[anti-both]
[ezcol_2third id=”” class=”” style=””]
Maria Rita Roewiastoeti, SH
Abstract
Pengakuan hak ulayat masyarakat hukum adat (baca: suku-suku pribumi setempat) melalui pemberian recognitie telah lama menjadi tradisi dalam praktik pemerintahan di daerah sebagai jalan tengah untuk mengatasi keterbatasan dalam budaya suku-suku pribumi setempat yang tidak mengenal konsep menjual tanah. Dalam Undang-undang Agraria 1960:5 ternyata pengakuan semacam itu lebih khayali dari pada faktual karena yang terjadi adalah justru pembatasan sedemikian rupa agar masyarakat pemegang hak ulayat tidak lagi bebas mempertahankan diri mereka melawan rencana pembangunan pemerintah. Undang-undang Kehutanan 1999:41 lebih dari semestinya bahkan memberi kekuasaan pada pemerintah daerah untuk mengakui atau menolak keberadaan masyarakat hukum adat, hal mana melampaui batas wewenang konstitusional, sebab hidup matinya sekelompok suku bangsa merupakan bagian dari hak-hak kemanusia (human rights) yang wajib dijamin dalam konstitusi dan dilindungi dari kemungkinan perampasan oleh penyelenggara negara. Oleh sebab itu jaminan terhadap hak suku-suku pribumi setempat atas wilayah perpangkalan budaya (ancestral domain) perlu dirumuskan secara explicit dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia. Untuk mencapainya dibutuhkan sebuah gerakan sosial politik yang berbasis masyarakat suku-suku pribumi setempat yang melibatkan peran-peran kelompok pendorong seperti Pengawas Parlemen dan Konstitusi yang dimotori oleh Konsorsium Pembaruan Agraria.
Kata-kata kunci:
Recognitie, hak ulayat (beschikkingsrecht), wilayah perpangkalan budaya (ancestral domain), suku-suku pribumi setempat (indigenous peoples), politik hukum perhutanan, pelanggaran hak-hak kemanusiaan, pendidikan penyadaran, perubahan sosial politik.
1. Benarkah pengakuan pertama terhadap masyarakat adat diatur dalam Undang-undang Agraria 1960:5?
Selama ini para pakar hukum agraria memang menyimpulkan demikian. Mereka itu adalah para dosen ahli hukum (undang-undang) agraria ataupun birokrat departemen agraria. Oleh sebab itu para mahasiswa mereka tentu tidak jauh cara berpikirnya dari para pendahulu tersebut. Pada hemat saya cara pandang yang formalistik legalistiklah yang membuat para pakar agraria tersebut menyimpulkan bahwa Undang-undang Agraria 1960:5 merupakan undang-undang nasional pertama yang mengakui hak-hak masyarakat adat. Sementara penyebutan istilah “hak ulayat” pada pasal 3 juncto Penjelasan Umum bagian II(2) undang-undang itu sendiri sebetulnya hanya menterjemahkan istilah beschikkingsrecht yang dicetuskan oleh Cornelis Van Vollenhoven tahun 1925 yang belakangan diakui sebagai bagian penting dalam kepustakaan hukum adat di Indonesia.
