Bina Desa

Reforma Agraria yang Tersandera dan Terlunta

[anti-both]

[ezcol_2third id=”” class=”” style=””]

Reforma Agraria yang Tersandera dan Terlunta, Hendak Kemana?

Oleh
Francis Wahono

 

Pendahuluan

Reforma Agraria adalah sebuah pilihan cara bagaimana pembangunan berkeadilan, penghapusan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, serta pelestarian lingkungan hidup dijalankan. Banyak pilihan untuk pembangunan yang tidak harus berkeadilan, kemiskinan yang sekedar diproyekkan dan penciptaan lapangan kerja yang sekedar bekerja satu jam seminggu, serta eksploitasi lingkungan hidup yang tidak harus lestari. Tetapi bila bangsa Indonesia ini hendak tetap mempergunakan acuan konstitusinya, yakni Undang-Undang Dasar 1945 yang asli maupun di-amandemen, maupun semangat pendiri Bapa dan Ibu Bangsa yang kenthal tercermin dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil tahun 1960, maka pilihan cara pembangunan yang berpihak kepada kepentingan rakyat banyak seperti tegaknya keadilan, hapusnya kemiskinan dan tersedianya lapangan kerja, serta lestarinya lingkungan hidup, tidaklah banyak. Bahkan barangkali hanya satu: reforma agraria yang meliputi sumber-sumber daya alam dan penghidupan, seperti bumi, air dan lautan, serta segala isi yang terkandung di dalamnya dan tumbuh darinya, berikut atmosfir yang melingkupi serta manusia, penduduk yang mengelola dan menikmatinya, untuk sebesar-besar usaha merealisasikan potensi kemanusiannya.

Oleh karena itu Reforma Agraria adalah kunci tunggal usaha menuntaskan agenda kemerdekaan politik yang bersambung dengan kemerdekaan ekonomi, sosial dan budaya. Hanya dengan pelaksanaan agenda pembangunan berkeadilan, penghapusan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, serta pelestarian lingkungan hidup, maka kemerdekaan akan menjadi kenyataan bagi seluruh bangsa termasuk mereka yang rakyat jelata. Bagaimana hendak dikatakan merdeka, kalau masih banyak petani yang tidak memiliki lahan cukup untuk bertani. Bagaimana hendak dikatakan merdeka, kalau akses petani terhadap air justru diterjang oleh Undang-undang privatisasi air. Bagaimana hendak dikatakan merdeka, kalau Undang-undan Keanekaragaman Hayati mengalpakan kearifan lokal dari rakyat. Bagaimana hendak dikatakan merdeka, kalau swasta asing dapat menguasai lahan sampai dengan hampir empat kali generasi (95 tahun) dan dapat diperpanjang lagi. Menjadi warga negara Indonesia asli, tanpa ikut menguasai sejengkal tanah, sementara warga negara asing bisa, adalah sebuah pengkianatan. Bukankah petani tak bertanah bernasib seperti itu. Warga kota tanpa rumah, juga belum mendapatkan kemerdekaan. Nelayan tanpa perahu, juga tidak mendapatkan akses panen hasil lautan. Masyarakat adat tanpa akses kehidupan dari hutan, sama saja tidak merdeka. Perempuan tanpa hak atas sumber agraria, juga belum merdeka. Reforma agraria-lah yang memungkinkan kemerdekaan dapat dinikmati oleh semua warga. Karena reforma agraria memberikan jaminan pada setiap keluarga petani dan rakyat jelata lainnya, yang semula tidak punya akses atas sumber agraria termasuk tanah dan air atau aksesnya kurang untuk menopang penghidupan, maka dengan itu akan mendapatkan bagian cukupnya.

