tanah adalah kegiatan kerja yang paling mendasar dalam sejarah peradaban manusia ; yaitu ketika manusia mulai mengubah kegiatannya untuk hidupnya, dari sekedar mengambil dari apa yang tersedia dalam alam (berburu dan memetik hasil tumbuhan) menjadi kegiatan berproduksi dengan cara mengolah alam. Mulailah manusia bermukim menetap dan bercocok tanam. Lahirlah budaya pertanian (agri-culture). Ketika cocok tanam dimulai, cipta-karya budaya lainnya berkembang mengikutinya. Karena itu, petani adalah peletak dasar peradaban. Demikian kata-kata Daniel Webster seperti dikutip pada awal tulisan ini.
Seperti umumnya dikenal, bagian akhir dari jaman batu disebut jaman neolithic (neo = baru ; lithos = batu) yaitu jaman ketika manusia walaupun masih menggunakan peralatan dari batu tetapi yang sudah dihaluskan atau diasah (polished). Disebut revolusi, karena sejak itulah kemudian setapak demi setapak (melalui sejarah panjang berabad-abad) berkembang karya manusia dalam berbagai seni budaya (kerajinan tangan, seni pahat, seni lukis, seni suara, seni musik, seni tulis atau sastra, seni tari dan sebagainya). Semua itu dianggap berawal dari kemampuan manusia mewujudkan potensi keterampilannya, yaitu menghaluskan batu sebagai teknologi manual yang paling awal. Dampaknya adalah berkembangnya berbagai keterampilan lain dalam masa-masa selanjutnya.
(3) Pada masa-masa awal mulai bermukim menetap dan bercocok tanam itu, manusia memproduksi pangan hanya untuk konsumsi sendiri. Saat itu hutan masih merupakan wilayah terbuka, bebas bagi siapa saja untuk membuka tanah dan mengolahnya. Mereka yang membuka dan menggarapnya itulah yang menguasai tanah garapan itu. Dari sinilah lahirnya konsep hak milik, yaitu hasil kerja. Saat itu organisasi yang bernama negara ataupun kerajaan belum ada. Yang ada barulah satuan-satuan masyarakat kecil pemukim. Satuan-satuan usaha tani merupakan usaha tani keluarga. Artinya, tenaga kerja yang dipakai adalah tenaga kerja keluarga dan belum ada tenaga upahan karena belum ada pasar tenaga kerja. Pasar dan perdagangan belum dikenal. Karena kondisi alam tempat pemukim itu berbeda-beda, maka bahan mentah dan sumber alamnya juga berbeda-beda, demikian juga jenis tanaman yang ditanamnya. Kesadaran saling membutuhkan akhirnya melahirkan praktek tukar-menukar (barter) hasil yang satu dengan lain. Lama kelamaan timbul alat tukar untuk menilai kesetaraan barang yang dipertukarkan. Alat tukar itu bisa bermacam-macam (kepingan kayu, sobekan daun kering, sobekan kain, dll), yang jauh di kemudian hari melahirkan apa yang sekarang kita kenal sebagai uang.
(4) Satuan-satuan kecil masyarakat pemukim menetap dan bertani itu merupakan masyarakat yang dapat dikatakan homogen. Belum terjadi strafikasi sosial. Masyarakat yang demikian itu, yaitu yang warganya merupakan petani pionir yang membuka hutan dan menggarapnya (atau keturunan mereka), yang berproduksi untuk konsumsi sendiri, dan yang hanya menggunakan tenaga dalam keluarga, adalah satuan-satuan masyarakat-tani yang dalam bahasa Inggris disebut peasantry, dan orangnya disebut peasant. Walaupun dalam sejarahnya yang panjang berkembang budaya pertanian yang lain (mis. bagi-hasil, gadai, pembudakan dll.), namun tiga hal tersebut diatas itulah yang menjadi ciri pokok dari apa yang disebut peasantry itu. Bahkan sampai dengan timbulnya organisasi masyarakat yang berupa kerajaan atau pun negara, ciri-ciri pokok tersebut masih mewarnai masyarakat-tani peasantry tersebut.
(5) Setelah berabad-abad potret masyarakat-tani yang demikian itu (yaitu : subsisten, homogen, tertutup, dst) dianggap berlanjut, maka ketika datang masa industrialisasi (kurang lebih pada abad 18) yang juga dianggap sebagai awal masuknya kapitalisme ke pedesaan, maka diasumsikan (atau bahkan diramalkan) bahwa peasantry itu akan lenyap. Masyarakat-tani itu akan berubah menjadi masyarakat produsen pangan yang kapitalistik.