Pengakuan terhadap beschikkingsrecht faktanya sudah lama terjadi dalam praktik sehari-hari yang dijalankan oleh pemerintah di Papua Nieuw Guinea (sekarang propinsi Papua) terhadap suku-suku pribumi di tempat itu. Masyarakat pribumi Papua bahkan sangat fasih mengucapkan kata recognitie yang mereka pelajari dari pemerintah setempat sejak sebelum 1963. Istilah recognitie (artinya: pengakuan) diciptakan oleh penasihat anthropologi bagi pemerintah Hindia Belanda di Papua Nieuw Guinea yang mengingatkan bahwa dalam kebudayaan masyarakat setempat tidak dikenal konsep menjual (melepaskan untuk selama-lamanya) hak atas tanah. Mengikuti nasihat para anthropolog tsb pemerintah setempat sejak sebelum 1963 (kemudian dilanjutkan oleh pemerintah nasional setelah 1963) hanya berani menawarkan semacam “kontrak pemanfaatan tanah” kepada kepala-kepala clan (bagian dari suku) pemegang beschikkingsrecht atas suatu wilayah tertentu. Karena pemanfaatan tanah tsb terkait dengan penyelenggaraan kepentingan umum oleh pemerintah maka umur dari kontrak adalah sama dengan umur kekuasaan pemerintah Nieuw Guinea di tempat itu. Kasus “kontrak pemanfaatan tanah” dengan clan Hamadi adalah salah satu contoh yang masih lengkap dokumennya di kantor biro hukum propinsi Papua.1 Kontrak dibuat tahun 1933 dengan Petrus Hamadi, ketua clan pada masa itu, dengan pemberian recognitie sebesar seratus gulden yang disimpan dalam bentuk deposito di Nieuw Hollandia Bank (Jayapura, sekarang Bank Indonesia) yang bunganya diperuntukkan bagi kesejahteraan seluruh anggota clan Hamadi selama mereka kehilangan akses atas tanah yang diserahkan kepada pemerintah tersebut. Tanah bagian dari beschikkingsrecht clan Hamadi tersebut hingga kini masih terpakai sebagai pelabuhan umum. Jadi kata recognitie tidak ada kaitannya dengan pelepasan hak milik melainkan suatu tanda mengakui beschikkingsrecht dari suatu clan tertentu yang sebagian tanahnya dipergunakan oleh pemerintah guna menyelenggarakan kepentingan umum warga masyarakat.
Penjelasan mengenai recognitie ini penting kalau kita mau mempelajari hal-hal terkait dengan upaya pengakuan hak masyarakat adat di Indonesia, sebab tanpa pengetahuan yang lengkap mengenai sejarah perkembangan tradisi pemberian recognitie kepada suku-suku pribumi di pulau-pulau luar Jawa kita akan terjerumus pada kefanatikan seolah-olah kata recognitie yang muncul tiba-tiba pada Penjelasan Umum UU 1960:5 bagian II (2) tersebut adalah kreasi genius dari para pembuat undang-undang tersebut pada masa itu. Jadi jelaslah kiranya bahwa istilah recognitie yang diadopsi mentah-mentah (bahkan tanpa penjelasan apapun mengenai arti dan maksud kata itu sendiri) oleh pembuat undang-undang tersebut bukanlah hal baru di Indonesia. Memang bagi penduduk pulau Jawa – para mahasiswa fakultas hukum bahkan dosen-dosen yang mengajar hukum (baca: undang-undang) agraria – istilah recognitie dan beschikkingsrecht adalah barang asing yang tidak tersangkut paut dengan kepentingan mereka sehari-hari. Kekosongan inilah yang saya alami dua puluh lima tahun yang lalu tatkala mulai bekerja di Papua dan ditabrakkan pada sejumlah pertanyaan konkret tentang bagaimana caranya melindungi hak-hak orang Papua dari praktik perampasan (katakan demikian) kayu-kayu besi dalam wilayah perpangkalan budaya (ancestral domain) mereka oleh sejumlah pengusaha pemegang hak pengusahaan hutan (HPH).
Pada awalnya saya mengasumsikan bahwa hak-hak orang pribumi Papua atas dusun (baca: kebun) sagu, kali-kali dan “hutan” kayu besi di sekeliling dusun itu terlindungi oleh pasal 3 UU Agraria 1960:5. Asumsi ini wajar (walaupun naive) mengingat tidak ada lagi pegangan yang bisa digunakan selain pasal tsb. Padahal kalau disimak lebih dalam ternyata isi pasal 3 itu bukan bertujuan melindungi melainkan – sebaliknya – membatasi hak-hak mereka atas kekayaan warisan leluhurnya berupa wilayah hidup serta sumber-sumber ekonomi primer.
Bunyi selengkapnya pasal 3 UU Agraria 1960:5 adalah sebagai berikut:
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat2 dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada,3 harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. (cetak miring oleh pen.)