Oleh karena itu hampir semua negara merdeka atau negara kebangsaan baru, terlebih setelah Perang Dunia II usai, menjadikan reforma agraria sebagai agenda prioritas utama. Beberapa negara yang serius melakukan reforma agraria di Asia, misalnya Jepang, Taiwan, Kerala negara bagian India. Setelah berhasil mengusir bangsa penjajah dan mendapatkan kembali tanah dan air serta keanekaragaman hayati, tindakan paling bijaksana adalah membagi tanah dan air, hingga tiada satu warga pun tidak mempunyai akses terhadap tanah dan air itu secara cukup untuk kehidupan. Niat mengadakan reforma agraria oleh Negara Republik Indonesia beru terumus dan dicoba dijalankan 15 tahun setelah merdeka, yakni dengan disahkannya Undang-Udang Pokok Agraria 1960 berikut mandatnya untuk mengadakan reforma agraria. Dikatakan ‘niat dan dicoba’, sebab UUPA yang bersemangat sosialis kerakyatan sudah ada, Peraturan-peraturannya sudah dibuat, pendataan dan pemulaian reforma agraria sudah dimulai. Aksi sifihak dari PKI diluncurkan, reaksi dari partai-partai lain yang berkepentingan dengan mempertahankan tanah luas terjadi. Reforma agraria dibawa ke ranah politik kepartaian, yang tak lepas dari politik aliran. Konflik horisontal terjadi di tahun 1963/1964, antara PKI di satu pihak dan PNI bersama NU di lain pihak. Gerakan 30 September, mengundang tentara masuk ke arena konflik pada 1965. Pembunuhan para jendral dan massal pengikut PKI terjadi sesudahnya. Tahun 1967, Jenderal Soeharto diangkat menjadi pejabat presiden, yang kemudian pada sidang MPRS menjadi presiden penuh. Sejak itu, reforma agraria tidak disebut lagi sampai tahun 1981. PKI dilarang, reforma agraria, yang diduga produk PKI, ikut ditabukan.

Bersamaan dengan itu Revolusi Hijau, program modernisasi pertanian dengan benih silang baru dan pupuk buatan industri, diperkenalkan dan dipaksakan. Duit petro dollar tahun 1970-an akibat revolusi harga BMM sebagian digelontorkan ke sektor pertanian. Fulus ini tidak dinikmati oleh semua petani, hanya mereka yang berlahan luas yang menikmatinya. Inilah contoh, tanpa reforma agraria, usaha besar aplikasi teknologi dan suntikan modal, kendati menghasilkan pertumbuhan namun keadilan dikesampingkan.

Lebih jauh, dari sejak tahun 1967, di bawah ini akan didiskusikan, bagaimana perkembangan atau tepatnya nasib dari UUPA berikut mandat reforma agrarianya. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa reforma agraria ini disandera oleh berbagai produk hukum dan kepentingan rejim Soeharto, antara tahun 1967 – 1998. Selepas dari itu, bersama lengsernya Soeharto dan mulainya reformasi, tahun 1999 – 2010, neo-liberalisme malah membuat nasib reforma agraria terlunta. Bagaimana itu terjadi, berikut penuturannya.

 

Yang tersandera

Sebelum berlanjut, penulis artikel membebaskan diri dari kewajiban menuliskan nama-nama dan nomor hukumnya, karena selain bukan ahli hukum juga artikel-artikel yang lain telah melakukannya.

Pada bagian pertama, 1967-1981, pemerintahan rejim Orde Baru, UUPA berikut mandat reforma agraria adalah barang tabu. Karena PKI melakukan gerakan aksi sepihak, artinya menyerobot pemerintah karena dipandang terlalu lelet untuk mengeksekusi reforma agraria, maka diasosiasikan bahwa UUPA 1960 adalah produk dari PKI. Tuduhan ini tentunya tidak berdasar. Dengan adanya buku dari tokoh Taman Siswa, semacam teks akademik yang nantinya mempengaruhi perumusan UUPA 1960, dan kesaksian salah satu anggota panitia ad hoc yang mempersiapkan teks UUPA, Prof Sudikno, bahwa UUPA produk banyak partai, maka gugurlah tuduhan tersebut. Maka, pada tahun 1981 tidaklah mengherankan kalau Soeharto menegaskan UUPA 1960 adalah Undang-undang acuan mengenai penataan agraria. Barangkali ketika itu karena anak-anak Soeharto ingin mudah mendapatkan tanah untuk mengembangkan usahanya, sementara berbagai undang-undang lain dapat melegitimasikan berbagai kepentingan melawan beberapa pasal UUPA, maka UUPA 1960 diakui keberadaannya.