(6) Dalam kepustakaan Marxis, dikenal adanya tiga tipe proses kapitalisasi pedesaan, dilihat dari siapa yang menjadi penggeraknya. Di Inggris, kapitalisme di pedesaan digerakkan oleh kelas menengah ; di Jerman (Prusia) oleh lapisan atas sehingga disebut sebagai capitalism from above ; dan di Amerika Serikat petani-petani lapisan bawah sendiri yang merintis praktek kapitalisme dan disebut sebagai capitalism from below (lihat, Byres T.J. 1986).
(7) Sedikit catatan tentang Revolusi Hijau
Dalam konteks yang berbeda, dari sejarah kita juga dapat menelusuri bahwa program pembaruan agraria itu umurnya sudah lebih dari 2500 tahun (hal ini tak perlu diulang-ulang disini karena sudah terlalu sering saya tulis dalam berbagai publikasi). Yang ingin disampaikan disini adalah bahwa sejak lahirnya Orde Baru, pemerintah Indonesia pada dasarnya telah meninggalkan niat politik untuk melakukan pembaruan agraria, dan mengambil kebijakan alternatif yaitu program Revolusi Hijau (RH). Dalam pandangan ilmu-ilmu sosial, yang dimaksud RH bukanlah semata-mata ditemukannya bibit padi unggul baru. Untuk dapat disebut sebagai revolusi (pertanian), tiga hal menjadi cirinya, yaitu bahwa suatu inovasi teknologi itu diadopsi dalam skala yang luas, dalam tempo yang relatif cepat (dalam ukuran sejarah), dan dampaknya telah mengubah budaya masyarakat. Dalam hal RH, dalam waktu kurang dari 2 tahun sejak 1968, seluas 24 juta Ha sawah di Asia telah ditanami bibit padi unggul baru. Dampaknya yang penting adalah budaya dan irama hidup para petani di pedesaan menjadi berubah sama sekali karena umur padi jenis baru tersebut sangat pendek (PB-5 dan FB-8 hanya 105 hari). Jadi, suatu inovasi teknologi pertanian tidak atau belum bisa disebut sebagai revolusi jika tak ada tiga ciri tersebut diatas (contoh : revolusi biru, yaitu ditemukannya bibit udang baru ; juga revolusi coklatdi bidang perkebunan kopi/coklat. Keduanya tidak bergema, karena memang belum/tidak menggambarkan tiga ciri tersebut diatas).
Demikianlah sekedar tinjauan potongan-potongan sejarah secara selayang pandang
II. TRANSFORMASI AGRARIA DAN TRANSISI AGRARIS
(1) Seperti telah disinggung di depan, transformasi sosial adalah suatu perubahan masyarakat, suatu proses yang memakan waktu. Rentang waktu sebelum bentuk baru itu berlanjut secara mantap disebut masa peralihan (transisi), karena segala sesuatu masih bisa berubah-ubah. Jadi, dikatakan bahwa transformasi belum selesai, masih peralihan.
(2) Pertanyaannya sekarang adalah, kejadian sejarah yang bagaimanakah yang dianggap melatar-belakangi lahirnya konsep (dan istilahnya) agrarian transformation dan agrarian transition. Tidak mudah untuk menjelaskan hal ini, karena menyangkut berbagai aspek dan perdebatan panjang selama 30 tahun di Eropa (1899-1929), khususnya diantara para ilmuwan ataupun pemikir Marxian.
(3) Sebagai idee, gagasan (notion) tentang transformasi masyarakat secara umum tentu sudah dikenal sebelum muncul istilah agrarian transformation. Dengan pandangannya masing-masing, para pemikir teori evolusi sudah membagi-bagi tahapan jaman. Berubahnya jaman yang satu ke jaman berikutnya merupakan proses transformasi masyarakat. Namun untuk memahami istilah khusus agrarian transformation, kita perlu melacak perkembangan wacananya sejak terbitnya buku karya Karl Kautsky (1899) yang berjudul Die Agrarfrage (Bhs. Jerman), atau terjemahan dalam bahasa Inggris (1988) : The Agrarian Question. Substansinya membahas masalah masyarakat kaum tani. Mengapa itu dipertanyakan, dan apa pertanyaannya ?.