Pada hemat saya pasal 3 undang-undang tersebut samasekali tidak cocok digunakan untuk membela/melindungi hak-hak orang pribumi karena isinya justru dibuat dengan tujuan untuk membatasi pelaksanaan hak-hak mereka dalam rangka mempertahankan sumber-sumber ekonomi primer dan eksistensi budayanya. Pertanyaannya adalah: mengapa bisa muncul pasal seburuk itu? Untuk memperoleh jawabannya marilah kita menengok sejenak pada sejarah terbentuknya Undang-undang Agraria melalui pembahasan oleh panitia agraria 1959, khususnya perdebatan antara parlemen dan pemerintah yang pada waktu itu diwakili oleh expertnya yang berasal dari UGM Yogyakarta mengenai isi pasal 3. Sebagian anggota legislator meminta agar perihal “hak-hak masyarakat adat” ditunda dulu sampai diperoleh hasil penelitian hukum adat yang lebih pasti tentang hak mereka. Yang lain yang berpikir pragmatik menyahut bahwa jalan semacam itu walaupun ideal akan membuang waktu karena undang-undang agraria nasional harus segera diterbitkan. Penelitian semacam itu tidak ditolak tapi juga tidak boleh menghalangi diundangkannya peraturan baru tentang agraria ini secepat mungkin. Akhirnya disepakati untuk menggunakan istilah hak ulayat menurut definisi Cornelis Van Vollenhoven tahun 1925 sebagaimana sudah dikenal dalam kepustakaan tentang hukum-hukum adat di Indonesia.
Ironisnya, setelah resmi menjadi undang-undang, dalam Penjls Umum bagian II (2) perihal hak ulayat terungkaplah bahwa salah satu faktor yang mendorong pemerintah mengatur kembali hak ulayat adalah kenyataan di lapangan bagaimana sulitnya pekerjaan pemerintah dijalankan manakala berhadapan dengan sekelompok suku pribumi setempat yang mati-matian mempertahankan hak ulayat mereka melawan program pemerintah yang memerlukan areal tanah luas seperti pemberian hak guna usaha kepada perusahaan-perusahaan yang akan mengusahakan perkebunan besar dalam jangka waktu tiga puluh tahun.
2. Sebatas manakah hak masyarakat adat atas hutan diakui oleh Undang-undang Kehutanan?
Kuat atau lemahnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dalam kawasan hutan dapat kita simak dari politik hukum perhutanan yang berbunyi: “Semua hutan yang ada di wilayah republik Indonesia berstatus hutan negara (kecuali bila bisa dibuktikan sebaliknya) termasuk di dalamnya adalah hutan-hutan yang tumbuh di atas tanah-tanah hak ulayat masyarakat hukum adat (baca: suku-suku pribumi setempat).”4
Politik hukum perhutanan tersebut – sejauh mengenai hutan-hutan hak ulayat suku-suku pribumi di Indonesia – mengacu pada Undang-undang Agraria 1960:5 pasal 3 yang mengatakan: “Hak-hak ulayat masyarakat hukum adat (baca: suku-suku pribumi setempat) hanya boleh dilaksanakan sejauh tidak bertentangan dengan undang-undang”. Dalam penjelasan umum terungkap bahwa pengabaian terhadap hak ulayat suku-suku pribumi setempat tersebut beraakar pada tafsir kebarat-baratan yang meletakkan hak ulayat dalam kerangka berpikir yang mengacu pada hak milik atas tanah sebagai hak terkuat dan mutlak.
Sebagaimana diketahui politik hukum perhutanan itu sendiri ditetapkan guna memberi landasan juridis bagi politik ekonomi pemerintah Suharto yang menganut ideologi pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan sejauh mungkin investasi di bidang industri kehutanan dan pertambangan. Khusus untuk keperluan mengamankan penanaman modal di Indonesia itu pada tahun 1967 pemerintah Suharto telah menerbitkan tiga undang-undang secara serentak yakni Undang-undang Penanaman Modal 1967:1, Undang-undang Kehutanan 196:5 dan Undang-undang Pertambangan 1967:11. Selanjutnya Undan-undang Kehutanan mengalami revisi yang semakin menjelaskan kekuasaan negara atas sumber-sumber agraria yang sebelumnya telah berabad-abad lamanya dimiliki oleh masyarakat hukum adat (baca: suku-suku pribumi setempat).