Yang menyandera UUPA 1960 berikut reforma agraria-nya, pertama-tama adalah undang-undang yang terkait dengan penanaman modal, termasuk yang asing. Kedua adalah undang-undang tentang eksploitasi dan pengelolaan hutan. Aturan yang memberi pengecualian kepada pegawai negeri dan militer/ polisi bahwa karena mereka harus luwes untuk dipindahkan dan ditempatkan di mana saja di tanah air, bila tugas memanggil, maka mereka diperbolehkan untuk mempunyai tanah sawah yang berlainan tempatnya dengan tempat berdomisili di mana saja di seluruh negeri. Maka mudahlah dilakukan pelanggaran ‘resmi’ UUPA atas pembatasan jumlah tanah maupun tempat lokasinya dan status tanah sawah ditunggui atau gontai (absentee).

 

Yang terlunta

Baik pemerintahan B.J. Habibie maupun Gus Dur tidak bergeming dengan kemendesakan memprioritaskan reforma agraria. Mungkin keduanya menghadapi periode kepemerintahan yang pendek. Pemerintahan Megawati, yang juga pendek, menerlorkan Tap MPR IX, 2002, tetapi itu bertentangan dengan semangat UUPA 1960. Kepenguasaan tanah malah dibatasi ke hanya 2 moda: hak milik dan hak pakai. Lebih jauh lagi, pada akhir pemerintahannya Megawati membuat aturan untuk memberikan ijin kapada perusahaan tambang mengeksploitasi taman nasional.

Jaman presiden Susila Bambang Yudhoyono (SBY) lebih parah lagi, yakni memberikan ijin sewa sampai 95 tahun baik kepada pengusaha dalam maupun luar negeri. Setelah minyak bumi dan hutan dijarah habis pada jaman Orde Baru, pada putaran akhir Orde Baru dan selama Orde Reformasi, secara bersamaan perkebunan kelapa sawit digeber habis-habisan dan penambangan mineral termasuk batu bara disabet sampai tuntas. Jangan lupa penambangan emas dan tembaga masih berlangsung riuh oleh perusahaan-perusahaan besar bendera Freeport dan Newmont.

Praktek pengerukan bumi Indonesia, tuntas habis, adalah perbuatan melawan kemerdekaan dan cita-cita bagi rakyatnya. Reforma agraria yang konsekuen menurut mandat UUPA 1960 semakin relevan, dan jangan dikebiri dengan alasan apapun juga oleh Tap MPR IX tahun 2002. Arah dari Tap itu adalah untuk me-neoliberal-kan UUPA. Landasannyapun adalah filsafat ekonomi neoliberal yang berpilar pada kepemilikan harta secara pribadi, pasar bebas dan desentralisasi. Celakanya ‘desentralisasi” acap menjadi interpretasi baku dari demokrasi prosedural kita. Demokrasi yang benar mensyaratkan kerangka penyelesaian ketidak adilan, agar orang mengenyam kemerdekaan untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan dan sekaligus mencecap hasilnya, begitu pendapat Amartya Sen.1

 

Hendak kemana

Hendak kemana? Jawabnya, perjuangan tak kenal putus asa, harus terus. Jaman pun akan bergulir. Cita-cita yang tersimpan lama belum tentu pada jamannya hilang tertelan masa, boleh jadi bahkan semakin relevan. Reforma agraria, selain hukum juga semangat dan kepentingan jaman. Selaki niat luhur masih ada, kiat harus semakin digelorakan, agar ketika waktu berganti, kekuasaan pupus, kompas hidup benar dan berpihak pada rakyat cilik tetap menyala memberikan tuntunan generasi lebih bijak dan beradab.

Kembali kepada acuan paripurna, yang menjadi induk hukum UPPA 1960 dan mandat reforma agrarianya, yakni Undang-Undang Dasar 1945. Teks asli sebagaimana termuat dalam Berita Repoeblik Indonesia, tahoen II no. 7, 15 Febroeari 1946, pasal 27 ayat 2 “tiap-tiap waga-negara berhak aas pekerdjaan dan penghidoepan jang lajak bagi kemanoesiaan”. Pasal 34 “Fakir-miskin dan anak-anak jang terlantar dipelihara oleh negara”. Dan Pemboekaan UUD 1945: “…soepaja berkehidoepan, kebangsaan jang bebas, maka rakjat Indonesia menjatakan dengan ini kemerdekaannja. …oentoek membentoek soeatoe Pemerintah negara Indonesia jang melindoengi segenap bangsa Indonesia dan seloeroeh toempah darah Indonesia dan oentoek memadjoekan kesedjahteraan oemoem, mentjerdaskan kehidoepan bangsa, dan ikoet melaksanakan ketertiban doenia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…serta dengan mewoedjoedkan soeatoe keadilan sosial abgi seloeroeh rakjat Indonesia.”.2