(4) Walaupun masih dalam konteks yang sama (yaitu masuknya kapitalisme ke pedesaan), tetapi rumusan pertanyaannya berubah-ubah, dan maknanya juga berubah-ubah, sesuai dengan perkembangan masyarkat Eropa saat itu baik di bidang ekonomi maupun politik. Pertanyaan itu awalnya merupakan pertanyaan politik, khususnya bagi Partai Sosialis di Eropa, yaitu : bagaimana memperoleh dukungan kekuatan di daerah-daerah atau negara-negara yang disitu masyarakat peasantries, nya besar ?. Atas dasar teori Marx bahwa kapitalisme akan melenyapkan peasantries,dan atas dasar hasil suatu studi bahwa peasantries mengalami proses proletarisasi, maka fokus sasaran Partai Sosial Demokrat saat itu ditujukan kepada lapisan bawah masyarakat pedesaan. Namun ternyata dalam suatu Pemilu, partai ini kalah. Ini mengejutkan, dan pertanyaan yang semula berupa pertanyaan politik lalu berubah menjadi pertanyaan akademik, yaitu : Jika kapitalisme masuk ke pedesaan, apa sesungguhnya yang terjadi?. Mengapa masyarakat peasantries tetap dapat bertahan . Hal ini lalu diteliti. Hasilnya dipakai kembali sebagai dasar untuk suatu kebijakan politik. Proses ini begitu terus secara bolak-balik (politik-akademik-politik-akademik dst.).
(5) Sementara itu, terutama setelah Revolusi Perancis, berbagai negara telah melakukan pembaruan agraria. Maka pertanyaannya (terutama dalam wacana kontemporer) menjadi dua sisi, yaitu dari sisi obyektif dan dari normatif. Dari sisi obyektif pertanyaannya adalah, setelah dilakukan pembaruan agraria, perubahan masyarakat seperti apa yang terjadi?. Dari sisi normatif (tergantung dari niat politiknya, ke arah mana transformasi masyarakat yang dikehendaki), pertanyaannya adalah, antara lain , apakah setelah Reforma Agraria dilakukan, masyarakat tertransformasi menjadi suatu susunan masyarakat yang kita kehendaki?.
(6) Demikianlah uraian ringkas tesebut diatas sekedar untuk menjelaskan bahwa dalam wacana teori agraria, istilah transformasi agraria dan transisi agraris itu mengacu kepada proses perubahan masyarakat yang dipicu oleh suatu perubahan agraria (baik melalui program RA oleh pemerintah maupun karena berbagai faktor lain terjadi perubahan agraria).
(7) Jadi jelasnya, bicara soal transformasi agraria itu bukan untuk menuju pelaksanaan reformasi agraria, tetapi justru wacana tentang perubahan masyarakat setelah dilaksanakannya pembaruan agraria.
III. P E N U T U P
Sebagai penutup, seperti telah sering saya uraikan perlu dicatat bahwa masalah agraria adalah rumit dan sukar. Mengapa, karena sedikit atau banyak, mau tidak mau, terpaksa kita menyinggung teori-teori Marxian. Ini tidak mudah karena dalam literatur Marxian, terdapat sejumlah banyak istilah-istilah kunci, konsep-konsep kunci, yang tidak mudah untuk dapat memahami maknanya.
Demikianlah uraian ringkas yang dapat saya sumbangkan pada kesempatan kali ini. Mudah-mudahan tulisan sederhana ini ada gunanya dan lebih penting lagi, semoga tidak justru menyesatkan.
DAFTAR BEBERAPA PUSTAKA
1. ALAVI, Hamza and Teodor SHANIN (1988) : Introduction to the English Edition : Peasantry and Capitalism, dalam buku Karl Kautsky (terjemahan oleh P. Burgess) : The Agrarian Question , Vol. I London, Winchester, Mass. Zwan Publications.
2. BOTTOMORE, Tom (1985) : A Dictionary of Marxist Thought Oxford. Basil Blackwell Publisher, Ltd.
3. BYRES, Terry J. (1986) : The agrarian Question, Form of Capitalist Agrarian Transition, and the state: an Essay with reference to Asia. Makalah dalam International Workshop on Rural Transformation in Asia. New Delhi, Oct. 1986.
4. RAHMAN, Atiur (1986) : Peasants and Classes. London Zed Books. Ltd.
5. SHANIN, Teodor (ed) (1973) : Peasants and Peasant Societies. Middlesex. Penguin Books.
6. SOBHAN, Rehman (1993) : Agrarian Reform and Social Transformation: Preconditions for Development. London & New Jersey. Zed Books.
7. WIRADI, Gunawan (2009) : Metodologi Studi Agraria Karya Terpilih Gunawan Wiradi. Penyunting Moh. Shohibuddin. Bogor. SAINS bekerja sama dengan Dept KPM-FEMA-IPB dan PKA-IPB. (baca hlm. 112-138)
tulisan ini dibuat sebagai artikel populer, dan karenanya, hampir semua uraian didalamnya sengaja tidak disertai rujukan langsung. Namun sumber-sumber literaturnya dicantumkan dalam Daftar Pustaka di belakang.
[/ezcol_2third]
[ezcol_1third_end id=”” class=”” style=””][template id=”509″][/ezcol_1third_end]