Secara prinsipiil isi pasal 3 Undang-undang Agraria 1960:5 merupakan dasar bagi tiga undang-undang yang terbit tahun 1967 tersebut terutama sejauh terkait dengan rencana investasi di atas tanah-tanah hak ulayat dari suku-suku pribumi tersebut. Artinya, pasal 3 lah yang akan menjadi acuan manakala dalam praktik timbul persoalan akibat perlawanan suku-suku pribumi setempat yang wilayah perpangkalan budaya (ancestral domain)nya ditetapkan sebagai kawasan hutan, pertambangan, pengusahaan hasil hutan maupun konsesi-konsesi penanaman modal lainnya.
Membaca Undang-undang Kehutanan terbaru (1999:41) sepintas lalu pada bagian dasar pertimbangan tampaklah seolah-olah ada kemajuan yakni perlunya suatu pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia sehingga mampu menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya serta tata nilai kemasyarakatan.5 Namun bila disimak lebih dalam yang kemudian terungkap justru suatu kontradiksi antara “adat dan budaya serta tata nilai kemasyarakatan” di satu sisi berhadapan dengan “norma hukum nasional” disisi lain yang harus dijadikan acuan.
Pembukaan yang semula terkesan hendak menghargai posisi masyarakat adat, hukum adat, budaya dan tata nilai sosial setempat itu sirna seketika kita ikuti cara berpikir pembuat undang-undang yang ternyata tidak beranjak dari konsep lama yang dianut dalam undang-undang sebelumnya. Pada pasal 1 dikemukakan bahwa ada dua jenis hutan yakni hutan hak dan hutan negara. Disebut hutan hak bila hutan itu tumbuh atau berada di atas tanah yang dibebani suatu hak atas tanah. Sebaliknya akan disebut hutan negara bila hutan itu tumbuh atau berada di atas tanah yang tidak dibebani suatu hak atas tanah. Hutan adat bahkan secara langsung didefinisikan sebagai hutan negara yang tumbuh di atas tanah dalam wilayah masyarakat hukum adat. Bahkan tanpa argumen yang masuk akal hutan adat serta merta masuk kategori hutan negara.6 Lebih gamblang lagi dinyatakan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat.7
Menurut undang-undang ini pemerintah berkuasa menetapkan status hutan. Suatu hutan bisa ditetapkan sebagai hutan adat sepanjang faktanya masyarakat hukum yang bersangkutan masih ada dan keberadaannya mendapat pengakuan oleh pemerintah. Sebaliknya bilamana dalam perkembangannya masyarakat hukum adat tersebut tidak lagi eksis maka hak pengelolaan atas hutan tersebut diambil kembali oleh pemerintah.8 Pengukuhan terhadap keberadaan/hapusnya suatu masyarakat hukum adat tersebut ditetapkan dalam sebuah Peraturan Pemerintah Daerah.9 Implikasi dari kekuasaan yang sebesar itu adalah: pemerintah diberi suatu wewenang untuk melarang anggota masyarakat hukum adat (baca: suku pribumi setempat) merambah kawasan hutan, membakar hutan, menebang pohon atau memanen dan memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa izin pejabat yang berwenang, menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak diperuntukkan itu, membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.10
Jika dibandingkan dengan isi pasal 3 Undang-undang agraria 1960:5 maka pasal 5 Undang-undang Kehutanan 1999:41 memberikan kekuasaan kelewat batas kepada pemerintah untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya bukanlah wewenangnya. Bagaimanapun keberadaan (baca: hidup matinya) sekelompok suku bangsa tidak pernah boleh diserahkan kepada penyelenggara negara (baca: pemerintah) karena ini merupakan bagian dari hak-hak kemanusiaan sekelompok orang yang semestinya telah dijamin dan dilindungi oleh konstitusi dari negara tersebut.
3. Sejauh manakah konstitusi Indonesia menjamin hak-hak masyarakat hukum adat (baca: suku-suku pribumi setempat)?
Dalam Undang-undang Dasar 1945 tidak satu kalimatpun pernah menyinggung perihal keberadaan masyarakat adat. Memang beberapa orang mencoba menfasirkan pasal 18 perihal pemerintahan nasional di daerah sebagai dasar untuk mengakui keberadaan masyarakat adat. Namun pada hemat saya kalaupun ada konsep pemerintahan dalam adat, itu tidak serta merta bisa diandaikan sama maksudnya dengan pemerintahan nasional di daerah sebagaimana digagas oleh pembuat konstitusi kala itu.