Untuk mencapai cita-cita menghapus kemiskinan, menegakkan keadilan, menciptakan pekerjaan, dan melindungi seluruh tumbah darah alias lingkungan hidup, maka sistem yang dipilih dan cara untuk memperjuangkannya dirumah dengan jelas dalam Pasal 33 ayat 1: “Perekonomian disoesoen sebagai oesaha bersama berdasar atas asas kekeloeargaan”. Ayat 2: “Tjabang-tjabang prodoeksi jang penting bagi negara dan jang mengoeasai hadjat hidoep orang banjak dikoesai oleh negara.” Ayat 3: “Boemi dan air dan kekajaan alam yang terkandoeng didalamja dikoeasai oleh negara dan dipergoenakan oentoek sebesar-besar kemakmoeran rakjat”.3

Bila reforma agraria by force oleh Negara tidak ada nyali, by laverage oleh inisiatif rakyat selalu dicurigai, by stages – misal mulai dengan tanah kas/ bondho desa atau tanah bengkok dianggap kurang progresif, maka usulan Sajogyo tiga puluh empat tahun lalu (1976) semakin relevan untuk diterapkan, baik dalam kerangka reforma agraria by laverage maupun stages.

Mohon maaf dan terimakasih pada Prof Sajogyo, kami terpaksa mengutip agak banyak dari kata “Pengantar” Anda bagi buku dari Masri Singarimbun dan D.H. Penny (terj. Ir. Sulaeman Krisnandhi, MSc). 1976. Penduduk & Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa. Jakarta: Bhratara Karya Aksara:

“Kecuali perlu membedakan siapa golongan yang kurang mampu (dalam arti penghasilan kurang m,aupun pangan kurang) dari golongan lain yang serba-cukup, kebijaksanaan pembangunan, khususnya di bidang pertanian, perlu memahami deistribusi penguasaan atas tanah pertanian. Walaupun sudah hampir 12 tahun lewat, data Sensus Pertanian, 1963 (atas dasar sampel, bukan sensus menyuluruh) masih bermanfaat, memberikan gambaran garis besar bagi pedesaan di Jawa (akan nyata bahwa gambaran Sriharjo, ataupun dukuh Miri bukanlah gambaran perkecualian). Dari sejumlah 10 juta kepala keluarga di Jawa yang tahun 1963 tercatat menguasai tanah di desa, hanya 7.9 juta yang disebut “petani” (dengan lebih dari 0.1 hektar). Dari jumlah ini 3.8 juta petani menguasai lebih dari 0.5 hektar (rata-rata 1.2 hektar). Ituylah kenyataan di balik angka rata-rata 0.71 hektar (jika golongan kurang dari 0.1 hektar tak dihitung) atau rata-rata 0.57 hektar (jika golongan kurang 1 hektar juga dihitung) luas usaha tani di Jawa. Jika jumlah penduduk pedesaan di Jawa tahun 1963 dapat ditaksir terdiri atas 11.5 juta rumah tangga, maka tiga golongan tercatat: 33 % yang menguasai lebih dari 0.5 hektar, 54 % menguasai kurang dari 0.5 hektar (termasuk kurang 0.1 hektar) dan 13 % tak bertanah. Golongan dengan kurang dari 0.1 hektar atau tak bertanah samasekali berjumlah 3.6 juta atau 31 %. Golongan dengan kurang dari 0.2 hektar atau tak bertanah ditaksir berjumlah 4.7 juta atau 40 %. Ini data tahun 1963, lebih besar kemungkinan bahwa golongan tak-bertanah dan yang paling gurem itu telah bertambah lebih pesat selama 12 tahun dibanding golongan relatif-cukup (di atas 0.5 hektar) yang jumlahnya secara mutlak mungkin tak banyak bertambah.” (Sajogyo 1976:16-17)

Kemudian Sajogyo berbicara pertama mengenai golongan petani yang di Jawa menguasai rata-rata 1.2 hektar, petani dengan kelas ekonomi cukup, yang berjumlah pada tahun 1963, 3.8 juta. Petani 1.2 hektar lah yang sebenarnya menikmati gelontoran petro dollar dalam bentuk subsidi modernisasi pertanian atau Revolusi Hijau. Nah, bagaimana nasibnya dan mau diapakankah para petani gurem dan tak bertanah yang hanya menguasai tanah maksimum kurang dari 0.2 hektar, yang pada tahun 1963 di Jawa jumlahnya 4.7 juta atau tepatnya boleh jadi 5 juta?

 

Lanjut Sajogyo:

“Jika dibiarkan masing-masing mencari hidup di desa ikatan mereka dengan bapak pemimpin, juga majikan pemberi kerja dan upah, adalah alternatif nyata yang belum ada gantinya. Tapi jika pemerintah punya kebijaksanaan berpandangan jauh, potensi golongan buruh-tani (kepala keluarga) sebanyak itu di Jawa dapat dimobilisasi. Caranya? Dengan loandreform! Landreform itu justru dikenakan pada golongan yang paling gurem, misalnya yang menguasai kurang dari 0.2 hektar: tanah mereka dibeli pemerintah, kemudian dititipkan sebagai “tanah negara” yang diurus oleh Badan Usaha Buruh Tani (BUBT) di desa. Uang pembelian tanah itu sebagian dijadikan modal Badan Usaha Buruh Tani, baik modal untuk usaha bersama maupun modal yang dipinjamkan pada anggota untuk usaha perorangan. Jika 5 juta orang itu rata-rata punya 0.1 hektar yang dinilai Rp 0.2 juta se-hektar, biaya ganti rugi sebesar Rp 100 miljar. (Sebagai perbandingan, pada tahun 1976, rencana biaya subsidi desa se-Indonesia selama Pelita II Rp 76.5 milyar). Modal BUBT itu kecuali berasal dari uang ganti-rugi pemerintah, juga dari tambahan kredit untuk susuatu usaha BUBT yang memerlukan modal tambahan: modal bertani atau usaha lain. BUBT itu dapat juga berfungsi sebagai pemborong pekerjaan, di mana para anggota tampil ke depan, dalam hal proyek-proyek padat-karya maupun pasaran tenaga-kerja umum di desa. Latihan ketrampilan diusahakan sehingga menambah potensi anggota memperoleh pekerjaan dengan upah lebih baik. BUBT itu juga dapat mempersiapkan anggota yang berniat menjadi transmigran.” (Sajogyo 1976: 17-18).

Ide Sajogyo ini pada saat ini tinggal mengupdate dengan data mutakhir yang lebih terpercaya. Dan tentu BUBT ini dapat mengantikan cara-cara memanjakan orang miskin (dan tidak miskin tapi hilang rasa malunya) dengan berbagai Bantuan Langsung Tunai. PMPN dan variannya Program Bantuan Kredit Kecamatan (BKK) kalau mau lebih berhasil dimasukkan ke dalam kerangka BUBT tersebut.

Usulan Sajogyo ini bersepadan dengan kebijakan klasik sebagaimana diungkap oleh Henry George bahwa tanah harus mempunyai fungsi kesejahteraan umum bila tidak hendak mengesampingkan petani gurem namun hendak membebaskan dan menyejahterakannya. Rumus kesejahteraan umum sebagai panduan itu disuarakan juga oleh Paus Pius XII bahwa kepemilikan hak pribadi atas harta termasuk sarana agraria harus mempunyai fungsi sosial.4