Undang-undang Dasar 1945 yang hanya memuat 37 pasal itu sesungguhnya sangat miskin tanggapan akan kebutuhan perlindungan hak-hak kemanusiaan (human rights) dari warganya, kecuali 3 hal: hak atas pekerjaan yang layak, kebebasan beragama dan kebebasan mengungkapkan pikiran dan pendapat. Rumusan ini tidak terlepas dari debate antara Moh Yamin dan Soepomo dalam rapat-rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengenai perlu tidaknya hak-hak kemanusiaan (human rights) dicantumkan secara explicit dalam UUD kita. Moh Yamin telah dengan keras mengingatkan bahwa sebagai negara merdeka dan demokratis konstitusi Indonesia nanti harus mencantumkan secara jelas penghormatan hak-hak kemanusiaan (human rights) dari seluruh warganya. Sebaliknya Soepomo diikuti anggota-anggota PPKI lain dari aliran konservatif berpendapat bahwa belum waktunya kita bicara tentang hak-hak kemanusiaan (human rights) – yang dianggapnya terlalu modern dan kebarat-baratan itu – dalam konstitusi kita. Nanti saja kalau bangsa Indonesia sudah maju cara berpikirnya kita lakukan perubahan sesuai kebutuhan Akibatnya, ketika terjadi pelanggaran hak suku-suku pribumi setempat atas wilayah perpangkalan budaya (ancestral domain) oleh pasal-pasal 5, 50 dan 67 ayat 2 Undang-undang Kehutanan 1999:41 juncto pasal 3 Undang-undang Agraria 1960:5 tidak tersedia dasar hukum untuk membawanya ke pengadilan karena secara explicit konstitusi kita tidak pernah mengakui11 adanya hak atas wilayah perpangkalan budaya (ancestral domain) dan sumber-sumber ekonomi milik suku-suku pribumi setempat.
Upaya perlindungan terhadap hak suku-suku pribumi setempat perlu dilakukan dengan cara meletakkannya dalam salah satu dari tiga bagian pokok yang harus ada dalam setiap konstitusi negara demokratis, yakni bagian yang mengatur tentang bagaimana hak-hak kemanusiaan (human rights) para warga negara tersebut dihormati dan memperoleh perlindungan utama oleh para penyelenggara negara (baca: pemerintah). Karena letaknya dalam konstitusi maka mau tak mau para pembuat hukum yang lebih rendah dari konstitusi harus mengacu pada prinsip-prinsip penghormatan dan perlindungan tersebut. Artinya kalau dikemudian hari terbit suatu undang-undang atau peraturan pemerintah atau peraturan menteri atau kebijakan-kebijakan lain yang ternyata berlawanan dengan prinsip-prinsip tersebut maka warga negara (baik sendiri, bersama-sama maupun diwakili oleh parlemen) berhak mengajukan tuntuan pembatalan lewat pengadilan.
Dalam pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 yang telah diamandir kita bisa membaca adanya suatu hak kemanusiaan (human right) yang dirumuskan sebagai hak atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional yang wajib dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban12 (cetak miring oleh pen.). Pencantuman clausule “selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” pada hemat saya justru akan mementahkan kembali kematangan kesadaran sosial politik kita dalam menerima peradaban sekelompok orang – yang konon hendak dihormati jati diri dan kebudayaannya itu – sebagaimana adanya.
Sebagaimana diketahui hak kolektif suatu suku untuk mempertahankan identitas dan kebudayaannya adalah konsep hak-hak kemanusiaan (human rights) generasi ketiga, berupa hak individu dan komunitas untuk berkembang dan menikmati secara bersama-sama warisan leluhurnya berupa kekayaan alam sebagai sumber-sumber ekonomi primer. Munculnya konsep hak-hak kemanusiaan kolektif ini terutama didorong oleh persoalan-persoalan yang muncul di seluruh di dunia sebagai akibat dari proses pengikisan sumber daya hayati lingkungan dan penyingkiran budaya-budaya asli dari suku-suku pribumi setempat oleh kegiatan-kegiatan pembangunan ekonomi. Sebagaimana diketahui konsep hak-hak kemanusiaan generasi mutakhir ini merupakan sebuah alat modern guna melindungi hak suku-suku pribumi tersebut terhadap ancaman-ancaman potensial yang justru datang dari struktur sosial menindas yang tengah terbangun di negara-negara berkembang akhir-akhir ini.
4. Mungkinkah masyarakat suku-suku pribumi setempat menjadi basis gerakan reforma agraria?
Masyarakat suku-suku pribumi setempat bisa menjadi basis gerakan reforma agraria bilamana sejumlah syarat berikut ini terpenuhi, yakni: pertama, reforma agraria dipahami dalam arti luas sebagai upaya menata kembali penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria (agrarian resource tenure and use); kedua, yang objeknya meliputi seluruh sumber-sumber agraria yang langsung atau tak langsung dikuasai oleh negara seperti tanah-tanah HGU dan hutan-hutan konsesi pemegang HPH; ketiga adanya sikap kritis terhadap hukum yang melanggar hak-hak kemanusiaan suku-suku pribumi setempat.13 Gerakannya bersifat multi level melibatkan kelompok-kelompok korban di tingkat akar rumput hingga kelompok-kelompok kritis yang menyediakan diri mengawasi kinerja pembuat konstitusi dan parlemen (Constitution Watch and Parliament Watch) yang dimotori oleh Konsorsium Pembaruan Agraria. Bentuknya adalah pendidikan publik yang berorientasi pada proses penyadaran bagi semua pelaku perubahan sosial politik.
1See Maria Rita Roewiastoeti dlm: Laporan Studi Penguasaan Tanah (land tenure) di kecamatan-kecamatan Edera, Wondama, Kimbim dan Enarotali di propinsi Irian Jaya, UNDP-Bappeda Propinsi Irian Jaya, 1988-1989.
2 Yang dimaksud dengan hak ulayat adalah beschikkingsrecht yang sudah dikenal dalam kepustakaan hukum adat di Indonnesia. See Penjelasan khusus pasal 3 UU Agraria 1960:5
3 Clausule “sepanjang kenyataannya masih ada” ini pada hemat saya overbodig, berlebih-lebihan. Kita tidak perlu bicara mengenai sesuatu yang sudah tidak ada lagi. Praktis clausule inilah yang paling mudah dihafalkan oleh para mahasiswa hukum dan (celakanya) diberi tafsir sedemikian rupa seolah-olah ini adalah syarat bagi pengakuan. Padahal dari seluruh kalimat pasal 3 tsb tidak ada satu katapun yang menyebut (atau bisa ditafsirkan sbg) mengakui.
4 See pasal 2 Undang-undang Kehutanan 1967:5
5 See Pembukaan Undang-undang 1999:41 bagian menimbang point c.
6 See pasal 1 butir d, e dan f
7 See pasal 5 ayat 1.
8 Ibid. ayat 1-4
9 See pasal 67 ayat 2
10 See pasal 50 ayat 3 butir b, d, e, i, k
11 Bandingkan dengan Soetandyo Wignyosoebroto dlm: HAM sebagai Parameter Pembangunan, ELSAM 1977, bagian kata pengantar hlm xi: “Kurang jelasnya pengakuan secara konstitusional tentang patut dihormatinya hak-hak sipil dan hak-hak politik sering menyebabkan pelaksanaan HAM warga negara di Indonesia mengalami kepincangan”.
12 See pasal 28i UUD 1945 (stlh amandemen). Ini merupakan bagian dari sebuah bab khusus yang ditambahkan dalam konstitusi kita yang diberi judul Hak Azasi Manusia (human rights) yang seluruhnya berjumlah10 pasal (pasal 28a – pasal 28j)
13 Maria Rita Roewiastoeti dlm: Menata kembali penguasaan sumber agraria; memperkenalkan reforma agraria bagi suku peramu Asmat yang terpinggir. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agats Asmat, Mei 2010
[/ezcol_2third] [ezcol_1third_end id=”” class=”” style=””][template id=”509″][/ezcol_1third_end]