Hal ini juga merupakan usaha mengkombinasikan pendekatan differensiasi demografi dan differensiasi sosial. Yang pertama melihat fragmentasi proses pembagian tanah dan sumber agraria lainnya mengikuti perkembangan penduduk. Bila penduduk berkembang karena sifat keluarga memproduksi tambahan anak agar ratio antara tambahan mulut terhadap tambahan tenaga kerja tidak meninggi. Itulah teori pertanian keluarga, melawan pertanian kapitalis maupun pertanian kolektif a la Komunis, yang diajukan oleh A.V. Chayanov dari Rusia, seorang Neo-populis, yang karena teorinya, dibunuh Joseph Stalin.5 Sebagaimana hasil penelitian penulis di perdesaan Purworejo, ada dua arus penyebab ketimpangan kepemilikan tanah di perdesaan, yakni fragmentasi yang merupakan proses differensiasi demografi di satu pihak, dan di lain pihak adalah ploretarianisasi petani atau konsentrasi oleh kapitalis desa yang merupakan proses differensiasi sosial.6 Untuk sementara cendekiawan/wati, proses konsentrasi kepemilikan tanah dan sumber agraria lainnya, atau proses proletarianisasi petani, juga disebut ‘depeasantization’, atau ‘pemburuh-tanian’ atau ‘peng-gurem-an’ petani.7 Dalam penelitian penulis di perdesaan Purworejo, proses ‘peng-gurem-an’ petani terjadi minimal lewat 3 cara. Yakni akumulasi kapital di kota dibawa ke desa untuk memborong tanah-tanah di desa. Kedua, melalui politik transmigrasi, yakni para petani kecil dibujuk untuk transmigrasi ke luar Jawa, karena di sana telah tersedia tanah luas yakni 2 hektar per keluarga, sementara di Jawa mereka harus cepat-cepat menjual tanahnya sebelum terkena peraturan reforma tanah. Ketiga, melalui konsumerisme, yakni tergiur oleh tawaran barang-barang elektronik, motor dan rumah batu spanyolan, di beberapa tempat juga oleh bujukan naik haji, hingga sejengkal tanah tersisa dijual dengan murah pada pemilik tanah luas atau pengusaha yang juga pembeli komoditi tanah.8 Pendekatan Sajogyo bertolak dari premis bahwa terjadinya petani gurem akibat dari baik differensiasi demografis maupun differensiasi sosial. Dengan itu Sajogyo telah merangkul baik Sosialisme maupun Neo-Populisme. Suatu strategi yang bernas dan cerdas, dan relevan untuk menghadapi gempuran Neo-liberalisme. Sosialisme yang mengandung konflik dibuat ramah oleh Sajogyo dengan memasukan jiwa damai dari Neo-Populisme. Dan tak dapat disangkal lagi UUD 1945 terlebih pasal 33 adalah sebuah usaha dari para Bapa dan Ibu pendiri Republik ini yang memberikan wajah Neo-Populisme pada Sosialisme. UUPA 1960 adalah formulasi dari strategi itu untuk wilayah petani dan keagrarian.

Dalam pemahaman tersebut, peta jalan reforma agraria menurut kesejarahannya diharapkan berproses, dari “reforma agraria”, yang diikuti “transisi agraria”, dan yang diakhiri dengan terbentuknya ‘transformasi agraria”. Bila dibaca dengan intuisi Sosialisme, padannya adalah “reforma agraria” = “revolusi” menumbangkan “masyarakat kapitalis”, “transisi agraria” = (Lenin) “diktaktor proletariat”, dan akhirnya sebagai buah “transformasi agraria” = “masyarakat sosialis paripurna atau tanpa klas”. Namun bila dibaca dengan cara pandang Kapitalisme sebagaimana diwakili W.W. Rostow, kendati prosesnya bertentangan, dimulai dari “take-off stage” berpadanan dengan “reforma agraria (terbalik)”, dilanjutkan dengan “drive to maturity stage” berpadanan dengan “transisi agraria (terbalik)” dan berakhir dengan “the age of high mass-consumption” berpadanan dengan “transformasi agraria (terbalik).9 “Terbalik” artinya adalah mengarah ke konsentrasi tanah di tangan kapitalis-pertanian (tuan tanah) yang akhirnya membunuh atau mengenyahkan petani dari tanahnya. Usulan Sajogyo, menghindari jalan W.W. Rostow, tidak bertoleransi dengan kekerasannya Revolusi Bolsevijk dan “diktator proletariatnya” Lenin; oleh karenanya Sajogyo memanggil neo-populismenya A.V. Chayanov sebagaimana sama dengan Bapa dan Ibu Pendiri Republik Indonesia mempergunakan istilah ‘azas kekeluargaan’ untuk mengatakan bentuk ekonomi politik ‘Kooperasi’. Silakan para pemimpin Bangsa Indonesia jaman reformasi dan paska republik (meminjam istilah JB. Mangunwijaya), beradu argumen dan tindakan nyata dengan para Pendiri Negara ‘Bhineka Tunggal Ika’ Republik Indonesia.10

 

Yogyakarta, 22 Juni 2010.

 

1 Amartya Sen. 1992. Inquality Reexamined. Cambridge: Harvard University Press. Amartya Sen. 1999. Development as Freedom.New York: Anchor Books.

2 Teks asli Undang-Undang Dasar 1945, dapat dilihat pada R.M. A.B. Kusuma (kompilator dan pengulas). (Pengantar: Prof Dr. Jimly Asshiddiqie, SH). 2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha Persiapan Kemerdekaan. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

3 Celakanya Pasal 33, dalam amandemen UUD 1945 yang diparaf oleh MPR yang diketuai oleh Prof. Dr. HM. Amien Rais dan wakil ketuanya a.l. Prof Dr Ir. Ginandjar Kartasasmita, pada tanggal 10 Agustus 2002, atau perubahan ke-4, penambahan ayat 4 dan 5 selain membuka ruang interpretasi lebih liar juga telah merancukan berbagai istilah teknis yang tak dapat dipertanggungkan secara akademis. Misalnya saja Pasal 33 ayat 4, merusak rumusan ayat 1 “Perekonomian disoesoen sebagai oesaha bersama berdasar atas asas kekeloeargaan” dengan rumusan ayat 4 “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Sebagai teks UUD pada abad 21, penggunaan istilah-istilah teknis yang asal ditumpuk, sungguh memalukan, mengingkat juga Ketua dan salah satu Wakilnya adalah Profesor Doktor. Apa beda “berkelanjutan” dan “berwawasn lingkungan”, apa maksud “efisiensi berkeadilan” (efisiensi atas dasar harga pasar atau general equilibrium, belum tentu adil dari kacamata pembagian pendapatan). Pula apa arti “kemandirian”, bedanya apa dengan “berdaulat”. Apa pula arti “prinsip kebersamaan”, itu belum dibuat teorinya dan justru mengaburkan “azas kekeluargaan” yang dalam penjelasannya yang dimaksud adalah bentuk perekonomian “kooperasi”, Apa lagi teks menjelasannya justru tidak dimuat kembali dalam amandemen ke 1 sampai ke 4. Lantas apa pula maksud “menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional”, keseimbangan antar daerah atau antar klas ekonomi, berarti bukan “keadilan”, “kesatuan ekonomi” apa ini mengatakan eksploitasi luar Jave dilakukan demi kepentingan Pusat. Atau bagaimana. Keberadaan ayat 5, juga justru membuka debat tak berkesudahan antar kepentingan. Konstitusi seharusnya jelas, pasti, dan tegas, bukan kontroversial dan bersifat open to be debated. Bahkan UUD 1945 yang asli, perlu memberikan penjelasan panjang lebar agar tak terjadi debat. Untuk teks-teks Amandemen dari 1 sampai ke 4, lihat: Drs. Marsono. 2002. Susunan dalam satu naskah UUD 1945 dengan perubahan-perubahannya 1999-2002. Jakarta: CV. Eko Jaya.

4 Henry George. 1987. Progress and Poverty. New York: Robert Schalkenbach Foundation. Untuk konsep “private property can be justified as far as it has social functions” dari Paus Pius XII dapat diketemukan pada Francis X. Wahono. 1983. “The Social Teachings of the Catholic Church and the Growth – Development Debate”. B.Ec. honours thesis. Bandoora, Victoria: School of Economics, La Trobe University.

5 A.V. Chayanov (edited by Daniel Thoner, Basile Kerblay and REF. Smith 1966). 1923. Theory of Peasant Economy. Homewood, Illinois: Richard D. Irwin.

6 Francis X. Wahono. 1998. “The Socio-Economic Impact of the Green Revolution on Asset-Class Relations: A Case Study in Two Javanese Villages”. Unpublished Ph.D. Thesis. Bandoora, Victoria: School of Business, Faculty of Law and Management, La Trobe University.

7 Atiur Rahman. 1986. Peasants and Classes: A Study in Differentiation in Bangladesh.London: Zed Books.

8 Di beberapa tempat dalam Francis X. Wahono. 1998. ibid.

9 W.W. Rostow. 1969. The Stages of Economic Growth: No-Communist Manifesto. London: Bentley House.

10 Kami menyebut Republik Indonesia dengan tambahan “bhineka tunggal ika’ (NBTIRI) dan bukan hanya “kesatuan” (jadinya NKRI), karena yang sesungguhnya benar, Negara kita ini selain “kesatuan” (ika) juga “bhineka tunggal”.

[/ezcol_2third] [ezcol_1third_end id=”” class=”” style=””][template id=”509″][/ezcol_1third_end]

Scroll to Top